Rabu, 11 Januari 2012


Pengertian Janin (Anak Dalam Kandungan)
Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al quran surah Al-Ahqof : 15
kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula”.
 Menurut istilah para fuqoha, janin adalah anak yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun perempuan.
            Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia, diantara ahli warisnya terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu memperoleh warisan bil fi’li, karena hidupnya ketika muwaris meninggal tidak dapat dipastikan.
Salah satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan , satu atau kembar.
            Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyat menyangkut kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya di-mawqufkan sampai dia lahir, karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketika muwarisnya meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli waris yang mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal. Oleh karena itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena ketidakpastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.
Syarat Janin untuk Memperoleh  Harta Waris
Anak yang masih berada dalam kandungan ibunya termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Untuk merealisasikan hak kewarisan ini, diperlukan syarat-syarat berikut :
a.       Ketika muwaris meninggal, anak itu telah berwujud dalam rahim ibunya.
Waris mewarisi bertujuan menggantikan kedudukan orang yang sudah meninggal dalam kepemilikan harta bendanya. Maka disyaratkan bayi tersebut telah terwujud supaya tergambar penggantian yang dimaksud. Tingkatan yang seminimal-minimalnya sebagai seorang pengganti ia harus sudah terwujud, walaupun masih berada dalam kandungan ibunya. Ini karena sperma yang ada pada rahim itu, tidak akan hancur jika mempunyai zat hidup, sehingga ia dihukumi hidup.
b.      Bayi yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup.
Lahir dalam keadaan hidup disyaratkan untuk meyakinkan bahwa anak dalam kandungan itu memang benar-benar hidup dalam rahim ketika muwaris meninggal. Ketika masih dalam kandungan walaupun sudah dianggap hidup, itu bukanlah hidup yang sebenarnya. Kelahiran dalam keadaan hidup ke dunia ini dengan tenggang waktu yang telah ditentukan merupakan bukti yang nyata atas perwujudan ketika orang yang mewariskan meninggal. Selain perwujudan nyata anak dalam keadaan hidup dan tenggang waktu kelahiran diperlukan juga ciri-ciri yang meyakinkan. Diantara ciri-ciri tersebut antara lain berteriak, bernafas, bergerak dan lain sebagainya. Sebagaimana Abu Hurairah r.a mengutip sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan tanda-tanda hidup ini sebagai berikut :
“Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka diberi pusaka”
Kontradiksi antara tanda-tanda hidup disatu pihak dan kematian dipihak lain pada seorang anak yang baru dilahirkan menimbulkan perbedaan pendapat diantara ulama tentang status hukum dan hak pusakanya, yaitu :
Pertama, menurut Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i, bahwa anak yang keluar sebagian besar anggota tubuhnya beserta ada tanda-tanda hidup, sesaat setelah kelahirannya setelah itu mati, tidak dapat mewarisi lantaran belum keluar seluruh anggotanya. Karena itu disamakan dengan mati sebelum lahir.
Kedua, Menurut Abu Hanifah anak yang keluar sebagian besar anggota tubuhnya beserta ada tanda-tanda hidup dan mati sesaat setelah itu mendapat warisan , karena mereka mengidentikkan sebagian besar anggota tubuh yang sudah keluar dengan kelahiran yang sempurna dan mengambil dalil dari keumuman hadis diatas. Akan tetapi jika yang keluar itu sebagian kecil  kemudian disusul kematian, tidak dapat mewarisi.
Ketiga, Menurut Ibnu Hazm anak tersebut mendapat kewarisan walaupun yang keluar itu sebagian anggota tubuhnya dan biarpun tidak berteriak.
Cara Menghitung Warisan untuk Janin
1)      Mempresentasikan pembagian tentang bagian anak laki-laki, maka para ashabul furudh yang tidak terhijab dengan keberadaannya dapat mengambil saham yang telah di tentukan tanpa menunggu kelahirannya.
2)      Apabila bayi yang terlahir seorang perempuan maka  bayi tersebut hanya mengambil bagiannya hanya sebagai seorang anak perempuan, lalu harta selebihnya diberikan kepada yang berhak ,baik secara ulang perhitungan atau cara lainnya sesuai dengan aturan waris seperti seorang anak perempuan yang terlahir tidak dapat menghijab saudara laki-laki kandung pewaris,sebaliknya jika seorang laki-laki akan dapat menghijab saudara tersebut.
3)      Kematian bayi dalam kandungan berakibat tidak memperoleh hak waris baginya, maka harta taksiran yang telah diperhitungkan untuknya di berikan kepada yang berhak sesuai dengan aturan hukum waris.
4)      Apabila bayi yang terlahir hidup ,walaupun dalam waktu yang tidak lama, tetapi dapat dibuktikan secara  yuris / hukum  maka sistem perhitungan waris tetap memberikan hak waris untuknya sesuai dengan jenis kelamin dan keberadaan dirinya (seperti dia tetap hidup),kemudian harta tersebut(saham untuknya) diberikan kepada ahli waris yang berhak atas dirinya ,bukan lagi kepada pewaris(mait) pertama dalam perhitungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar