Senin, 02 Juli 2012

Kaedah-Kaedah Penafsiran al-Qur’an Perspektif Makkiyah-Madaniyah dan Muhkam-Mutasyabih





Kaedah-Kaedah Penafsiran al-Qur’an

Perspektif Makkiyah-Madaniyah dan Muhkam-Mutasyabih

Oleh: Nur Saniah, SHI



Pendahuluan
al-Qur’an merupakan firman (kalam) Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dengan lafazd dan maknanya. al-Qur’an sebagai kitabullah menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam. Selain itu al-Qur’an juga berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Sebagai sumber ajaran Islam yang paling utama al-Qur’an merupakan sumber dari segala ajaran yang dipergunakan untuk operasionalisasi ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi umat Islam. Setiap prilaku dan tindakan umat Islam, baik secara individu atau kelompok harus dilakukan berdasarkan al-Qur’an. Oleh karena itu, sumber ajaran Islam berfungsi sebagai dasar pokok ajaran Islam. Sebagai dasar, maka sumber itu menjadi landasan semua prilaku dan tindakan umat Islam, sekaligus sebagai referensi tempat orientasi dan konsultasi.[1]

Dalam memahami hakikat al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat, menurut al-Ghozali hakikat al-Qur’an adalah firman yang berdiri pada Zat Allah SWT, yaitu salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah yang qodim. Menurut ulama Mutakallimin, hakikat al-Qur’an ialah makna yang terdiri pada Zat Allah SWT.[2]

Cara yang dilakukan para ulama dalam memahami hakikat makna dan kandungan al-Qur’an, yakni dengan cara menafsiri ayat-ayat al-Qur’an dengan meninjau dari berbagai segala aspek yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti sejarah turunnya al-Qur’an, karakteristik al-Qur’an, kandungan isi al-Qur’an dan kaedah-kaedah tafsir yang digunakan dalam memahami makna al-Qur’an. Di antara kaedah-kaedah tafsir yang penting diketahui dalam proses penafsiran al-Qur’an adalah masalah makkiyah-madaniyah dan muhkam-mutasyabih.

Makkiyah-madaniyah merupakan istilah yang dipopulerkan para ulama dalam membedakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tempat turun ayat al-Qur’an. Pembahasan mengenai surah makkiyah-madaniyah, tidak ada ayat al-Qur’an atau hadis yang khusus menjelaskan tentang makkiyah dan madaniyah. Menurut Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intishar, tidak ada nash yang menjelaskan tentang makkiyah-madaniyah, disebabkan Allah tidak memerintahkan nabi untuk menjelaskan tentang hal itu. Demikian juga, Allah tidak menjadikan pengetahuan tentang makkiyah-madaniyah sebagai suatu kewajiban.[3]

Ilmu makkiyah-madaniyah dapat diketahui berdasarkan riwayat para sahabat dan tabi’in. Pada saat al-Qur’an diturunkan para sahabat merasa tidak membutuhkan penjelasan tentang persoalan mengenai ilmu-ilmu tentang turunnya al-Qur’an tersebut termasuk makkiyah dan madaniyah. Disebabkan para sahabat sudah menyaksikan sendiri waktu-waktu turunnya wahyu, cara-cara turunnya dan materi serta kasus yang menyebabkan turunnya wahyu.[4]

Bahkan salah satu tokoh Mufassir pada masa sahabat, misalnya Abdullah ibnu Mas’ud pernah menyatakan, “Demi Allah. Tidak Ada Tuhan selain Dia. Tidak diturunkannya satu ayat pun dari kitab Al-Qur’an, kecuali saya mengetahuinya. Di mana diturunkan, jika saya tahu, bahwa ada seseorang yang lebih tahu daripada saya tentang kitab Allah, meskipun misalnya itu disampaikan oleh unta, niscaya saya akan mengunjunginya”.[5] Pernyataan Abdullah ibnu Mas’ud ini, bukan suatu ungkapan kesombongan tetapi merupakan pernyataan betapa besar perhatian Ibn Mas’ud terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Sedangkan muhkam-mutasyabih merupakan istilah yang dinamai para ulama untuk menentukan dan mengklasifikasikan lafazd dari ayat-ayat al-Qur’an menurut kandungan maknanya. Menurut imam ath-Thibi muhkam adalah lafazd yang jelas maknanya, sehingga tidak menimbulkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sedangkan lafazd mutasyabih adalah lafazd yang sulit dipahami dan menimbulkan kemusykilan dan perlu penakwilan.[6] Jadi Ayat yang muhkam ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat-ayat mutasyaabih adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang peristiwa gaib, ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Adanya ayat muhkam-mutasyabih merupakan ketetapan yang telah ditentukan Allah. Berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (٧)

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.

Secara garis besar, sebab adanya ayat muhkam-mutasyabih adalah karena adanya kesamaran tujuan syarak dalam ayat-ayat al-Qur’an, sehingga sulit dipahami tanpa dilengkapi dengan ayat lain atau dengan cara penakwilan.

Kaedah-kaedah tersebut termasuk kaedah sentral dalam proses penafsiran al-Qur’an yang harus diketahui oleh setiap mufasir. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut dan terperinci tentang kaedah-kaedah penafsiran dalam masalah Makkiyah-madaniyah dan muhkam-mutasyabih.



Definisi Makkiyah-Madaniyah

Secara umum ulama pakar studi al-Qur’an, dalam mendefinisikan makkiyah dan madaniyah dalam beberapa klasifikasi. Zarkasyi dalam kitab al-Burhan fi Ulimul Qur’an memberikan pengertian makkiyah dan madaniyah dalam tiga klasifikasi, pertama dalam segi tempat, makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di Makkah, madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah. Kedua dari segi fase, makkiyah adalah ayat yang turun sebelum hijrah, sedangkan madaniyah adalah ayat yang turun setelah Nabi hijrah. Ketiga dari segi redaksi, makkiyah adalah ayat yang ditujukan kepada penduduk Makkah, madaniyah adalah ayat atau surah yang ditujukan kepada penduduk Madinah.[7]

Selain klasifikasi definisi di atas, Abdul Djalal dalam buku Ulumul Qur’an mengemukakah 4 teori dalam mendefinisikan makkiyah dan madaniyah, yaitu :[8]

1. Mulaahazhatu Makaanin Nuzuli (teori geografis)

Teori yang berorientasi kepada tempat turunnya ayat al-Qur’an. Teori ini mendefinisikan makkiyah adalah ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya, sama ada turun ayat sebelum nabi hijrah ke Madinah ataupun setelah nabi hijrah. Termasuk kategori makkiyah ini , ayat-ayat yang turun kepada nabi Muhammad ketika berada di Mina, Arafah, Hudaibiyah. Madaniyah adalah ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya. Termasuk dalam kategori Madaniyah ini adalah ayat-ayat yang turun kepada Nabi ketika berada di Badar, Qubq, Uhud.

2. Mulaahazhatul Mukhaathabina Finn Nuzuuli (teori subjektif)

Teori yang berorientasi kepada subjek yang dikhitob dalam ayat. Menurut teori ini, makkiyah adalah surah atau ayat yang berisi khitab atau panggilannya kepada penduduk Makkah dengan memakai kata-kata ياايها الناس - ياايها الكافرون atau يا بني ادامdisebabkan penduduk Makkah pada saat itu merupakan orang-orang kafir maka dipanggil dengan sebutan di atas, khitab ini juga berlaku kepada orang-orang kafir yang berada di daerah lain di luar kota Makkah. Sedangkan madaniyah adalah ayat yang berisi khitab kepada penduduk Madinah dengan nida’ (panggilan) ياايها الذ ين امنوا (wahai orang yang beriman). Sebab penduduk Madinah mayoritas penduduknya mukmin, walaupun orang yang beriman di luar Madinah juga termasuk dalam khitab dari ayat ini.

3. Mulaahazhatu Zamaaniin Nuzuuli (teori historis)

Teori ini berorientasi pada sejarah turunnya al-Qur’an, melalui patokan tonggak sejarah hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah. Pengertian makkiyah dalam teori ini adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah walaupun ayat itu turun di luar kota Makkah, seperti ayat yang turun di Mina, Arafah, Hudaibiyah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun setelah Nabi hijrah ke Madinah, walaupun ayat itu turun di luar Madinah atau sekitarnya seperti di Badar, Uhud, Arafah, bahkan di Makkah. Menurut para ulama teori historis ini merupaka teori yang paling baik dan falid. Disebabkan teori ini mampu mencakup seluruh batasan al-Qur’an. Semua ayat alqur’an sudah masuk dalam teori ini, karena al-Qur’an apabila tidak turun sebelum hijrah, pasti turun setelah Nabi hijrah.

4. Mulaahazhatu Ma Tadhammanat as-Suuratu (teori content analysis)

Teori ini membedakan makkiyah-madaniyah berdasarkan isi dari ayat atau surah tersebut. Definisi makkiyah dalam teori ini adalah surah atau ayat yang berisi cerita-cerita para umat dan nabi-nabi terdahulu. Sedangkan madaniyah adalah surah atau ayat yang berisi hukum hudud, faraid, dan masalah-masalah mu’amalah.



