Minggu, 15 Januari 2012

Urgensi Wali Dalam Pernikahan


Pengertian  Wali
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Olehkarena itu wali mempunyai banyak pengertian diantaranya ;orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi tugas nengurusi anak yatim serta hartanya, sebelum anak anak itu dewasa; pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki); orang saleh (suci), penyebar agama;kepala pemerintah.[1] Adapun yang dimaksud wali disini adalah wali sebagai seseorang yang bertindak atas nama atau pendamping pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Tentang keharusan adanya wali ini sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat apakah wali ini menjadi syarat syah nikah yang mesti ada dalam perkawinan atau tidak.Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perkawinan. Menurut mazhab Hanafi wali bukan merupakan syarat sah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan. Alasannya adalah riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas. Rasulullah SAW bersabda yang artinya “ Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya . Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya[2]. Menurut mazhab Hanafi, hadis diatas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali menganggap wali merupakan syarat sah perkawinan, dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak sah. Pendapat ini beralasan pada al-quran dan hadis. Dari al-quran yang dijadikan dalil antara lain pada QS. Al-Baqarah ayat 232:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3  
. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf

Syarat-Syarat Wali
Mengenai syarat-syarat seorang wali para ulama fiqih sepakat sebagai berikut :[3]
a.       Islam,orang yang tidak beragama Islamtidak sah menjadi wali, hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-quran surah Al-Maidah ayat 51 :
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠqåkuŽø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
b.      Laki-laki, maka tidak sah wali seorang wanita, dengan alasan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah”Tidak boleh perempuan menikahkan perempuan, dan tidak boleh perempuan menikahkan dirinya”(Riwayat Ibnu Majah)[4]
c.       Balig, tidak sah menjadi wali anak-anak atau orang yang belum dewasa. Ini merupakan syarat umum orang yang melakukan akad,mengambil dalil dari hadis yang berbunyi “Diangkat kalam (tidak terhitung secara hukum) seseorang yang tidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecilsampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sehat”
d.      Berakal, tidak diterima jadi wali orang gila atau kurang waras
e.        Merdeka, tidak sah wali hamba sahaya
f.       Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih, karena orang berada dibawah pengampuan tidak dapat bertindak hukumdengan sendiri sedangkan kedudukan wali merupakan suatu tindakan hukum[5]
g.      Berfikiran sehat Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaan tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak mendatangkan maslahat dalam perkawinan[6]
h.      Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dosa kecil serta tetap memelihara murua’h dan sopan santun.Menurut Ibnu Rusyd maksud keadilan disini adalah kondisi para wali ketika memilih calon suami yang sesuai dan cocok (kafaah) bagi para wanita yang dibawah perwaliannya
i.        Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan muslim yang berbunyi “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang”.
Macam-Macam Wali
Jumhur ulama yang mensyaratkan sahnya nikah dengn kehadiran wali, mereka membagi wali kepada tiga bagian :[7]
1)      Wali nasab yaitu orang yang menjadi pendamping nikah seorang perempuan yang berasal dari keturunannya atau karena hubungan tali kekeluargaan.
2)      Wali penguasa (hakim) yaitu Orang yang menjadi pendamping seorang perempuan yang diangkat oleh penguasa yang kedudukannya sebagai hakim atau penguasa khusus untung bidang tersebut disebabkan tidak ada wali nasab
3)      Wali bekas tuan yaitu wali yang berasal dari orang yang memerdekakan perempuan tersebut
Dalam urutan siapa yang paling berhak menurut Imam As-Syarqowi dalam kitabnya syarqowi pernikahan seorang perempuan syah apabila dinikahkan pertama kali oleh wali aqrab yaitu ayah dan kakek karena kedudukannya yang paling dekat kepada perempuan, dinamakan juga dengan wali mujbir yakni orang yang berhak mengakadkan pernikahan dan akadnya berlaku bagi anak perempuan yang masih gadis tanpa diminta kerelaan.[8] Akan tetapi wali mujibir disini boleh menikahkan dengan syarat :[9]
a)      Mempelai laki-laki harus sekufu
