KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian
Kewarisan
Istilah kewarisan berasal dari
bahasa Arab الارث secara leksikal berarti perpindahan
sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini, tidak terbatas pada benda materil melainkan juga
inmateril.[1]
Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Naml ayat 16:
وَوَرِثَ
سُلَيْمَانُ دَاوُدَ…. (١٦)
Artinya : “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”[2]
Istilah yang digunakan al-Qur’an
selain الارثuntuk menunjukkan kewarisan dapat
dilihat dari 3 jenis, yakni الارث, الفرائض, dan التركه.
الارثdalam bahasa Arab bentuk مصدر (infinitive)
dari kata ورث bermakna dasar perpindahan harta
milik. Menurut terminologi الارث adalah peralihan harta dan hak orang
yang meninggal kepada ahli waris dengan bagian tertentu tanpa didahului
akad.
Istilah kedua الفرائض bentuk
plural dari kata فرض tercantum
dalam al- Qur’an 14 kali dengan berbagai konteks kata, bermakna dasar ketetapan
yang diwajibkan, ketetapan yang pasti,[3]
tercantum dalam surah an-Nisa>’: 11
……فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
Artinya: “Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[4]
Pengertian فرائض secara istilah adalah bagian yang
pasti bagi ahli waris ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadis.[5]
Sehingga tidak bisa diubah karena merupakan ketetapan dariAllah. Bagian yang
tidak dapat diubah adalah angka pecahan berikut: 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan
2/3.
Selanjutnya التركه adalah bentuk mas}dar
kata ترك bermakna dasar harta peninggalan,
yakni seluruh harta pewaris sebelum diambil biaya perawatan, penyelenggaraan
jenazah, penunaian hutang dan wasiat. Harta peninggalan masih bercampur dengan
hak orang lain.[6]
Adapun harta warisan dalam kewarisan Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris berupa harta maupun hak untuk dibagi kepada ahli waris setelah
dikurangi biaya penguburan, hutang dan wasiat.
Berdasarkan uraian di atas, konsep
kewarisan yang terdiri dari الارث, الفرئض, dan التركه mempunyai unsur berbeda tapi membentuk satu kesatuan. Unsur
tersebut jika dipakai pada makna kewarisan secara umum, kewarisan mengacu pada
tiga hal, yaitu: siapa yang menjadi ahli waris, siapa yang menjadi pewaris dan
bagaimana kedudukan harta warisan.
B.
Dasar Hukum Kewarisan
Dasar hukum Islam adalah nas} atau teks yang terdapat dalam
al-Qur'an dan hadis. Ayat-ayat al-Qur'an yang langsung mengatur kewarisan
sebagai berikut:
a. QS. an-Nisa>’: 7 menegaskan bahwa laki-laki dan
perempuan sama-sama berhak mendapat warisan. Laki-laki berhak mendapat harta
warisan dari orang tua dan kerabatnya, demikian juga perempuan berhak mendapat
warisan dari orang tua dan kerabatnya.[7]
b. QS. an-Nisa>’: 11 mengatur bagian anak dengan tiga
garis hukum, yakni jika ada anak laki-laki dan perempuan bagian seorang anak
laki-laki dua bagian anak perempuan, jika dua anak perempuan atau lebih
bagiannya 2/3, dan jika seorang anak perempuan bagiannya ½ dari harta warisan.
Kemuadian bagian ibu dan bapak dengan tiga garis hukum, yakni jika ada anak
pewaris maka bapak dan ibu mendapat 1/6, jika pewaris tidak meninggalkan anak
ibu mendapat 1/3, dan jika ibu bersama saudara pewaris ibu mendapat 1/6 warisan.
Kemudian menjelaskan tentang wasiat dan hutang.[8]
c. QS. an-Nisa>’: 12 mengatur perolehan duda dengan dua
garis hukum, yaitu ½ jika istri tidak meninggalkan anak, dan ¼ jika
meninggalkan anak. Perolehan janda dengan dua garis hukum, yaitu ¼ jika suami
tidak meninggalkan anak dan 1/8 jika meninggalkan anak. Perolehan saudara dalam
hal kala>lah dengan dua garis
hukum, yaitu saudara seibu jika seorang diri mendapat 1/6, jika lebih dari
seorang mendapat 1/3 harta warisan. Kemudian menjelaskan tentang wasiat dan
hutang.[9]
d. QS. an-Nisa>’: 176 menerangkan mengenai arti kala>lah, dan mengatur mengenai
perolehan saudara dalam hal kala>lah.[10]
Hadis Nabi yang langsung mengatur
kewarisan yaitu:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قََالَ: قََالَ رَسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَلْحِقُوْا
الفَرَاِئضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِىَ فَهُوَ ِلاَوْلَي رَجُلٍ ذَكَرٍ (رَوَاهُ اْلمسلم) [11]
Artinya : “Berikanlah fara>id (bagian-bagian yang
ditentukan) kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat.”
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ جَائَتِ
المَرْاَةُ بِاِبْنَتَيْنِ لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ هَاتَانِ اِبْنَتَا
سَعْدِ بْنِ الرَّبِيْعِ قَتَلَ يَوْمَ اُحُدٍ شَهِيْدًا وَ اَنَّ عَمَّهُمَا اَخَذَ
مَالَهُمَا فَلَمْ يَدْعُ لَهُمَا مَالاً وَلاَ تَنْكِحَانِ اِلاَّ وَلَهُمَا مَالٌ
قَالَ يَقْضِي اللهُ فِى ذَلِكَ فَنَزَلَتْ اَيَةٌ المِيْرَاثِ فَبَعَثَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِلَى عَمِّهَا فَقَالَ اُعْطِ اِبْنَتَىْ
الثُّلُثَيْنِ وَ اُعْطِ اُمَّهُمَا الثُّمُنُ وَمَا بَقِىَ فَهُوَ لَكَ (رَوَاهُ
اَبُوْ دَاوُدَ وَ التِّرْمِذِى وَ ِابْنُ مَاجَه وَ اَحْمَدُ) [12]
Artinya : “Dari
Ja>bir bin Abdullah berkata : Janda Sa’ad datang kepada Rasululah SAW,
bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata : “Ya Rasulullah, ini dua
anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di perang Uhud.
Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan
apa-apa untuk mereka. Dan mereka tidak dapat kawin tanpa harta. Nabi berkata
“Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini”.kemudian turun ayat-ayat
tentang kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata “berikan dua pertiga
untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya untuk
kamu.”
C. Sebab-sebab Mewarisi
Hak mewarisi disebabkan hubungan
antara pewaris dengan ahli waris. Hal ini sangat penting, karena kedudukan ahli
waris akan menjadi pengganti kedudukan pewaris untuk memiliki dan memanfaatkan
harta warisan. Oleh karena itu, orang-orang yang mendapat warisan adalah orang yang
terdekat dengan pewaris, yaitu disebabkan hal-hal berikut:
1. Perkawinan (an-Nika>h)
Perkawinan yang sah menurut syari’at merupakan suatu ikatan yang sangat
kuat mempertemukan laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan yang abadi.[13]
Ketika perkawinan masih utuh, masing-masing pihak adalah teman hidup bagi yang
lain dan saling membantu dalam memikul beban hidup bersama.
Walaupun demikian, tidak semua
perkawinan dapat menjadi sebab mewarisi, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
a.
Akad
perkawinan sah menurut Syari’at, baik
pasangan suami istri itu sudah dukhu>l
atau belum.[14]
Suami-istri saling mewarisi berdasarkan keumuman ayat-ayat waris, dan
berdasarkan tindakan Rasulullah SAW memutuskan kewarisan Barwa’ binti Wasyiq.[15]
b.
Ikatan
perkawinan suami istri masih utuh atau dianggap utuh. Perkawinan dikatakan
masih utuh, jika dalam hubungan perkawinan tidak dalam keadaan talak bain maupun raj’iy. Sedangkan disebut perkawinan dianggap utuh jika perkawinan
dalam keadaan talak raj’iy tetapi
masih dalam masa iddah.
- Kekerabatan (an-Nasab)
Kekerabatan ialah hubungan darah
antara pewaris dan ahli waris disebabkan seketurunan. Kekerabatan merupakan
sebab yang paling kuat dalam hal waris mewarisi. Kekerabatan merupakan unsur
kausalitas penyebab adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berbeda
dengan perkawinan merupakan hal yang baru dan dapat hilang dengan sebab
perceraian.
Orang yang berhak mendapat harta
warisan karena hubungan nasab adalah sebagai berikut: anak laki-laki, anak
perempuan, ayah, ibu, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung,
saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seibu,
dan saudara perempuan seibu, anak saudara kandung, anak saudara seayah, kakek,
nenek, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman seayah.
Ditinjau dari garis yang
menghubungkan nasab antara pewaris dan ahli waris, kekerabatan ini dapat digolongkan
kepada tiga golongan:[16]
a.
Bunu>wwah yaitu anak turunan (cabang) yakni
anak dan cucu
b.
Ubu>wwah, yaitu leluhur (pokok) yang
menyebabkan adanya si pewaris, yakni ayah dan ibu sampai ke atas
c.
Ukhu>wwah, yaitu saudara laki-laki, saudara
perempuan, dan anak-anaknya
d.
‘Umu>mah yaitu paman dan keturunannya
Menurut al-T}abatabai[17]
hubungan nasab dapat membentuk hubungan kekerabatan yang jauh dan yang
terdekat. Kerabat yang dekat menghalangi kerabat yang jauh. Ia membagi
tingkatan nasab sebagai berikut:
a. Tingkatan pertama, kerabat yang paling dekat dengan
pewaris, yaitu ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan
b. Tingkatan kedua, saudara laki-laki, saudara perempuan
serta kakek dan nenek mempunyai hak nasab karena ayah dan ibu pewaris
c. Tingkatan ketiga, paman dan bibi. Hubungan nasab mereka
dengan pewaris berpangkal pada kakek dan nenek.