Metode Menentukan Makkiyah dan Madaniyah

Menurut Hasbi Ash Shiddiqie cara untuk menentukan Makkiyah dan Madaniyah dapat dilakukan dengan meninjau empat segi yaitu: pertama masa turunnya ayat (tartib zamani), kedua tempat turunnya ayat ( tartib makani), ketiga topik yang dibicarakan (tahwil maudhu’i), dan keempat orang-orang yang dihadapi (ta’yin syakhsyi).[9]

Sedangkan menurut Fard Abdurrahman ar-Rumi, dalam memahami Makkiyah dan Madaniyah, dapat ditempuh dengan dua metode, yaitu:[10]

1) Sima`i naqli (metode pendengaran seperti apa adanya). Metode sima'i naqli didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat itu dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi`’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu.

2) Manhaj qiyasi ijtihadi (menganalogikan dan ijtihad ). Metode qiyas ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyah. Apabila dalam surah makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung ciri-ciri ayat madaniyah atau mengandung peristiwa madaniyah, maka dikatakan bahwa ayat itu ayat madaniyah. Demikian juga sebaliknya,apabila dalam surah madaniyah terdapat satu ayat dengan ciri-ciri makkiyah, maka ayat itu dinamakan ayat makkiyah.



Karakteristik Teks dan Tema Dalam Surah Makkiyah

Setelah para ulama ulumu Qur’an meneliti surah-surah makkiyah, dapat menyimpulkan terdapat beberapa ketentuan analogis dalam makkiyah yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan tema atau persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari penelitian tersebut, para ulama mengambil sebuah konklusi bahwa di antara pertanda ayat makkiyah sebagai berikut.

1. Karakteristik qoth’i dalam surah atau ayat makkiyah antara lain :[11]

a. Setiap surah yang di dalamnya terdapat kata كلا . Kata ini dipergunakan untuk memberi peringatan yang tegas dan keras kepada orang kafir Mekkah. Lafazd ini tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 33 kali dalam 25 surah di bagian akhir mushab ustmani.

b. Setiap surah yang di dalamnya terdapat ayat sajadah, dalam al-Qur’an terdapat 15 ayat sajadah.

c. Setiap surah yang mengandung ياايها الناس dan tidak mengandung ياايهاالذ ين امنوا . dalam al-Qur’an khitab ini tersebut sebanyak 292 ayat.

d. Setiap surah yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran yang keduanya termasuk Madaniyyah. Adapun surah al-Ra’d yang masih diperselisihkan.

e. Setiap surah yang dimulai dengan huruf yang terpotong-potong (tahjjiy) termasuk sebagai surah Makiyyah, kecuali Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Huruf tahjjiy yang dimaksud di antaranya ك ي ه ص ع, ط ه س ي, ح م, dan sebagainya.

2. Karakteristik aghlabi dalam surah atau ayat makkiyah, yaitu:[12]

a. Mengandung seruan (nida’) untuk beriman kepada Allah dan hari kiamat dan apa-apa yang terjadi di akhirat. Di samping itu, ayat-ayat makiyyah ini menyeru untuk beriman kepada para rasul dan para malaikat serta menggunakan argumen-argumen akal, alam, dan jiwa.

b. Membantah argumen-argumen kaum Musyrikin dan menjelaskan kekeliruan mereka terhadap berhala-berhalanya.

c. Mengandung nida’ untuk berakhlak mulia dan berjalan di atas syariat yang hak tanpa terbius oleh perubahan situasi dan kondisi, terutama hal-hal yang berhubungan dengan memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.

d. Dalam surah makkiyah banyak terdapat redaksi sumpah.

e. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras serta menggetarkan hati dan maknanya pun meyakinkan.

3. Kandungan tema dalam surah makkiyah.

Dari segi kandungan tema dalam ayat-ayat makkiyah dapat diringkas sebagai berikut :[13]

a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.

b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.

c. Menyebutkan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.



Karakteristik Teks dan Tema Dalam Surah Madaniyah

Seperti halnya dalam surah atau ayat makkiyyah, surah atau ayat madaniyyah pun mempunyai beberapa karakteristik yang membedakan dengan surah-surah yang turun di Makkah.

1. Karakteristik qoth’i dalam surah madaniyah adalah:[14]

a. Setiap surah yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan.

b. Setiap surah yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian.

c. Setiap surah yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk madaniyyah, kecual surah Al-Ankabut yang turun di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surah tersebut yang termasuk madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.

d. Setiap surah membantah kepercayaan, pendirian dan tata cara keagamaan Ahlu Kitab yang dipandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan agamanya.

2. Karakteristik aghlabi dalam surah madaniyah, yaitu:[15]

a. Sebagian surah-surahnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya juga panjang-panjang dan gaya bahasa yang cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.

b. Menerangkan secara terperinci dalil-dalil yang menunjukkan hakikat keagamaan.

3. Kandungan tema dalam surah madaniyah, dapat diringkaskan sebagai berikut:[16]

a. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah undang-undang.

b. Dakwah terhadap ahli kitab, dari kalangan Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.

c. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.



Klasifikasi Surah Makkiyah dan Madaniyah
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada umumnya para ulama membagi surah-surah al-Qur’an menjadi dua kelompok, yaitu surah-surah makiyyah dan madaniyyah. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-masing kelompok. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah surah makiyyah ada 94 surah, sedangkan madaniyyah ada 20 surah. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa jumlah surah makiyyah ada 84 surah, sedangkan yang madaniyyah ada 30 surah.[17]

Perbedaan-perbedaan pendapat para ulama itu dikarenakan adanya sebagian surah yang seluruhnya ayat-ayat makkiyyah atau madaniyyah. Kemudian ada sebagian surah lain yang tergolong makiyyah atau madaniyyah, tetapi di dalamnya berisi sedikit ayat yang lain statusnya. Surah-surah dalam al-Qur’an itu terbagi menjadi empat macam :[18]

1. Surah-surah makkiyah murni, yaitu surah-surah makkiyah yang seluruh ayat-ayatnya berstatus makiyyah, tidak ada satu ayat pun yang madaniyah. Surah yang berstatus madaniyah murni, seluruhnya berjumlah 58 surah, yang berisi 2074 ayat, misalnya surah al-Fatihah, Yunus, ar-Ro’du, dan lain-lain.

2. Surah-surah madaniyah murni, yaitu surah-surah madaniyah yang seluruh ayat-ayat berstatus madaniyah, tidak ada satu ayat pun yang berstatus makkiyah. Surah madaniyah murni seluruhnya ada 18 surah, terdiri dari 737 ayat, misalnya surah Ali Imran, an-Nisa’, an-Nur dan lain-lain.

3. Surah-surah makiyah yang berisi ayat madaniyah, yaitu surah-surah yang kebanyakan ayat-ayat makkiyah, tetapi di dalamnya terdapat ayat yang berstatus madaniyah. Surah ini dalam al-Qur’an ada 32 surah, terdiri dari 2699 ayat, contoh surah Hud, Yusuf, Ibrahim.

4. Surah-surah madaniyah yang berisi ayat makkiyah, yaitu surah-surah yang kebanyakan ayat-ayat Madaniyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayat yang berstatus makiyyah. Contohnya surah al-Anfal termasuk kategori surah madaniyah degan jumlah ayat sebanyak 75 ayat, di dalamnya terdapat ayat makkiyah yaitu ayat 30-36.



Manfaat Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Manfaat mengetahui makkiyah dan madaniyah sangat banyak, akan tetapi dalam hal ini, di antara manfat-manfaat tersebut ialah:[19]

a. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur`an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Berdasarkan hal itu, seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, apabila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif, yang datang kemudian merupakan nasikh ayat yang terdahulu.

b. Dengan mengetahui makkiyah dan madaniyah, kita dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya. Dengan demikian kita dapat meyakini terhadap ketinggian kebijaksanaan Islam dalam mendidik manusia, baik individu maupun komunitas.

c. Ilmu ini dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran, kesucian dan keaslian al-Qur’an. Yaitu dengan merinci segala ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi turunnya, penyebabnya, ayt-ayat yang turun dan lain sebagainya. Maka siapa pun yang ingin merusak keaslian al-Qur’an, pasti segera diketahui oleh umat Islam.

d. Mengetahui makkiyah dan madaniyah kita dapat meresapi gaya bahasa al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam retorika dakwah. Karakteristik gaya bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.

e. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur`an. Sebab turun wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwa, baik dalam periode Makkah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur`an adalah sumber pokok bagi perjalanan hidup Rasulullah SAW, perjalanan hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan al-Quran; dan al-Qur`an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.







