Pengertian
Janin (Anak Dalam
Kandungan)
Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil)
dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan
tercantum dalam Al quran surah Al-Ahqof : 15
“ kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah
pula”.
Menurut istilah para fuqoha, janin adalah anak yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun perempuan.
Pada
dasarnya apabila seseorang meninggal dunia,
diantara ahli warisnya terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang
sedang menjalankan masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari
orang lain yang meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu memperoleh
warisan bil fi’li, karena hidupnya ketika muwaris meninggal tidak
dapat dipastikan.
Salah
satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah
keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang
masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya,
karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan
lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan , satu atau kembar.
Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyat menyangkut
kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya di-mawqufkan sampai
dia lahir, karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketika muwarisnya
meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli waris yang
mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal. Oleh karena
itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk
mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta
warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan
karena ketidakpastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat
diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.
Syarat Janin
untuk Memperoleh Harta Waris
Anak yang masih berada dalam kandungan ibunya termasuk ahli waris
yang berhak menerima warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Untuk
merealisasikan hak kewarisan ini, diperlukan syarat-syarat berikut :
a.
Ketika
muwaris meninggal, anak itu telah berwujud dalam rahim ibunya.
Waris mewarisi bertujuan menggantikan kedudukan orang yang sudah
meninggal dalam kepemilikan harta bendanya. Maka disyaratkan bayi tersebut
telah terwujud supaya tergambar penggantian yang dimaksud. Tingkatan yang seminimal-minimalnya
sebagai seorang pengganti ia harus sudah terwujud,
walaupun masih berada dalam kandungan ibunya. Ini karena sperma yang ada pada
rahim itu, tidak akan hancur jika mempunyai zat hidup, sehingga ia dihukumi
hidup.
b.
Bayi
yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup.
Lahir dalam keadaan hidup disyaratkan untuk
meyakinkan bahwa anak dalam kandungan itu memang benar-benar hidup dalam rahim
ketika muwaris meninggal. Ketika
masih dalam kandungan walaupun sudah dianggap hidup, itu bukanlah hidup yang
sebenarnya. Kelahiran dalam keadaan hidup ke dunia ini dengan tenggang waktu
yang telah ditentukan merupakan bukti yang nyata atas perwujudan ketika orang
yang mewariskan meninggal. Selain perwujudan nyata anak dalam keadaan hidup dan
tenggang waktu kelahiran diperlukan juga ciri-ciri yang meyakinkan. Diantara ciri-ciri
tersebut antara lain berteriak, bernafas, bergerak dan lain sebagainya.
Sebagaimana Abu Hurairah r.a mengutip sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan
tanda-tanda hidup ini sebagai berikut :
“Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka diberi pusaka”
Kontradiksi antara tanda-tanda hidup disatu pihak dan kematian
dipihak lain pada seorang anak yang baru dilahirkan menimbulkan perbedaan
pendapat diantara ulama tentang status hukum dan hak pusakanya, yaitu :
Pertama, menurut
Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i, bahwa anak yang keluar sebagian besar anggota
tubuhnya beserta ada tanda-tanda hidup, sesaat setelah kelahirannya setelah itu
mati, tidak dapat mewarisi lantaran belum keluar seluruh anggotanya. Karena itu
disamakan dengan mati sebelum lahir.
Kedua, Menurut
Abu Hanifah anak yang keluar sebagian besar anggota tubuhnya beserta ada tanda-tanda
hidup dan mati sesaat setelah itu mendapat warisan , karena mereka mengidentikkan
sebagian besar anggota tubuh yang sudah keluar dengan kelahiran yang sempurna
dan mengambil dalil dari keumuman hadis diatas. Akan tetapi jika yang keluar
itu sebagian kecil kemudian disusul
kematian, tidak dapat mewarisi.
Ketiga, Menurut
Ibnu Hazm anak tersebut mendapat kewarisan walaupun yang keluar itu sebagian
anggota tubuhnya dan biarpun tidak berteriak.
Cara Menghitung Warisan untuk Janin
1)
Mempresentasikan
pembagian tentang bagian anak laki-laki, maka
para ashabul furudh yang tidak terhijab dengan keberadaannya dapat mengambil saham
yang telah di tentukan tanpa menunggu kelahirannya.
2) Apabila bayi yang terlahir seorang perempuan maka bayi tersebut hanya mengambil bagiannya hanya
sebagai seorang anak perempuan, lalu harta selebihnya diberikan kepada yang
berhak ,baik secara ulang perhitungan atau cara lainnya sesuai dengan aturan
waris seperti seorang anak perempuan yang terlahir tidak dapat menghijab
saudara laki-laki kandung pewaris,sebaliknya jika seorang laki-laki akan dapat
menghijab saudara tersebut.
3) Kematian bayi dalam kandungan berakibat tidak memperoleh hak waris baginya,
maka harta taksiran yang telah diperhitungkan untuknya di berikan kepada yang
berhak sesuai dengan aturan hukum waris.
4)
Apabila bayi yang terlahir hidup ,walaupun
dalam waktu yang tidak lama, tetapi dapat dibuktikan secara yuris / hukum
maka sistem perhitungan waris tetap memberikan hak waris untuknya sesuai
dengan jenis kelamin dan keberadaan dirinya (seperti dia tetap hidup),kemudian
harta tersebut(saham untuknya) diberikan kepada ahli waris yang berhak atas
dirinya ,bukan lagi kepada pewaris(mait) pertama dalam perhitungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar