Pengertian
Wali
Wali
secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Olehkarena itu wali mempunyai banyak pengertian
diantaranya ;orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi tugas nengurusi
anak yatim serta hartanya, sebelum anak anak itu dewasa; pengasuh pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin
laki-laki); orang saleh (suci), penyebar agama;kepala pemerintah.[1]
Adapun yang dimaksud wali disini adalah wali sebagai seseorang yang bertindak
atas nama atau pendamping pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Tentang
keharusan adanya wali ini sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat apakah
wali ini menjadi syarat syah nikah yang mesti ada dalam perkawinan atau tidak.Para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perkawinan. Menurut mazhab
Hanafi wali bukan merupakan syarat sah nikah tetapi hanya penyempurna
perjanjian perkawinan. Alasannya adalah riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya “ Perempuan yang janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya . Gadis diminta perizinannya dan perizinannya
adalah diamnya”[2]. Menurut mazhab Hanafi, hadis
diatas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan tanpa disyaratkan
adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap izin wali bukan termasuk
syarat sah nikah.
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali
menganggap wali merupakan syarat sah perkawinan, dimana perkawinan tanpa izin
wali adalah tidak sah. Pendapat ini beralasan pada al-quran dan hadis. Dari
al-quran yang dijadikan dalil antara lain pada QS. Al-Baqarah ayat 232:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& xsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Zt £`ßgy_ºurør& #sÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3
. apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf
Syarat-Syarat
Wali
Mengenai
syarat-syarat seorang wali para ulama fiqih sepakat sebagai berikut :[3]
a.
Islam,orang yang
tidak beragama Islamtidak sah menjadi wali, hal ini berdasarkan firman Allah
dalam al-quran surah Al-Maidah ayat 51 :
* $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#räÏGs? yqåkuø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGt öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
b.
Laki-laki, maka tidak sah wali seorang wanita, dengan
alasan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah”Tidak boleh perempuan menikahkan
perempuan, dan tidak boleh perempuan menikahkan dirinya”(Riwayat Ibnu
Majah)[4]
c.
Balig, tidak sah
menjadi wali anak-anak atau orang yang belum dewasa. Ini merupakan syarat umum
orang yang melakukan akad,mengambil dalil dari hadis yang berbunyi “Diangkat
kalam (tidak terhitung secara hukum) seseorang yang tidur sampai ia bangun,
seseorang yang masih kecilsampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sehat”
d.
Berakal, tidak diterima jadi wali orang
gila atau kurang waras
e.
Merdeka, tidak sah wali hamba sahaya
f.
Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih,
karena orang berada dibawah pengampuan tidak dapat bertindak hukumdengan
sendiri sedangkan kedudukan wali merupakan suatu tindakan hukum[5]
g.
Berfikiran sehat Orang yang terganggu pikirannya karena
ketuaan tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak mendatangkan
maslahat dalam perkawinan[6]
h.
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar
dan tidak sering terlibat dosa kecil serta tetap memelihara murua’h dan sopan
santun.Menurut Ibnu Rusyd maksud keadilan disini adalah kondisi para wali
ketika memilih calon suami yang sesuai dan cocok (kafaah) bagi para wanita yang
dibawah perwaliannya
i.
Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah. Hal ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan muslim yang berbunyi “Orang yang sedang
ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh
seseorang”.
Macam-Macam
Wali
Jumhur
ulama yang mensyaratkan sahnya nikah dengn kehadiran wali, mereka membagi wali
kepada tiga bagian :[7]
1)
Wali nasab yaitu
orang yang menjadi pendamping nikah seorang perempuan yang berasal dari
keturunannya atau karena hubungan tali kekeluargaan.
2)
Wali penguasa (hakim) yaitu Orang yang menjadi pendamping
seorang perempuan yang diangkat oleh penguasa yang kedudukannya sebagai hakim
atau penguasa khusus untung bidang tersebut disebabkan tidak ada wali nasab
3)
Wali bekas tuan
yaitu wali yang berasal dari orang yang memerdekakan perempuan tersebut
Dalam urutan siapa yang paling berhak menurut Imam
As-Syarqowi dalam kitabnya syarqowi pernikahan seorang perempuan syah apabila
dinikahkan pertama kali oleh wali aqrab yaitu ayah dan kakek karena
kedudukannya yang paling dekat kepada perempuan, dinamakan juga dengan wali
mujbir yakni orang yang berhak mengakadkan pernikahan dan akadnya berlaku bagi
anak perempuan yang masih gadis tanpa diminta kerelaan.[8] Akan tetapi wali mujibir disini boleh
menikahkan dengan syarat :[9]
a)
Mempelai
laki-laki harus sekufu
b)
Mempelai
laki-laki harus membayar maskawin dengan tunai
c)
Tidak ada
permusuhan antara mempelai laki-laki dan perempuan baik permusuhan jelas atau
terselubung
d)
Tidak ada
permusuhan yang nyata antara perempuan yang dinikahkan dengan wali yang
menikahkan
e)
Tidak dinikahkan
dengan lak-laki yang mengecewakan (membahayakan si anak) kelak dalam
pergaulannya.