Sebab Munculnya Ayat-ayat Muhkam-Mutasyabih

Munculnya istilah muhkam dan mutasyabih dalam kajian ulumul Qur’an, disebabkan adan di antara ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam dan mutasyabih, urauian ini didukung dengan firman Allah dalam al-Qur’an dalam ayat-ayat berikut, surah Huud ayat 1:

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (١)

Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,

Surah az-Zumar ayat 23:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ (٢٣)

Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,

Surah al-Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (٧)

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Adapun kesimpulan yang dimaksud dari ayat-ayat di atas, ayat pertama menegaskan bawa kandungan ayat al-Qur’an adalah muhkam, yakni ayat-ayat tersebut kukuh dan tidak dimasuki kekurangan dan kebatilan. Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa ayat al-Qur’an mutasyabih, yakni ayat-ayat yag berada dalam satu keindahan, gaya, bahasa, dan daya ungkap yang luar biasa. Kemudian ayat ketiga membagi al-Qur’an pada dua bagian yaitu muhkam dan mutasyabih. Maka yang dimaksud muhkam ayat-ayat yang dalalah-nya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman, sedangkan mutasyabih sebaliknya.[20]



Definisi Muhkam dan Mutasyabih

Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya, kesempurnaan, ketelitian.[21] Muhkam juga dapat bermakna, menolak dari kerusakan.[22] Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kata muhkam ini di antaranya:

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (١)

Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.

Sedangkan mutasyabih isim faa’il yang diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal.[23] Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukan yang dimaksud dan tujuan ayat. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan jalan penakwilan. Ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kata mutasyabih yaitu:

إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (٧٠)

Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."

Adapun pengertian muhkam dan mutasyabih menurut terminologi atau istilah, padanya terdapat banyak pandangan para ulama, antara lain:

a. Menurut ulama golongan ahlus Sunnah wal jamaah, muhkam adalah lafazd yang telah diketahui makna maksudnya, disebabkan karena telah jelas artinya. Sedangkan mutasyabih adalah lafazd yang maknanya hanya diketahui oleh Allah. Contohnya seperti terjadinya hari kiamat, dajjal, dan hurup-hurup muqoththa’ah.[24]

b. Menurut Imam as-Suyuti, muhkam adalah ayat yang jelas dan nyata maksudnya tanpa ada kemungkinan untuk nasakh, sedangkan mutasyabiah adalah ayat yang tidak diketahui maknanya baik secara aqli atau naqli, dan ayat-ayat demikian hanya Allah yang tahu maksudnya.[25]

c. Menurut az-Zarqoni, muhkam adalah lafazd yang menunjukkan makna kuat yaitu lafazd nash atau lafazd zhohir, mutasyabiah adalah lafazd yang menunjukkan makna yang tidak kuat, yaitu lafazd mujmal, mua’wwal dan musykil.[26]

Jika semua definisi muhkam dan mutasyabih di atas dirangkum, maka muhkam adalah lafazd yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat tanpa ditakwilkan, karena susunannya sudah tertib, tidak musykil, masuk akal, dan dapat diamalkan karena tidak ada nasakh. Sedangkan mutasyabih adalah lafazd al-Qur’an yang samar karena tidak dapat dijangkau akal manusia, hanya cukup diyakini adanya saja, tanpa perlu diamalkan, karena ilmu tentang mutasyabih hanya Allah yang mengetahui.



Misal Ayat-ayat Muhkam
Ayat-ayat muhkam merupakan ayat yang jelas dan tegas maknanya, tanpa perlu ditakwilkan dan tidak mengandung kekeliruan makna. Ayat-ayat mukam juga diistilahkan dengan ummul kitab (pokok isi ajaran al-Qur’an).[27] Kandungan Ayat-ayat muhkam biasanya berisi tentang halal, haram, hudud, kewajiban janji dan ancaman.[28] Misal ayat-ayat muhkam antara lain:

Surah al-Hujrat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Surah al-Baqarah ayat 21:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

Surah al-Maidah ayat 3:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ (٣)

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.



Misal Ayat-ayat Mutasyabih

Adanya ayat muhkam-mutasyabih merupakan ketetapan yang telah ditentukan Allah. Berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (٧)

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.

Secara garis besar, sebab adanya ayat muhkam-mutasyabih adalah karena adanya kesamaran tujuan syarak dalam ayat-ayat al-Qur’an, sehingga sulit dipahami tanpa dilengkapi dengan ayat lain atau dengan cara penakwilan. Sebagian besar ayat mutasyabih pengetahuan tentang itu, hanya dimonopoli oleh Allah.

Secara rinci terjadinya ayat mutasyabih dalam alqur’andisebabkan 3 hal, yaitu kesamaran pada lafazd, pada makna, dan kesamaran pada lafazd dan makna.[29]

1. Kesamaran pada lafazd

Ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an, sebagian disebabkan kesamaran pada lafazd, baik lafazd tersebut mufrad atau murakkab.

a. Kesamaran pada lafazd mufrad dapat dilihat pada misal ayat-ayat berikut:[30]

a) Kesamaran lafazd mufrad yang gharib (asing), seperti lafazd اَبَّا dalam surah Abasa ayat 31:

وَفَاكِهَةً وَأَبًّا (٣١)

dan buah-buahan serta rumput-rumputan

kata di atas sulit dipahami, tanpa ada ayat yang melengkapi penjelasannya. Maka ayat ini dilengkapi ayat berikutnya.

b) Kesamaran lafazd mufrad yang bermakna ganda, misal: اليمين dalam surah Shadd ayat 93. Kata yaamiin dalam ayat tersebut bermakna ganda, yaitu dapat bermakna tangan kanan, kekuasaan, atau sumpah. Akan tetapi makna yang dimaksud adalah tangan kanan.

c) Kesamaran lafazd mufrad pada beberapa huruf muqaththa’ah yaitu:كحيعص- طه- حم-يس dan sebagainya, lafazd ini tidak dapat dipahami karena kesamaran makna. Para ulama tafsir biasanya memaknai lafazd tersebut dengan والله اعلم بمرادبه.

b. Kesamaran pada lafazd murakkab, kesamaran ini disebabkan lafazd tersebut tersusun terlalu ringkas atau terlalu luas, atau karena susunan ayat kurang tertib.[31] Misalnya adalah:

1. Kesamaran lafazd murakkab karena terlalu ringkas. Misal firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ (٣)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

2. Kesamaran lafazd murakkab karena terlalu luas,misal pada ayat: ليس كمثله. Dalam ayat tersebut huruf kaf menimbulkan kesamaran makna lafazd.

3. Kesamaran lafazd murakkab karena susunannya kurang tertib, seperti dalam surah al-Kahfi ayat 1:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (١)

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya.

Kesamaran disebabkan susunan kata-kata dalam ayat tersebut kurang tertib, yaitu seharusnya dengan meletakkan qayyiman, sebelum kata wa lam yaj’al, sehingga tidak menimbulkan kesamaran.

2. Kesamaran pada makna ayat

Terkadang terjadinya ayat mutasyabih, disebabkan ada kesamaran pada makna ayat. Misalnya makna dari sifat-sifat Allah SWT, seperti sifat ar-Rahman, ar-Rahim, Qudrat, Iradat, dan sifat-sifat lainnya. Selain itu juga masuk dalam kategori ini misalnya ihwal hari kiamat, Dajjal, kenikmatan sorga, siksa kubur, dan siksa neraka. Makna yang di kandung kalimat-kalimat tersebut mengandung kesamaran, disebabkan hal-hal tersebut tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia.[32]

3. Kesamaran pada lafazd dan makna ayat

Menurut Imam ar-Raghib al-Asfihani dalam kitab mufradatil Qur’an menyatakan, bahwa terjadinya ayat-ayat mutasyabih karena ada kesamaran pada lafazd dan makna. Kesamaran ini ada pada lima aspek, yaitu:[33]

a. Aspek kuantitas (al-Kammiyah), seperti masalah umum dan khusus. Contah dalam surah at-Taubah ayat 5:

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ (٥)

Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.

Dalam ayat ini, batasan yang dibunuh masih samar.

b. Aspek cara (al-Kaifiyah), contoh dalam permasalahan ini, seperti tata cara pelaksanaan kewajiban agama, seperti disebutkan dalam surah Thaha ayat 14: وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (١٤)

Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.

Dalam ayat ini,masih ada kesamaran dalam hal bagaimana cara shalat agar dapat ingat kepada Allah SWT.

c. Aspek waktu, seperti batasan sampai kapan melaksanakan suatu perbuatan. Contoh dalam surah al-Imran ayat 102:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (١٠٢)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya

d. Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah pada surah al-Baqarah ayat 189:

وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا (١٨٩)

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya

Adapun ayat-ayat mutasyabih yang sering menjadi perdebatan pada masalah teologi, ada pada ayat-ayat berikut:[34]

Surah at-Tahaa, ayat 5:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (٥)

Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy

Surah al-Qhosas ayat 88:

وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٨٨)

Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Surah Ar-Rahman ayat 27:

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (٢٧)

Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Surah al-Fath ayat 10:

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ (١٠)

tangan Allah di atas tangan mereka

surah al-Maidah ayat 64:

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ (٦٤)

tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka



Macam-macam Ayat Mutasyabih

Sesuai dengan sebab adanya ayat mutasyabih yang telah diuraikan di atas, yaitu yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an. Maka macam-macam ayat mutasyabih juga dibagi kepada beberapa bagian yaitu:[35]

1. Ayat-ayat mutasyabih yang tidak diketahui oleh semua umat manusia, yang mengetahui hanya Allah. Misalnya dzat Allah, hakikat sifat-sifat Allah, tentang hari kiamat, dan lainnya. Hal-hal tersebut merupakan urusan-urusan yang ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah al-An’am ayat 59:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (٥٩)

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)".

2. Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Misal dalam masalah ini adalah ayat-ayat yang merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.

3. Ayat-ayat mutasyabih yang hanya dapat diketahui oleh pakar ilmu dan sains. Termasuk dalam hal ini urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang Rasikh (mempunya ilmu pengetahuan yang dalam), sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Imran ayat 7:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ (٧)

Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya.



Hikmah Ayat-ayat Muhkam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat, mengandung hikmah yang banyak, bahkan tiap ayat per-ayat mengandung hikmah tersendiri. Al-Qur’an sangat teliti dalam memilih kosa kata, sering kali pemilihan tersebut dalam pandangan pertama kelihatan ganjil, bahkan menyalahi kaedah kebahahasaan, atau tidak sejalan dengan bahasa yang baik dan benar, tetapi semua itu mengandung hikmah.[36] Termasuk ayat-ayat muhkam mengandung hikmah sebagai berikut:[37]

a. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arab lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, dapat langsung memahami ayat-ayat al-Qur’an.

b. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya, Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.

c. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.

d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menunggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.

e. Memperlancar usaha penafsiran yang dilaksanakan para ulama tafsir, tanpa harus penakwilan makna-makna ayat, karena arti lafazd-lafazd ayat sudah jelas dan terang maknanya.





Hikmah Ayat-ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih juga mengandung banyak hikmah. Hikmah ayat-ayat mutasyabih di antaranya adalah:[38]

a. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan tidak mampuan akal untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.

b. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

d. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya. Sebagaimana diketahui bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifatNya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diriNya tidak sama dengan hambaNya dalam hal pemilikan anggota badan

e. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.

f. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.




[1] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Studi Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2005), hal.12


[2] Bisri M. Jailani, Ensiklopedi Islam, (Yokyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal.307


[3] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hal. 88


[4] Shubhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Ilmi, 1977), hal. 178


[5] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an..... hal.88


[6] Ibid, hal. 241


[7] Badruddin Muhammad Ibnu Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumul Qur’an, juz 1 (tt. Dar ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), hal.18


[8]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 78-87


[9] Muhammad Hasby ash-Siddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 62


[10] Fard Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompeleksitas al-Qur’an, (Yokyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997), hal. 89


[11] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hal. 74


[12] Ibid, hal. 75


[13] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an, (t.t, Mansyurat al-Ssyri al-Hadist, 1990), hal. 63


[14] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an.... hal.75


[15] ibid


[16] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an....hal. 64


[17] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 98


[18] Ibid, hal. 99


[19] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an.... hal.71-72


[20] Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Memahami Esensi al-Qur’an, Cet 3, (Jakarta: Lentara, 2003), hal. 41-42


[21] A. W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Progresif, 2002),hal. 287


[22] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 240


[23] Saifullah, dkk, Ulumul Qur’an, (Ponorogo: Prodial Pratama Sejati Press, 2004), hal.66


[24]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 240


[25] Saifullah, dkk, Ulumul Qur’an,..... hal. 67


[26] Muhammad Abdul ‘Azhim az-Zarqoni, Manahil al-Irfan Fi Ulu mal-Qur’an, (Beirut: Isa al-Babi al-Harbi, tt), hal. 272


[27] Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Memahami Esensi al-Qur’an....hal.45


[28] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an....hal. 216


[29] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 244


[30] Ibid, hal. 245


[31] Ibid, hal. 246


[32] Ibid, hal. 248-249


[33] Ibid, hal. 250-251


[34] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an....hal.216


[35] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 251-253


[36] Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah, dan Pembirataan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 144


[37] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 262-263


[38] Ibid, hal. 263-266

Minggu, 01 Juli 2012

Perdebatan Seputar Ijtihadur Rasul





Perdebatan Seputar Ijtihad Rasul

Oleh: Nur Saniah, SHI[1]



Abstrak

Kajian tentang sejarah perkembangan hukum Islam tidak bisa terlepas dari sejarah awal munculnya, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw di utus membawa risalah kerasulan. Segala permasalahan hukum yang timbul pada masa Rasul Saw, dapat langsung ditanyakan kepada Rasul sebagai salah satu rujukan hukum, maka adakalanya Rasulullah memecahkan masalah hukum dengan al-Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul, terkadang Rasul berijtihad dengan inisiatif sendiri, jika permasalahan hukum tersebut belum ada jawabannya berupa wahyu. Rasul Saw sebagai layaknya manusia, dalam berijtihad terkadang mengalami kekeliruan, maka Allah akan menurunkan wahyu sebagai pembenaran dari ijtihad tersebut, jika ternyata ijtihad yang dilakukan salah. Dari kategori ijtihad Rasul ini, maka muncul istilah sunnah tasyri’ yaitu perbuatan Nabi yang ada implikasi hukum atau permasalahan akidah dan ibadah. Sunnah ghairu tasyri’ yaitu perbuatan Nabi yang tidak ada implikasi hukum atau segala permasalahan dunia.



Pendahuluan

Sejarah perkembangan hukum Islam, dibagi kepada empat periode, yaitu periode Rasul, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan terakhir periode taklid dan kemunduran.[2]

Periode pertama masa Rasul, awal munculnya agama Islam bermula ketika Muhammad Saw diutus Allah menyampaikan risalah kerasulan. Pada periode awal tersebut, merupakan titik sentral dalam pembentukan hukum yang sampai sekarang terus berkembang. Periode awal pembentukan hukum Islam, berlangsung selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari, terbentuklah dasar-dasar pembentukan hukum yang sempurna.

Periode pembentukan hukum ini, terdiri dari dua fase yang berbeda, fase ketika Muhammad Saw tinggal di Makkah. Muhammad Saw berada di Negeri Makkah selama lebih kurang 12 tahun, fokus perhatian Muhammad Saw pertama kali pengenalan prinsip-prinsip Islam, yaitu penanaman tauhid dan meninggalkan penyembahan berhala, serta berusaha menyelamatkan para pengikut Islam dari orang-orang yang merintangi dakwah. Kaum muslimin pada priode ini, masih lemah secara kuantitas dan belum memiliki pengaruh tersendiri.

Pada fase Makkiyah, belum ada arahan pembentukan hukum amaliyah dan penyusunan undang-undang perdata, perdagangan dan hukum keluarga. Ayat-ayat Qur’an yang turun pada masa ini, sebagain besar berbicara tentang aqidah yaitu mengesakan Allah, menegakkan bukti adanya Allah, gambaran hari pembalasan kenikmatan dan kesengsaraannya, akhlak, dan sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. Dalam tinjauan historis, hal ini dapat kita fahami karena pada fase ini fokus perhatian Rasul adalah pada pengenalan prinsip-prinsip Islam.[3]

Dalam penyampaian risalah kerasulan pada fase ini, Muhammad Saw banyak menemui gangguan dan rintangan keras, bahkan sampai kepada ancaman pembunuhan dari masyarakat kafir Quraisy. Oleh karena beratnya penderitaan yang di derita kaum muslimin, akhirnya Muhammad mengadakan perjanjian (bay’ah) dengan beberapa orang utusan dari Yastrib, yang kemudian mengantarkan hijrah ke negeri Madinah. Di masyarakat yang baru ini Muhammad Saw membangun masyarakat dan meneruskan dakwah kerasulannya.[4]

Setelah Muhammad Saw dan pengikutnya hijrah ke Madinah, ini merupakan fase kedua dalam perjalanan kerasulan. Pada masa ini merupakan proses pembentukan hukum, berlangsung sekitar 10 tahun sampai Muhammad Saw wafat. Pada masa ini, posisi Islam sudah tergolong kuat dengan kuantitas pengikut yang banyak dan memiliki pengaruh yang sangat besar.

Oleh karena itu, kebutuhan pembentukan hukum dan penyusunan undang-undang menjadi sebuah keniscayaan untuk mengatur hubungan internal dan eksternal, baik dalam keadaan perang atau damai. Pada fase Muhammad tinggal di Madinah telah terbentuk hukum seperti hukum perkawinan, kewarisan, muamalah dan jinayah. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat yang turun di Madinah lebih banyak membahas masalah hukum.