b)      Mempelai laki-laki harus membayar maskawin dengan tunai
c)      Tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki dan perempuan baik permusuhan jelas atau terselubung
d)     Tidak ada permusuhan yang nyata antara perempuan yang dinikahkan dengan wali yang menikahkan
e)      Tidak dinikahkan dengan lak-laki yang mengecewakan (membahayakan si anak) kelak dalam pergaulannya.
Jika tidak ada wali aqrab , maka perwalian pindah kewali aba’d yaitu :
1)      Saudara laki-laki kandung
2)      Saudara laki-laki seayah
3)      Anak laki-laki saudara kandung
4)      Anak laki-laki saudara seayah
5)      Paman kandung
6)      Paman seayah
7)      Anak laki-laki dari paman kandung
8)      Anak laki-laki dari paman seayah
Apabila tidak ada wali-wali yang tersebut di atas maka perwalian pindah ke   wali hakim, ketentuan ini berdasarkan hadis yang artinya : “ Apabila para wali bersengketa maka penguasa ( hakim ) adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”.[10] Berdasarkan hadis itu, dapat dirumuskan bahwa syarat supaya perwalian dapat pindah kepada hakim sebagai berikut :[11]
a)      Apabila ada sengketa antar wali
b)      Apabila tidak ada wali. Hal ini dibenarkan apabila telah jelas tidak ada wali.
c)      Wali menolak untuk menikahkan padahal sudah sekufu dan calon mempelai laki-laki sudah mampu membayar mahar tunai
d)     Wali berada pada tempat jauh, yang tidak mungkin menghadiri pernikahan tersebut karena ada kendala tertentu.
e)      Wali qorib sedang dalam ihram haji atau umrah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Abu Hanifah dan Hasan Khan berpendapat bahwa hak untuk menjadi wali bukan hanya diberikan kepada para ashobah tetapi dibolehkan juga kepada selain ashobah yaitu zdawil arham seperti saudara seibu, paman dari pihak ibu. Hal ini karena kedudukan kekerabatan disana sama antara pihak laki-laki dan perempuan yang merasa malu apabila si perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak pantas menjadi suaminya. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan itu anak perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal dan membolehkan anak menjadi wali terhadap ibunya yang akan kawin.
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan wali dalam Perkawinan
Menurut jumhur ulama wali merupakan salah satu syarat syahnya nikah, maka akad pernikahan harus dilakukan oleh wali sama ada yang kawin perempuan dewasa atau anak kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat, tidak ada hak perempuan sama sekali untuk menikahkan dirinya sendiri. Ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas berikut “ Akad nikah tidak syah kecuali dengan wali dan dua orang saksi” (Riwayat Bukhori dan Abu Daud).
Maka adanya wali yang menikahkan merupakan suatu keharusan,karena perempuan yang menikah adalah termasuk orang yang berada dalam tanggung jawab wali. Wali merupakan orang mesti mengetahui laki-laki mana yang akan menggauli anak perempuannya supaya tidak terjadi fitnah manakala perempuan tersebut hamil disebabkan pernikahan tersebut dan untuk menjaga pandangan orang yang merendahkan.[12]
Sedangkan ulama Abu Hanifah dan Abu Yusuf tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah balig dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri,tanpa wajib dihadiri wali dan dua orang saksi selama calon suami sekufu,dengan alasan dari al-quran surah al-Baqorah 234 :
( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat
Menurut mereka perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik itu gadis atau janda, maka wali nasab tidak berhak menghalangi pernikahannya kecuali apabila perkawinan itu dengan orang yang tidak sekufu (tidak sepadan) atau apabila mas kawin lebih rendah daripada mahar mistil. Akan tetapi apabila perempuan mengawinkan dirinya sendiri dengan orang yang tidak sekufu dan tanpa kerelaan wali ashib maka perkawinan tersebut tidak sah demi kemaslahatan yakni untuk menghindari perselisihan. Selain itu wanita yang sudah dewasa sudah dianggap cerdik,maka dia sudah bisa melakukan akad sendiri, karena apabila mereka diampu terus termasuk dalam masalah pernikahan maka tidak menempatkan dirinya pada tempat yang wajar. Oleh sebab itu otoritas diserahkan kepada perempuan seutuhnya, wali cukup mempunyai hak membatalkan nikah atu mengingkarinya.[13]
Sedangkan perempuan yang tidak mempunyai wali ashib sama sekali, atau mempunyai wali tetapi bukan wali ashib, maka siapapun tidak berhak menghalangi perempuan tersebut untuk melakukan pernikahan sendiri, baik ia kawin dengan laki-laki sekufu atau tidak, dengan mahar mistil atau dengan mahar yang lebih rendah daripada mahar mistil, sebab pada keadaan yang demikian segala urusan kembali kepada tanggung jawabnya sepenuhnya.[14]