Jika tidak ada wali aqrab , maka
perwalian pindah kewali aba’d yaitu :
1)
Saudara
laki-laki kandung
2)
Saudara
laki-laki seayah
3)
Anak laki-laki
saudara kandung
4)
Anak laki-laki
saudara seayah
5)
Paman kandung
6)
Paman seayah
7)
Anak laki-laki
dari paman kandung
8)
Anak laki-laki
dari paman seayah
Apabila tidak ada wali-wali yang tersebut di atas maka
perwalian pindah ke wali hakim,
ketentuan ini berdasarkan hadis yang artinya : “ Apabila para wali bersengketa
maka penguasa ( hakim ) adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”.[10] Berdasarkan hadis itu, dapat dirumuskan
bahwa syarat supaya perwalian dapat pindah kepada hakim sebagai berikut :[11]
a)
Apabila ada
sengketa antar wali
b)
Apabila tidak
ada wali. Hal ini dibenarkan apabila telah jelas tidak ada wali.
c)
Wali menolak
untuk menikahkan padahal sudah sekufu dan calon mempelai laki-laki sudah mampu
membayar mahar tunai
d)
Wali berada pada
tempat jauh, yang tidak mungkin menghadiri pernikahan tersebut karena ada
kendala tertentu.
e)
Wali qorib
sedang dalam ihram haji atau umrah
Abu Hanifah dan Hasan Khan berpendapat bahwa hak untuk menjadi wali bukan
hanya diberikan kepada para ashobah tetapi dibolehkan juga kepada selain
ashobah yaitu zdawil arham seperti saudara seibu, paman dari pihak ibu. Hal
ini karena kedudukan kekerabatan disana sama antara pihak laki-laki dan perempuan
yang merasa malu apabila si perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak pantas
menjadi suaminya. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan
kakek tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan itu anak
perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal dan membolehkan anak menjadi
wali terhadap ibunya yang akan kawin.
Pandangan Ulama Tentang
Kedudukan wali dalam Perkawinan
Menurut jumhur ulama wali merupakan salah satu syarat syahnya nikah, maka
akad pernikahan harus dilakukan oleh wali sama ada yang kawin perempuan dewasa
atau anak kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat,
tidak ada hak perempuan sama sekali untuk menikahkan dirinya sendiri. Ini
berdasarkan hadis Ibnu Abbas berikut “ Akad nikah tidak syah kecuali dengan
wali dan dua orang saksi” (Riwayat Bukhori dan Abu Daud).
Maka adanya wali yang
menikahkan merupakan suatu keharusan,karena perempuan yang menikah adalah
termasuk orang yang berada dalam tanggung jawab wali. Wali merupakan orang mesti
mengetahui laki-laki mana yang akan menggauli anak perempuannya supaya tidak
terjadi fitnah manakala perempuan tersebut hamil disebabkan pernikahan tersebut
dan untuk menjaga pandangan orang yang merendahkan.[12]
Sedangkan ulama Abu
Hanifah dan Abu Yusuf tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang
telah balig dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri,tanpa
wajib dihadiri wali dan dua orang saksi selama calon suami sekufu,dengan alasan
dari al-quran surah al-Baqorah 234 :
( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat
Menurut mereka
perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya
sendiri, baik itu gadis atau janda, maka wali nasab tidak berhak menghalangi
pernikahannya kecuali apabila perkawinan itu dengan orang yang tidak sekufu
(tidak sepadan) atau apabila mas kawin lebih rendah daripada mahar mistil.
Akan tetapi apabila perempuan mengawinkan dirinya sendiri dengan orang yang
tidak sekufu dan tanpa kerelaan wali ashib maka perkawinan tersebut tidak sah
demi kemaslahatan yakni untuk menghindari perselisihan. Selain itu wanita yang
sudah dewasa sudah dianggap cerdik,maka dia sudah bisa melakukan akad sendiri,
karena apabila mereka diampu terus termasuk dalam masalah pernikahan maka tidak
menempatkan dirinya pada tempat yang wajar. Oleh sebab itu otoritas diserahkan
kepada perempuan seutuhnya, wali cukup mempunyai hak membatalkan nikah atu
mengingkarinya.[13]
Sedangkan perempuan
yang tidak mempunyai wali ashib sama sekali, atau mempunyai wali tetapi bukan
wali ashib, maka siapapun tidak berhak menghalangi perempuan tersebut
untuk melakukan pernikahan sendiri, baik ia kawin dengan laki-laki sekufu atau
tidak, dengan mahar mistil atau dengan mahar yang lebih rendah daripada mahar
mistil, sebab pada keadaan yang demikian segala urusan kembali kepada tanggung
jawabnya sepenuhnya.[14]
Urgensi Wali Dalam Pernikahan
Ditengah-tengah masyarakat Indonesia
yang mayoritas bermazhab Syafi’i memahami keberadaan wali dalam akad nikah
merupakan suatu yang mesti, dan tidak sah akad perkawinan tanpa izin dan
kehadiran wali. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan dan itu
merupakan kesepakatan para ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan, wali
adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat juga
sebagai orang yang diminta persetujuan untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Perkawinan adalah perjanjian yang berbeda
dengan perjanjian lainnya karena perjanjian perkawinan mememiliki rukun-rukun
yang tidak ada pada perjanjian lainnya, antara lain, perjanjian perkawinan baru dianggap
sahapabila ada izin wali. Wali adalah orang yang mempunyai wewenang untuk
mengawinkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya, dimana tanpa izinnya,
perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah. Dalam fiqih, dikenal istilah wali
nasab, yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan perempuan yang dibawah
perwaliannya, yang urutannya sudah ditentukan dalanm fiqih Islam. Apabila wali nasab tidak ada atau dalam keadaan
tertentu, maka kekuasaan wali berpindah kepada hakim, yang dinamakan wali
hakim.