Pada periode ini, wewenang pembentukan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasul. Masalah-masalah yang timbul pada masa ini, dapat langsung disampaikan para sahabat kepada rasul, dan rasul langsung dapat memberikan fatwa hukum. Keputusan hukum tersebut bersumber dari al-Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul Muhammad Saw atau hasil ijtihad Rasul ketika persoalan itu tidak ada dalam al Qur’an. Maka segala yang bersumber dari Rasul dalam wilayah tasyri’, menjadi hukum bagi kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik yang bersumber dari Allah berupa al-Qur’an maupun dari ijtihad rasul sendiri yang berupa sunnah tasyri’ dan sunnah ghoiru tasyri’.



Pengertian Ijtihad Rasul

Kata ijtihad (الاجتهاد) berakar dari kataجهد – جُهدا yang berarti الطاقة (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata جهد - جَهدا yang berarti المشقة (kesulitan, kesukaran). ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna بذل الجهد و المجهود (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.[5] Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau kemampuan, dua objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan di sini dapat diklasifikasikan secara umum, yang meliputi daya fisik-material, mental-spiritual dan intelektual.

Ijtihad sebagai terminologi keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari unsur-unsur tersebut. Akan tetapi, karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat manusia secara menyeluruh.

Dalam rumusan definisi ijtihad menurut istilah, dikemukakan Ibnu Hazm, Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus, di mana hukum kasus itu belum tertera dalam al-Qur’an atau sunnah. Ijtihad dalam istilah ushul fiqh adalah:

بذل الجهد للوصول الى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من ادالاءدلة الشرعية

Yakni mengerahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ melalui dalil-dalil terperinci dari dalil-dalil hukum syari’ah.[6] Maka maksud ijtihad rasul adalah Muhammad Saw melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum ada ketentuan nash hukumnya, baik itu masalah amaliyah secara umum atau masalah syariah.

Menurut Jalaludin Rahkmat, makna ijtihad yang digunakan pada masa Rasul berbeda dengan makna ijtihad yang digunakan pada masa sekarang. Makna ijtihad pada zaman Rasul, hanya bermakna lughawi “sungguh-sungguh”. Demikian juga, menurut mazdhab Zhahiri, ijtihad rasul mengandung makna bukan penggunaan ra’yu yang dijadikan sumber hukum, melainkan ijtihad dalam hal ini, hanya bermakna sungguh-sungguh.[7]

Inti ijtihad Rasul juga berbeda dengan ijtihad para ulama saat ini. Di mana ulama pada masa ini berijtihad dalam segala masalah hukum yang tidak ada nash-nya, baik itu dengan ijma’, qiyas, istihsan dan lain sebagainya. Sedangkan ijtihad Rasul hanya terbatas pada masalah yang belum ada nash hukumnya atau wahyu tidak turun tentang permasalahan tersebut, maka Rasul berbuat berdasarkan ijtihad atau pendapatnya. Maka apabila wahyu turun, maka wahyu berkedudukan mengganti ijtihad Rasul.

Ijtihad Rasul muncul, karena tidak dapat dihindari fenomena yang berkembang tentang sifat kemanusiaan yang ada pada Rasul yang dipilih untuk menyampaikan risalah-Nya, sekaligus menunjukkan bahwa pilihan Allah terhadapnya dalam mengemban tugas suci, tidak berarti mengeluarkannya dari sifat kemanusiaan. Rasul diperbolehkan melakukan perbuatan seperti yang dilakukan manusia lain, di samping hal-hal yang dibebankan padanya dalam menyampaikan risalah kerasulan.

Adapun dasar ijtihad adalah dalil-dalil al-Quran, sunnah dan ijmak.[8] Dasar ijtihad dalam al-Quran tercantum dalam surah an Nisa’ ayat 83 yaitu:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣)

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

Menurut Mufassirin maksud ayat di atas ialah suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

Awal munculnya ijtihad rasul, bersumber dari al-Qur’an, sejarah Nabi Daud dan Sulaiman ketika memutuskan perkara umatnya tentang seekor kambing yang memakan tanaman orang lain, dalam firman-Nya dalam surah al Anbiya’ ayat 78-79 :

وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (٧٨)

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ (٧٩)

Artinya: Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu(78)

Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.(79)

Menurut riwayat Ibnu Abas, bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. Maka pemilik tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud As, beliau memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang pemilik tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Akan tetapi Nabi Sulaiman As memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik tanaman untuk diambil manfaatnya. Pemilik kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru, apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, pemilik kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. putusan Rasul Sulaiman As ini merupakan keputusan yang tepat.

Menurut Al Qurthubi, sebagian ulama berpendapat, bahwa Daud dan Sulaiman as adalah dua orang Nabi yang memutuskan dengan wahyu yang diturunkan kepada mereka berdua. Daud memutuskan dengan wahyu dan Sulaiman juga memutuskan dengan wahyu yang menghapuskan keputusan Daud. Firman Allah:

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَان

Maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentangnya

Maksudnya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Sulaiman, menghapuskan apa yang diwahyukan kepada Daud serta memerintahkan Sulaiman untuk menyampaikan hal itu kepada Daud. Firman Allah

وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا

Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu

Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan, bahwa Nabi Sulaiman dan Nabi Daud memutuskan permasalahan tersebut berdasarkan ijtihad.

Al Qurthubi mengatakan, bahwa perbedaan antara ijtihad para Rasul dengan para mujtahidin adalah bahwa para Rasul itu merupakan orang-orang yang terjaga dari kesalahan dan kekeliruan serta kekurangan di dalam ijtihad mereka berbeda dengan selain Rasul.[9]


Sumber pembentukan hukum

Sumber pembentukan hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu Ilahi dan ijtihad Rasul.[10] Jadi apabila datang permasalahan di antara kaum muslimin yang membutuhkan ketentuan hukum, misalnya terjadi sengketa, pertanyaan, atau permohonan fatwa. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, Allah menurunkan wahyu kepada Rasul untuk menetapkan keputusan. Contoh turunnya wahyu untuk menjawab pertanyaan sahabat tentang arak dan judi dalam surat al-Baqorah, 219:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)

Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.

Kemungkinan kedua hukum tersebut diputuskan dengan ijtihad Rasul. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi yang diberikan Allah kepada Rasul, dan di waktu yang lain praktis merupakan hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri dengan berorientasi kepada kemaslahatan. Hukum-hukum ijtihadiyah yang Rasul tidak memperoleh wahyu dari Allah, yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut ijtihad Rasul, hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata benar. Jika ternyata salah, maka Allah akan mengadakan pembenaran melalui wahyu.

Menurut Muhammad Imarah, sunnah Rasul ditinjau dari segi tasyari’ dibagi dua macam, pertama sunnah adat yaitu segala perbuatan Rasul yang tidak berhubungan dengan masalah akidah dan ibadah. Yaitu yang berhubungan dengan masalah dunia yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah akidah dan ibadah. Sunnah adat merupakan obyek perbuatan yang berkaitan dengan ijtihad Rasul. Kedua sunnah ibadah adalah sunnah yang berhubungan dengan akidah dan ibadah. Sunnah ibadah bukan merupakan obyek ijtihad yang dapat berubah hukumnya, karena akidah berhubungan masalah gaib yang tidak dapat dijangkau akal manusia, dan ibadah berhubungan dengan pahala dan balasan bagi ketakwaan manusia.[11]

Kesimpulan dari ilustrasi sunnah di atas, sunnah juga dapat diistilahkan kepada sunnah tasyri’ dan sunnah ghairu tasyri’. Sunnah tasyri’adalah suatu peristiwa yang berdasarkan petunjuk wahyu yang keluar dari lingkup ijtihad Rasul dan hukumnya abadi. Sedangkan sunnah ghairu tasyri’ adalah peristiwa berhubungan dengan masalah dunia, yang berhubungan dengan ijtihad rasul, seperti politik, peperangan, harta, kesehatan dan segala perbuatan Rasul layaknya manusia biasa.[12] Sebagian ulama memaknai sunnah tasyri’ yaitu perbuatan Nabi yang ada implikasi hukumnya, sedangkan sunnah ghaira tasyri’ ialah perbuatan Nabi yang tidak ada implikasi hukumnya.



