Rabu, 18 Januari 2012

Nikah Tutup Malu Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

Nikah Tutup Malu Dalam Perspektif Hukum Islam

Islam adalah Agama kaffah yang mengatur semua lini kehidupan manusia, mengenai hal-hal yang menyangkut aqidah, ibadah, kemasyarakatan, kesehatan, lingkungan, hukum dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya tentang hukum pernikahan. Karena itu, Din al-Islam merupakan pedoman hidup yang mengajarkan kepada penganutnya untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ideal yang dikehendakinya.

Syariat pernikahan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan teratur mengembang-biakkan keturunan yang sah, di samping mewujudkan suasana rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam Q.S. al-Ruum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Perkawinan yang sah dalam Islam dilangsungkan melalui suatu akad antara suami dengan wali dari istri yang di dalamnya terdapat istilah-istilah mahar dan ijab qabul. Sebagaimana telah diketahui bahwa tujuan dari perkawinan itu adalah menaati perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan membina rumah tangga yang damai dan teratur[1].

Dengan diaturnya hubungan antara dua insan tersebut dalam sebuah ikatan perkawinan diharapkan agar kehidupan yang mereka bina nantinya memang benar-benar sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum Islam sebagaimana telah diatur prosesi perkawinan mereka. Sehingga perkawinan yang mereka jalankan akan menjadi sebuah ikatan lahir bathin yang tidak dapat dibuat main-main, yang dalam Islam dikenal dengan istilah “Mitsaqan Ghalidha” (ikatan yang sangat kuat).
Adapun ketika terjadi suatu hubungan di luar perkawinan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini Islam juga mengaturnya. Segala aturan yang ditetapkan oleh Islam bertujuan untuk kemashlahatan umat. Dalam hal seorang perempuan yang hamil di luar nikah, apakah diperbolehkan atau tidak dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya (nikah tutup malu), para ulama kita telah berselisih menjadi dua madzhab.

 Madzhab yang pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain. Oleh karena itu halal baginya menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya. Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Syafi’iy dan Imam Abu Hanifah. Hanya saja Abu Hanifah mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.

Diperbolehkannya menikah tersebut juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal. 157) yang didasarkan pada fatwa Abu Bakar as-Shidiq “Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar : “Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar : “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu! Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun[2].

Adapun madzhab kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan, beralasan kepada beberapa hadits. Hadits Pertama.
“Artinya : Dri Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah melewati seorang perempuan [29] yang sedang hamil tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau bersabda, “Barangkali dia [30] (yakni laki-laki yang memiliki tawanan [31] tersebut) mau menyetubuhinya!?”. Jawab mereka, “Ya”. Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke dalam kuburnya [32] bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal baginya!?” (Hadits Riwayat Muslim)
Hadits Kedua : “Artinya : Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan-tawanan perang Authaas [34], “Janganlah disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak hamil sampai satu kali haid” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi)[3].
Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa :
a)    Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya.
b)    Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.

Berbeda kasusnya jika terdapat suatu kejadian yang menunjukkan bahwa suatu pernikahan yang dilangsungkan antara wanita yang hamil di luar nikah tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan suatu paksaan dari pihak-pihak luar di luar mereka berdua. Maka dalam hal ini pengarang kitab “Tanwirul Qulub” menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak sah kalau memang tidak adanya unsur kemauan si calon suami. Karena kemauan tersebut merupakan syarat sah dalam melangsungkn perkawinan[4]. Sebagaimana seorang laki-laki yang menjatuhkan thalaq karena perintah dari seorang hakim, maka thalaqnya dihukumi tidak sah/ batal.

Sedangkan kaitannya dengan anak yang lahir dari kandungan perempuan yang hamil di luar nikah tadi, para ulama juga telah sepakat bahwa anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya, akan tetapi hanya dinasabkan kepada ibunya yang hamil tadi. Sehingga dari ketentuan ini menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :
a)    Anak yang lahir di luar nikah tidak saling mewarisi dengan ayahnya, meskipun anak tersebut lahir atas air sperma dari ayahnya tadi.
b)    Seorang laki-laki yang menikahi perempuan yang hamil di luar nikah tadi tidak berhak menjadi wali nikah anaknya yang berada dalam kandungan istrinya jika anak tersebut terlahir sebagai perempuan[5].
c)    Laki-laki yang menikahi perempuan yang telah hamil di luar nikah, tidak berkewajiban memberikan nafkah terhadap anak yang terlahir akibat hubungan di luar nikah antara pasangan tersebut.
d)    Dalam hal hubungan mahram, anak luar nikah tadi tetap mempunyai hubungan mahram dengan laki-laki yang menikahi ibunya tadi.

Nikah Tutup Malu dalam Perspektif Hukum Positif

Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor I Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991. Kaitannya dengan masalah nikah tutup maul dikarenakan hamil di luar nikah, ada beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam yang menerangkannya disertai akibat hukumnya. Di antaranya adalah pasal 53 yang menerangkan tentang prosedur perkawinan seseorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sedang hamil. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.

Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahirkan isterinya).

Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
a.    Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
b.    Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
c.    Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.

Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera dalam kitab fikih, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam pasal-pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Selain itu, UU tersebut juga menjelaskan beberapa akibat hukum dari dilangsungkannya perkawinan di atas, yaitu : Pasal 43 ayat (1) : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pasal 44 ayat (1) : “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut

Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”[6].

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/ pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.

Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah :
a)    Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.
b)    Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka, perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.


[1] Hisako Nakamura. Perceraian Orang Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1991. Hal: 30
[2] Ibnu Hazm. Al-Muhalla. Juz 10. hal 476
[4] Djamaluddin Miri. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. Surabaya : Khalista. 2007. Hal: 156
[5]Ibnu Hazm. Al-Muhalla. Juz 10. hal 323.
[6] Undang-undang Perkawinan Indonesia 2007. Wacana Intelektual Press. 2007. Hal: 225

Tidak ada komentar:

Posting Komentar