Urgensi Wali Dalam Pernikahan
               Ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i memahami keberadaan wali dalam akad nikah merupakan suatu yang mesti, dan tidak sah akad perkawinan tanpa izin dan kehadiran wali. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan dan itu merupakan kesepakatan para ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat juga sebagai orang yang diminta persetujuan untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
                Perkawinan adalah perjanjian yang berbeda dengan perjanjian lainnya karena perjanjian perkawinan mememiliki rukun-rukun yang tidak ada pada perjanjian lainnya, antara lain, perjanjian perkawinan baru dianggap sahapabila ada izin wali. Wali adalah orang yang mempunyai wewenang untuk mengawinkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya, dimana tanpa izinnya, perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah. Dalam fiqih, dikenal istilah wali nasab, yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan perempuan yang dibawah perwaliannya, yang urutannya sudah ditentukan dalanm fiqih Islam. Apabila wali nasab tidak ada atau dalam keadaan tertentu, maka kekuasaan wali berpindah kepada hakim, yang dinamakan wali hakim.
               Perkawinan dalam islam telah ditentukan segala tata caranya, dan perkawinan itu merupakan ibadah, hal itu untuk membedakan cara kawin diluar agama Islam dan kawin menurut aturan agama yang benar. Juga untuk membedakan kawin binatang dengan manusia, karena kalau ini hanya dinilai kegiatan sosial tidak ada muatan agama, maka bentuk dan aturannya adalah relatif sesuai dengan keinginan orang yang akan kawin, dan standar hukumnya adalah adat atau etika, dimana pantas, layak dan enak menurut komunitasnya.
               Kembali kepada masalah wali nikah bagi perempuan. Kecenderungan diwajibkannya ada wali memang sangat urgen untuk kemaslahatan perempuan itu sendiri. Sebenarnya urgensi adanya wali perempuan dalam rangka ada pengalihan tanggung jawab pihak lain (wali) perempuan dan perlindungan kemanusiaan dari pihak calon suami, maka tidak ada diskriminasikan dari segi keadilan, artinya karena perempuan harus selalu dilindungi, dikasihi dan dimanjakan.
               Para ulama hati-hati dan memuliakan kehormatan wanita, sehingga sangat hati-hati dalam tasruf kehormatan wanita yang satu ini, karena, salahnya  dalam tasaruf  akan jadi berakibat buruk pada keturunan dan hal-hal yang bersangkutan. Kebanyakan ulama yang mengharuskan ada wali bagi perempuan itu semata hanya mengayomi perempuan yang kebanyakan tabiatnya lemah, dibanding kebanyakan lelaki yang perkasa. Disini hukum mengambil standar mayoritas sebagai tolok ukur, sekalipun kadang ada laki-laki yang amat lemah juga, atau ada perempuan yang amat kuat dan cerdas mampu mengalahkan lelaki, namun semua itu hanya sebagian kecil, sedangkan standar penerapan hukum adalah mayoritas, standar hukum adalah aghlabiah.
               Adapun hukum di Indonesia kajian mengenai kedudukan wali nasab atau wali hakim sebagai wali nikah secara materiil tidak dijumpai dalam UU Perkawinan, maka kajian kedudukan wali dan atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia, terutama yang menyangkut dengan hukum keluarga bidang perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang banyak mengacu (rujukannya) kepada kitab-kitab fikih dalam mazhab Syafi'i; Oleh karenanya, kajian mengenai kedudukan wali hakim dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terlepas dari kajian mengenai wilayah tazwij menurut hukum Islam (KHI).
               Dalam KHI keberadaan wali nikah mutlak diperlukan apakah ia Wali Nasab ataupun Wali Hakim, baik pada perkawinan gadis maupun ataupun janda; dewasa ataupun belum dewasa dan sekaligus wali sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan itu. Dengan demikian kedudukan wali hakim dalam UU Perkawinan cenderung dengan hukum Islam dalam Mazhab Syafi'i.




[1] Abd. Rahman Ghozali, Piqih Munakahat. Hal :165
[2] Imam Muhammad bin Ismail,Sublussalam. Hal : 119
[3] Sulaiman Rajid, Fiqih Islam. Hal :384
[4]  Ismail, Sublussalam. Hal :120 jilid :3
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Hal : 77
[6] Ibid, Hal: 77
[7] Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid. Hal :419
[8] Imam Syarqowi, syarqowi. Hal 226
[9] Al Hamdani, Risalah Nikah. Hal :115
[10] Syarqowi, syarqowi. Hal 227
[11] Ibid, Hal :
[12] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Hal :154

[13] Ghozali, Piqih Munakahat. Hal : 61
[14] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah. Hal :519

Tidak ada komentar:

Posting Komentar