Misal Ijtihad Rasul
Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW adalah Al-Qur'an dan praktik kehidupan Rasul Muhammad Saw atau sunnah, di antara praktik-praktik kehidupan tersebut, terdapat di antara sunnah-sunnah Rasul yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Banyak ditemukan pendapat para ulama tentang adanya ijtihad Rasul serta memberikan contoh-contohnya. Di antara bentuk ijtihad Rasul, pada satu waktu berbentuk asumsi (zhanni), pada kesempatan yang lain dalam bentuk pengetahuan (‘ilmun), atau penetapan (jazm), atau kesempatan lain dalam bentuk tamanni atau dalam bentuk perintah atau doa, dalam bentuk izin, dan dalam bentuk perbuatan-perbuatan Rasul yang dianggap ijtihad. Contohnya sebagai berikut:[13]

1. Ijtihad Rasul dalam bentuk asumsi (zdanni)

Ø Rasulullah Saw menjelaskan tentang kemurkaan Allah terhadap bani Israil, yang kemudian dialih rupakan kepada hewan. Rasul mengasumsikan pengalihrupaan sebagian mereka masih dapat mempunyai keturunan, tikus dan biawak merupakan keturunan dari mereka. Mengenai hal ini, terdapat dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasul bersabda: “ Suatu umat dari bani Israil telah hilang dan tidak diketahui apa yang telah dilakukannya. Dan aku tidak melihatnya kecuali (beralih muka) pada tikus. Apabila diberikan susu unta kepadanya, tikus tersebut tidak meminumnya, akan tetapi jika diletakkan susu domba, tikus itu meminumnya. Hadis kedua diriwayatkan oleh Muslim, dari Jabir bin ‘Abdullah berkata: aku datang kepada Rasul Saw dengan membawa seekor biawak, Rasul enggan memakannya. Kemudian Rasul bersabda: “ Aku tidak tahu barangkali hewan itu berasal dari masa-masa yang dialihrupakan”.

Ø Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Rasul, bahwa pengalih rupaan itu berbentuk kera[14] dan tidak mempunyai keturunan. Kemudian Rasul menjelaskan apa yang telah diwahyukan dalam bentuk yang yakin dan pasti. Imam Muslim dalam hadis shahih-nya meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, yang berkata: Ummu Habibah, istri Rasululah Saw berkata: telah dituturkan kepada Rasul bahwa kera termasuk hewan dari pengalih rupaan. Lalu Rasululah Saw menjawab: “ Sesungguhnya Allah tidak menciptakan keturunan dan ganti hewan yang dialih rupakan. Kera dan babi telah ada sebelum kejadian itu.

2. Ijtihad Rasul dalam bentuk pasti (Qat’i)

Ø Rasulullah pernah ditanya tentang tempat kembalinya anak-anak kaum musyrik, lalu Rasul menyatakan mereka mengikuti ayah mereka. Hal ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Abu Daud dari ‘Aisyah, berkata:”Aku bertanya kepada Rasulullah tentang nasib anak-anak kaum musyrik, lalu Rasulullah Saw menjawab “ Mereka mengikuti ayah mereka”.

Ø Akan tetapi di riwayat yang lain, Rasul bertutur tentang tempat kembali mereka yang dianggap bertentangan dengan pernyataan pertama, di mana anak-anak orang musyrik diserahkan pada ilmu Allah. Diriwayatkan Muslim dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: Rasulullah di undang ke pemakaman seorang anak kecil dari golongan Anshar. Lalu aku berkata:”beruntunglah anak ini, menjadi salah satu usfur (pelayan) di surga. Dia tidak melakukan kejelekan dan belum sempat mengetahuinya, Rasulullah Saw:”atau sebaliknya wahai ‘Aisyah? Sesungguhnya Allah menciptakan penghuni surga yang diciptakan dari keturunan ayah mereka, begitu pula neraka. Di suatu waktu Rasul menetapkan bahwa mereka adalah fitrah. Diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah bersabda:”Anak yang dilahirkan itu fitrah hingga perkataannya dapat diperhitungkan”.

3. Ijtihad Rasul dalam bentuk angan-angan (tamanni)

Ø Rasul Saw lebih menyukai Bait al-Haram menjadi kiblat dalam melaksanakan shalat, setelah lebih kurang enam belas bulan melakukan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa alasan keinginan Rasul Saw dalam shalat menghadap Kakbah adalah karena Kakbah merupakan kiblat kakeknya (Ibrahim), dan Rasul diutus untuk menyeru menghidupkan millah-nya dan memperbaharui seruannya. Menghadap Kakbah sebagai kiblat akan mempercepat tersosialisasinya dakwah dan tujuan agama Islam.

Ø Allah menjawab apa yang diangankan Rasul Saw, dan memalingkan kiblat ke arah Kakbah, sesuai dengan firmannya dalam surah al-Baqarah ayat 149:

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٩)

Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
4. Ijtihad Rasul dalam bentuk keinginan namun tidak dilaksanakan.

Dalam al-Qur’an ditemukan sebagian ayat yang secara lahiriyah Allah mencela Rasul atas masalah psikis yang berkecamuk dalam hatinya, akan tetapi keinginan itu belum melampaui wilayah-wilayah praktis. Sebagaimana tercantum dalam surah Hud ayat 12:

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَضَائِقٌ بِهِ صَدْرُكَ أَنْ يَقُولُوا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ جَاءَ مَعَهُ مَلَكٌ إِنَّمَا أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (١٢)

Maka boleh Jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan mengatakan: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan Dia seorang malaikat?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu.

Zaid bin Zubair dalam merinci turunnya ayat ini, meriwayatkan:

Ø Bahwasanya Rasul Saw pada saat itu sedang menyentuh hajar al-aswat, akan tetapi kaum Quraisy melarangnya, mereka berkata”Kami tidak memperbolehkan engkau sampai engkau menyentuh tuhan kami”.

Ø Kemudian Rasul membatin, “ Tidak apa-apa bagiku jika aku lakukan, Allah Maha tahu bahwa aku benci tuhan–tuhan mereka, setelah mereka mengajakku hingga aku dapat menyentuh Baitullah. Maksudnya, bahwa kaum kafir menyuruh Rasul menyentuh tuhan mereka, sehingga demikian mereka menjadi muslim dan mengikuti Rasul Saw, maka turun surah Hud ayat 12 di atas.

5. Ijtihad Rasul dalam bentuk permintaan/ tuntutan

Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, dari Abi Hurairah berkata ia, Rasul mengutus kami dalam suatu utusan, lalu Rasul bersabda:

Ø Jika kalian menjumpai Fulan dan Fulan dua orang Quraisy yang terkenal maka bakar keduanya dengan api.

Ø Kemudian kami mendatangi Rasul ketika hendak berangkat keluar dan mengucap selamat tinggal. Rasul bersabda lagi:”Sesungguhnya aku telah memerintahkan kalian untuk membakar si Fulan dan Fulan dengan api, sesungguhnya api tidak digunakan untuk menyiksa kecuali Allah yang menyiksanya. Jika kalian menjumpainya bunuh keduanya.

6. Ijtihad Rasul dalam bentuk izin dan pembolehan

Pada masalah ini, Rasul Saw memberikan pendapat berupa izin yang memperbolehkan seseorang melakukan sesuatu. Kemudian turun wahyu meluruskan pendapat tersebut.

Ø Hal ini terjadi ketika sebagian orang munafik meminta izin kepada Rasul untuk ikut dalam pertempuran Tabuk. Rasul mengizinkan mereka, sehingga turun ayat di pertengahan perjalanan perang Tabuk, yaitu firman Allah:

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (٤٢)[15]

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka. mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup tentulah Kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.

Ø Allah mencela Rasul karena mengizinkan mereka. Allah mengarahkan celaannya dalam firmannya:

عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ (٤٣)[16]

Semoga Allah mema'afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?.

7. Ijtihad Rasul dalam bentuk doa

Bentuk ini, merupakan bentuk yang lain dalam ijtihad Rasul Saw, di mana hal ini berkaitan dengan makna ibadah. Bentuk ini doa pada sebagian orang-orang kafir.

Ø Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Ibnu Umar berkata ia, Rasulullah berdoa pada perang Uhud, ketika Rasul sedang luka dan tanggal giginya, dan beliau melihat perumpamaan orang-orang kafir dengan pamannya dan kaum muslimin:”Ya Allah laknatlah Abu Sufyan, Ya Allah laknat Haris bin Hisyam, Ya Allah laknat Suhail bin Ammar, Ya Allah laknat Sufyan bin Umaiyah”. Lalu Rasul bertadarru’ kepada Allah, agar Allah membalas perbuatan mereka dengan seburuk-buruk balasan, yaitu melaknat mereka dan memurkainya.

Ø Kemudian turun ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)

Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.

8. Ijtihad Rasul dalam bentuk lebih utama meninggalkan daripada melakukan.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasul adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, kecuali pada wilayah kerasulan dan penyampaian risalah kerasulan yang merupakan wilayah di mana Rasul terjaga dari kesalahan. Hal ini mengenai masalah pembuahan pohon kurma. Hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shahih-nya, dari Rafi’ bin Hudaij, berkata: Rasul datang ke Madinah, ketika penduduk Madinah sedang melakukan pembuahan pohon kurma, lalu Rasul bertanya ”apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab ”kami melakukan hal ini”. Rasul bersabda ”Barangkali jika hal itu tidak kalian lakukan akan lebih baik”. Kemudian mereka tidak melakukan pembuahan, namun ternyata pohon kurmanya tidak berbuah, Rafi’ berkata, lalu mereka menyampaikan kepada Rasul Saw, dan Rasul menjawab “ Sesungguhnya aku hanyalah manusia”. Dalam riwayat Ahmad dikatakan: “ Hal-hal yang menjadi urusan agama kalian maka itu berasal dari aku, akan tetapi hal-hal yang berurusan dengan masalah dunia kalian, kalian lebih mengetahui atasnya.