Perkawinan
dalam islam telah ditentukan segala tata caranya, dan perkawinan itu merupakan
ibadah, hal itu untuk membedakan cara kawin diluar agama Islam dan kawin menurut
aturan agama yang benar. Juga untuk membedakan kawin binatang dengan manusia,
karena kalau ini hanya dinilai kegiatan sosial tidak ada muatan agama, maka
bentuk dan aturannya adalah relatif sesuai dengan keinginan orang yang akan kawin, dan standar
hukumnya adalah adat atau etika, dimana pantas, layak dan enak menurut komunitasnya.
Kembali
kepada masalah wali nikah bagi perempuan. Kecenderungan diwajibkannya ada wali
memang sangat urgen untuk kemaslahatan perempuan itu sendiri. Sebenarnya urgensi
adanya wali perempuan dalam rangka ada pengalihan tanggung jawab pihak lain
(wali) perempuan dan perlindungan kemanusiaan dari pihak calon suami, maka
tidak ada diskriminasikan dari segi keadilan, artinya karena perempuan harus
selalu dilindungi, dikasihi dan dimanjakan.
Para ulama hati-hati dan memuliakan
kehormatan wanita, sehingga sangat hati-hati dalam tasruf kehormatan
wanita yang satu ini, karena, salahnya dalam tasaruf akan jadi berakibat buruk pada keturunan dan
hal-hal yang bersangkutan. Kebanyakan ulama yang mengharuskan ada wali bagi perempuan
itu semata hanya mengayomi perempuan yang kebanyakan tabiatnya lemah, dibanding
kebanyakan lelaki yang perkasa. Disini hukum mengambil standar mayoritas
sebagai tolok ukur, sekalipun kadang ada laki-laki yang amat lemah juga, atau
ada perempuan yang amat kuat dan cerdas mampu mengalahkan lelaki, namun semua
itu hanya sebagian kecil, sedangkan standar penerapan hukum adalah mayoritas, standar
hukum adalah aghlabiah.
Adapun
hukum di Indonesia kajian mengenai kedudukan wali nasab atau wali hakim sebagai
wali nikah secara materiil tidak dijumpai dalam UU Perkawinan, maka kajian
kedudukan wali dan atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum
positif di Indonesia, terutama yang menyangkut dengan hukum keluarga bidang
perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang banyak mengacu (rujukannya)
kepada kitab-kitab fikih dalam mazhab Syafi'i; Oleh karenanya, kajian mengenai
kedudukan wali hakim dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
terlepas dari kajian mengenai wilayah tazwij menurut hukum Islam (KHI).
Dalam KHI keberadaan wali nikah
mutlak diperlukan apakah ia Wali Nasab ataupun Wali Hakim, baik pada perkawinan
gadis maupun ataupun janda; dewasa ataupun belum dewasa dan sekaligus wali
sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan itu. Dengan demikian kedudukan wali hakim
dalam UU Perkawinan cenderung dengan hukum Islam dalam Mazhab Syafi'i.
[1]
Abd. Rahman Ghozali, Piqih Munakahat. Hal :165
[2]
Imam Muhammad bin Ismail,Sublussalam. Hal : 119
[3]
Sulaiman Rajid, Fiqih Islam. Hal :384
[4]
Ismail, Sublussalam. Hal :120
jilid :3
[5]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Hal : 77
[6]
Ibid, Hal: 77
[7]
Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid. Hal :419
[8]
Imam Syarqowi, syarqowi. Hal 226
[9]
Al Hamdani, Risalah Nikah. Hal :115
[10]
Syarqowi, syarqowi. Hal 227
[11]
Ibid, Hal :
[12]
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Hal :154
[13]
Ghozali, Piqih Munakahat. Hal : 61
[14]
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah. Hal :519
Tidak ada komentar:
Posting Komentar