9. Ijtihad Rasul dalam bentuk larangan secara umum

Riwayat hadis terdapat pada hadis Bukhori, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul Saw bersabda:” Sesungguhnya Allah mengharamkan pepohonan Makkah untuk ditebang”. Ibnu ‘Abbas berkata:” Kecuali pohon izdkhir, untuk industri kami dan kuburan kami”>. Rasul bersabda:” Kecuali pohon izdkhir”. Kandungan ijtihad Rasul dalam hadis ini adalah:

Ø Rasul Saw dalam hadisnya berijtihad secara umum keharaman memotong semua pohon yang ada di Makkah.

Ø Kemudian Rasul berpaling dari pengharamannya menjadi pengecualian kebolehan pada pohon izdkhir, ketika diungkapkan ada kebutuhan terhadap pohon izdkhir.

10. Ijtihad Rasul dalam bentuk analogi (qiyas)

Ø Terdapat dalam riwayat shaheh Bukhori disebutkan bahwa seorang wanita dari Juhainah berkata kepada Rasul Muhammad Saw, Sesungguhnya ibuku telah ber-nadzar untuk berhaji, akan tetapi dia belum berhaji hingga meninggalnya. Apakah aku berhaji baginya?. Rasul Muhammad saw menjawab, berhajilah baginya. Bukankah seandainya ibumu memiliki utang maka engkau harus membayarnya?. Tunaikanlah sesungguhnya utang terhadap Allah lebih utama untuk ditunaikan.

Ø Misal yang lain, Rasul Muhammad Saw juga pernah melakukan qiyas (analog) terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab Ra, sebagai berikut yaitu: Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air ketika kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa!.

Pada hadits di atas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium istri dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

Artinya: "Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud).[17]

Diterangkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah Saw terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya.

11. Ijtihad Rasul dalam bentuk tindakan

Ø Ijtihad Rasul dalam bentuk tindakan terjadi pada menetapkan tebusan tawanan perang Badar. Diriwayatkan oleh Abu Syaibah dan at-Turmuzdi menghasankannya, dari Ibnu Mas’ud berkata: ketika terjadi perang Badar, terdapat sangat banyak tawanan, maka Abu Bakar berkata ”Wahai Rasulullah, mereka adalah kaummu dan keluargamu, ampunilah mereka, mudah-mudahan Allah mengampuni mereka”. Kemudian Umar Bin Khottab berkata “ Wahai Rasulullah mereka mendustaimu, mengusirmu, memerangimu, datangilah dan pukul leher mereka”.

Dalam peristiwa ini, Rasul memusyawarah tentang tawanan perang kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar para tawanan perang Badar dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, Rasul memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur'an yang tidak membenarkan pilihan Rasul tersebut, dan menunjukkan kepada pendapat yang benar, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Anfal ayat 67:



مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٦٧)

Tidak patut, bagi seorang Rasul mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfaal: 67).

Jika hasil ijtihad Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar. Berarti hasil ijtihad beliau itu benar dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-Hadits).

Ø Hadis diriwayatkan oleh Imam at-Turmuzdi, dari ‘Aisyah, turunnya surah Abasa menceritakan tentang Ibnu Ummu Maktum yang buta, berkata pada Rasul: “ Wahai Rasulullah berilah kepadaku petunjuk”. Ketika itu di samping Rasulullah sedang ada banyak orang-orang kaum musyrik, di antaranya Abu Jahl dan Utbah Bin Rabi’ah. Sehingga Rasul berpaling dari Ibnu Ummu Maktum dan menghadap pada selainnya. Maka turun surah Abasa ayat 1-12:

عَبَسَ وَتَوَلَّى (١)أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى (٢)وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (٣)أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (٤)أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (٥)فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (٦)وَمَا عَلَيْكَ أَلا يَزَّكَّى (٧)وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (٨)وَهُوَ يَخْشَى (٩)فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (١٠)كَلا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (١١)فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ (١٢)

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya.

Dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapat pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri:

إنما أقضي بينكم برأيي فيما لم ينزل عليَّ فيه

Artinya:"Sungguh saya memberi keputusan di antara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah). [18]

Rasulullah SAW adalah seorang manusia, sama dengan manusia yang lain pada umumnya, maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ وَ إِنَّمَا أَقْضِى بِرَأْيِي فِيْمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيَّ فِيْهِ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيْهِ فَلاَ يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ يَأْتِى بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى عُنُقِهِ.

Sesungguhnya aku adalah manusia biasa dan kamu mengadu kepadaku. Hanya saja aku akan memutuskan hal-hal yang wahyu belum turun kepadaku dengan pendapatku (sendiri), maka barangsiapa yang aku tetapkan baginya dengan sesuatu dari hak saudaranya kemudian orang itu tidak mengambilnya, maka aku memberinya sepotong api yang kelak di hari kiamat dia akan membawanya di atas lehernya”.

Hanya saja jika hasil ijtihad Rasul salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.

Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh Rasul sendiri, melainkan beliau juga memberi izin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ

(Rasulullah SAW bertanya): Bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab: Saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya: Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab: Maka dengan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya: Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab: Saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah." (HR. Abu Daud)[19].

Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal Rasul ada di hadapannya. Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh 'Amar bin Yasir ketika junub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Rasul SAW.

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّيَمُّمِ فَأَمَرَنِي ضَرْبَةً وَاحِدَةً لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ



Maka Rasul bersabda: Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini Rasul menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Abu daud).[20]

Pada hadis di atas, 'Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang menjadi pedoman bagi kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak turun wahyu yang tidak membenarkannya.

Dari uraian di atas dapat dipetik pelajaran, bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini merupakan salah satu sumber hukum, walaupun keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu. Dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.[21]

Semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Meskipun demikian, kewenangan para sahabat untuk berijtihad adalah hanya pada situasi-situasi khusus dan sifatnya dalam rangka tathbiq (penerapan / pelaksanaan hukum) dan tidak dalam rangka tasyri (pembentukan / pembuatan hukum). Di samping itu hasil ijtihad para sahabat tentang suatu masalah tidaklah menjadi ketetapan hukum bagi kaum muslimin secara umum atau mengikat mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi) dari Rasul.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa konsep ijtihad pada masa Nabi Saw, secara umum lebih mirip dengan tasyri’, dengan dua kategori, yaitu:[22]

a. Rasul menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan petunjuk wahyu yang diturunkan secara bertahap sesuai kebutuhan yang ada, baik yang berkenaan dengan masalah yang dihadapi Nabi atau umat Islam pada masa itu.

b. Rasul menetapkan hukum peristiwa yang muncul berdasarkan petunjuk umum syariat yang dipahami dari al-Qur’an, ketika belum ada nash yang menjawab masalah tersebut secara langsung. Sedangkan para sahabat berupaya memahami dan menerapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan petunjuk Nabi yang didasarkan pada al-Qur’an atau ijtihad rasul.



Perdebatan Seputar Ijtihad Rasul

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh Rasul berijtihad pada hukum-hukum syariah dan perkara-perkara agama, maka terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama, menjadi tiga pendapat :

1. Menurut Abu Ali al-Jaba’i dan Abu Hasyim, Abu Mansyur al-Maturidi, bahwa Rasul Muhammad Saw tidak berijtihad, dikarenakan kemampuannya berdasarkan nash yang diturunkan melalui wahyu. Dengan beberapa argumen, yaitu:

a. Bahwa apabila Rasul berijtihad, niscaya boleh berbeda pendapat dengan mujtahid lain, dan apabila ada dua pendapat pasti salah satu akan benar dan satu salah.

b. Berdasarkan dalil, firman Allah :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)

Artinya: Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.(3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(4)

c. Bahwa Rasul mampu menyampaikan hukum dengan wahyu, maka tidak boleh membuat hukum dengan yang zdonni yakni melalui ijtihad.

d. Apabila Rasul berijtihad ketika terjadi suatu peristiwa hukum, maka dapat diketahui hukumnya melalui akal dan analogi sebelum turun wahyu, seolah-olah ijtihad rasul mendahului wahyu.

e. Jika Rasul boleh berijtihad, niscaya Jibril juga boleh berijtihad, sehingga dapat menimbulkan kerancuan antara nash dan ijtihad Jibril.

2. Menurut Jumhur Ulama, termasuk as Syafii dan Abu Yusuf dan para fukaha dan kaum ushul seperti Malik , Ahmad, Hanafi dan ahli hadis menyatakan, bahwa Rasul boleh berijtihad secara mutlak, baik itu dalam masalah syariah, peperangan, urusan keagamaan tanpa ada batasan sama sekali,[23] dengan qiyas atau analogi. Dalam masalah syariah Rasul menganalogikan ciuman orang puasa tidak membatalkan puasa, dianalogikan pada tidak batalnya berkumur-kumur bagi orang yang puasa. Argumentasi ijtihad Rasul secara mutlak:

a. Berdasarkan firman Allah فاعتبروا يا اولى الابصر , mengindikasikan kekuatan fungsi pikiran dan kejeniusannya merupakan syarat ijtihad.

b. Ijtihad merupakan salah satu cara membuka rahasia kandungan al-Qur’an dan sebagai perinci perintah-perintah dalam al-Quran yang masih bersifat global.

c. Berdasarkan sabda Rasul Saw: العلماء ورثة الانبياء kandungan makna hadis, bahwa para ulama mewarisi Rasul termasuk ijtihad, yaitu memecahkan masalah hukum yang tidak ada nash-nya.[24]

d. Menunjukkan sifat kemanusiaan yang ada pada Rasul yang dipilih untuk menyampaikan risalah-Nya, sekaligus menunjukkan bahwa pilihan Allah terhadapnya dalam mengemban tugas suci, tidak berarti mengeluarkannya dari sifat kemanusiaan. Rasul diperbolehkan melakukan perbuatan seperti yang dilakukan manusia lain, di samping hal-hal yang dibebankan padanya dalam menyampaikan risalah kerasulan.[25]

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila dihadapkan pada suatu peristiwa hukum, Rasul SAW diperintah untuk menunggu wahyu, kecuali bila dikhawatirkan momen peristiwa hukum itu berlalu dan diperintahkan ijtihad apabila Rasul tidak diberi wahyu. Ijtihad yang dilakukan Rasul SAW terbatas pada proses qiyas. Apabila beliau menetapkan ijtihadnya, maka hal itu merupakan dalil yang sudah pasti keabsahannya karena beliau tidak akan menetapkan kesalahan, dan oleh karena itu tidak boleh berbeda dengan Rasul, sebagaimana diperbolehkan berbeda dengan para mujtahid lainnya. Ulama Hanafiyah menganggap bahwa ijtihad Rasul ini merupakan salah satu bentuk wahyu dan mereka menyebutnya sebagai wahyu batin. Kebanyakan ahli ushul berpendapat bahwa Rasul SAW diperintahkan berijtihad secara mutlak dengan tanpa terikat menunggu wahyu.

3. Ulama Asy’ariyah, kebanyakan ulama Mu’tazilah dan ulama Mutakallimin (ahli teologi), berpendapat bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum syariah. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Muhammad SAW berijtihad dalam menentukan strategi dan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan saja. Adapun ijtihad yang berkaitan dengan hal-hal dalam peperangan ditunjukkan oleh firman Allah SWT :

عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ (٤٣)

Artinya :"Semoga Allah mema'afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?". (Q.S At Taubah : 43)

Firman itu adalah teguran kepada Rasul atas izinnya kepada sekelompok orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam perang Tabuk. Secara pasti izin ini tentu tidak berasal dari nash, sebab jika izinnya didasarkan pada nash, maka Rasul tidak ditegur, tetapi berasal ijtihad. Kemudian Allah berfirman :

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٦٧)

Artinya tidak patut, bagi seorang Rasul mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.



Ÿwöq©9 Ò=»tGÏ. z`ÏiB «!$# t,t7y™ öNä3¡¡yJs9 !$yJ‹Ïù öNè?õ‹s{r& ë>#x‹tã ×LìÏàtã ÇÏÑÈ

Artinya :"Kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil". (Q.S Al Anfaal :68)

Firman ini turun sebagai teguran atas persetujuan beliau terhadap pendapat Abu Bakar dan sahabat lainnya dalam penerimaan tebusan dari tawanan-tawanan perang Badar.

Secara umum ijtihad Rasul terbagi kepada tiga bagian yaitu:

1. Ijtihad bayani yaitu ijtihad yang dilakukan Rasul untuk menjabarkan ayat-ayat yang sifatnya global dalam al-Qur’an. Misalnya Rasul berijtihad dengan menerangkan ayat-ayat yang diturunkan kepadanya tentang tata cara beribadah, seperti al-Qur’an memerintahkan untuk shalat, maka Rasul menerangkan bagaimana tata cara shalat.

2. Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad Rasul terhadap peristiwa yang belum ada nashnya diqiyaskan kepada peristiwa yang telah ada nash, dengan memadukan ‘illat di antara dua peristiwa tersebut.

3. Ijtihad at-tafwidi yaitu ijtihad yang memberikan hak penuh kepada keputusan Rasul, dalam hal ini ijtihad terhadap peristiwa yang terjadi tanpa dikembalikan kepada nash.



Kesimpulan

Konklusi yang dapat di ambil dari uraian di atas, Ijtihad Rasul adalah keputusan Rasul Muhammad Saw melakukan penggalian hukum pada masalah-masalah yang belum ada ketentuan nash hukumnya, baik itu masalah amaliah secara umum (sunnah ghairu tasyri’) atau masalah syariah ( sunnah tasyri’). Menurut Jalaludin Rahmat makna ijtihad Rasul hanya terbatas pada makna lughowi yaitu bersungguh-sungguh.

Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang ada atau tidaknya ijtihad Rasul, menurut Abu Ali al-Juba’i dan Abu Hasyim, Abu Mansyur al-Maturidi, bahwa Muhammad Saw tidak berijtihad, karena kemampuan Rasul berdasarkan nash yang diturunkan melalui wahyu. Menurut Jumhur Ulama fikih, Rasul boleh berijtihad secara mutlak baik itu masalah tasyri’ dan ghaira tasyri’ berdasarkan riwayat, Rasul kepada Umar bin Khotthab Ra, menganalogikan ciuman orang puasa tidak membatalkan puasa, diqiyaskan dengan tidak batalnya berkumur-kumur bagi orang yang puasa. Ulama Asy’ariyah, kebanyakan ulama Mu’tazilah dan ulama Mutakallimin (ahli teologi), berpendapat bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum syariah. Mereka berpendapat bahwa Muhammad Saw berijtihad dalam menentukan strategi dan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan saja.

Dari perbedaan pendapat Ulama ini, muncul istilah sunnah tasyri’ dan sunnah ghaira tasyri’ . sunnah tasyri’ adalah perbuatan Nabi yang ada implikasi hukumnya termasuk masalah ibadah dan akidah, sedangkan sunnah ghaira tasyri’ ialah perbuatan Nabi yang tidak ada implikasi hukumnya misalnya masalah kehidupan sehari-hari dan masalah perang.
[1] Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Hukum Islam, Konsentrasi Akidah dan Filsafat Hukum Islam Program Pascasarjana (PPs) IAI Ibrahimy, Sukorejo, Situbondo Jawa timur.


[2]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT Raja Grapindo Persada,2004), hal.301


[3] Hudhari bek, Tarikh Tasyrik, terjemah muhammad Zuhri, (semarang: daarul Ihya, 1980), hal. 30


[4] Tim Penyusun: Studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Ampel Press, 2007),hal. 131


[5] Munawwir, Kamus al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hal. 217


[6] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu al Ushulil fiqh, (lebanon: Dar al Kutubul Ilmiyah,2010), hal.173


[7] Jalaludi Rakhmat, Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmah al-Mazhahib: Dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1991), hal. 23


[8] Bisri M.Jaelani, Ensiklopedi Islam, (Yogyakarta:Panji Pustaka, 2007), hal.140


[9] Muhammad bin Ahmad bin abu bakrin bin Farhin al Qurthubi abu Abdillah, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid VI hal 279 – 280)


[10]Muhammad Fathi al Diraniy, Manahijil Ushuliyah, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 1997 M/1418H), hal.7


[11] Ali Ibnu Nayib al-Syuhudi, al-Mufasshol fi al-Raddi ala Syubhati A’dai al-Islam, Maktabah Syamilah


[12] Ibid


[13] Abdul Jalil Isa Abu an-Nashr, Ijtihad ar-Rasul, terjemah Saifudin Zuhri Qudsyi dan Khusnul Khotimah, (Yokyakarta: Cahaya Hikmah, 2004), hal. 53-111


[14] Lihat dalam surah al-Baqarah ayat 65.


[15] Q.S. al-Tubah ayat 42


[16] Q.S. al-Tubah ayat 43


[17] Abu Daud Sulaiman bin Asyast bin Ishaq bin Basyir, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, 1996), hal.69


[18] Ibid., hal.478


[19] Ibid., hal. 489


[20] Ibid., hal. 399


[21] Muhammad Fathi al Diraniy, Manahijil Ushuliyah, hal.8


[22] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 60


[23] Abdul Jalil Isa Abu an-Nashr, Ijtihad ar-Rasul, terjemah Saifudin Zuhri Qudsyi dan Khusnul Khotimah, hal. 32


[24] Sirojuddin Mahmud ibnu Abi Bakrin al Armawi, at Tahshilu Minal Mahshul, (Beirut, Muassasatur Risalah,1988 M/1408 H), hal. 281-282


[25] Abdul Jalil Isa Abu an-Nashr, Ijtihad ar-Rasul, terjemah Saifudin Zuhri Qudsyi dan Khusnul Khotimah, hal. 5