- Memerdekakan (Wala>’)
Wala>’
secara etimologi persahabatan, nikmat kemerdekaan, atau pertolongan untuk
memperkuat kekerabatan. Sedangkan menurut terminologi Wala>’ adalah suatu kekerabatan yang disebabkan memerdekaan budak
yang dilakukan oleh tuan terhadap hamba.[18]
D. Penghalang
Mewarisi
Penghalang mewarisi (mawa>ni’ al-irs|||i)
merupakan sebab-sebab yang menghalangi terlaksananya waris-mewarisi. Orang yang
pada dasarnya berhak mendapat harta warisan, tidak jadi mendapat warisan karena
kejadian tertentu yang menyebabkan tidak mendapatkan warisan.
Ada beberapa kategori penyebab seorang
tidak dapat menerima harta warisan, sebagai berikut:
- Budak (‘Abdun)
Hamba tidak dapat menerima warisan
dari seluruh keluarganya, dan juga tidak dapat mewariskan harta kepada ahli
waris selama masih berstatus hamba.[19]
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nah}l ayat 75:
…عَبْدًا مَمْلُوكًا لا يَقْدِرُ عَلَى
شَيْءٍ ….(٧٥)
- Pembunuhan (Qatlun)
Menurut Jumhur Ulama pembunuh tidak
dapat menerima warisan dari orang yang dibunuhnya, hal ini berdasarkan sabda
Nabi Muhammad SAW:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِى صَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ القَاتِلُ لاَ يَرِثُ (رَوَاهُ اْلتِّرْمِذِى) [21]
Artinya: “Dari
Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda pembunuh tidak boleh mewarisi.” (HR:
Abu Daud dan Ibnu Majah)”
Alasan-alasan terhalang pembunuh menerima warisan orang
yang dibunuhnya, antara lain:[22]
a.
Pembunuhan merupakan pemutus hubungan s}ilaturrah}mi yang merupakan salah satu
penyebab kewarisan. Terputusnya sabab,
maka terputus pula musabbab atau
hukum yang menetapkan hak kewarisan.
b.
Untuk mencegah orang yang ditentukan menerima warisan
untuk mempercepat proses berlakunya hak. Oleh karena itu, ulama menetapkan
suatu kaidah fiqih:
Artinya: “Siapa yang mempercepat sesuatu
sebelum waktunya maka diganjar dengan tidak mendapatkan apa-apa.”
c.
Pembunuhan
adalah suatu kejahatan atau maksiat, sedangkan hak kewarisan adalah suatu
nikmat. Maksiat tidak boleh digunakan untuk mendapatkan nikmat.
- Perbedaan agama (ikhtila>f al-di>n)
Maksud perbedaan agama adalah
berbeda kepercayaan antara pewaris dengan ahli waris.[24]
Misal pewaris
muslim sementara orang yang akan menerima harta warisan adalah nasrani.
Jumhur ulama telah sepakat dan
menetapkan bahwa orang kafir tidak berhak mendapat warisan muslim, demikian
juga sebaliknya. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ أَنَّ
النَّبِي صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَيَرِثُ المُسْلِمُ الْكَافِرَ
وَلاَيَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ [25](
Artinya: “Diriwayatkan
dari Usa>mah bin Zaid R.A bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, orang muslim
tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.”
Dalam kewarisan Islam ada istilah
hijab yaitu terhalang ahli waris mewarisi seluruhnya atau sebagian harta karena
ada orang yang lebih utama dari pada dirinya dalam mewarisi. Hijab dibagi 2
yaitu:[26]
1)
Hijab h}irma>n adalah terhalang dari seluruh warisan karena ada
orang yang lebih layak untuk mewarisi, seperti terhijabnya kakek dengan ada
bapak.
2)
Hijab nuqs}a>n adalah
berkurang bagian dari harta warisan karena adanya orang yang lebih dekat dengan
pewaris, seperti bagian ibu dari 1/3 menjadi 1/6 karena adanya keturunan
pewaris.
E. Syarat-syarat Kewarisan
Kewarisan
menyebabkan terjadi peralihan hak kepemilikan. oleh karena itu saat terjadi
kewarisan harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
- Mati pewaris
Kewarisan terjadi apabila pewaris
meninggal dunia. Dalam arti, jika pewaris masih hidup tidak ada proses waris
mewarisi. Apabila seorang masih hidup dan terjadi pengalihan harta kepada ahli
waris, dikategorikan hibah.
Harta pewaris tidak boleh dibagi
kepada ahli waris sebelum diketahui bahwa pewaris benar-benar meninggal atau
telah diputus hakim tentang kematian tersebut. Kematian pewaris dibedakan
kepada 3 macam:[27]
a.
Mati h}aqi>qiy, ialah hilang nyawa orang yang pada
awalnya nyawa itu masih ada. Kematian tersebut dapat disaksikan oleh pancaindra
atau alat bukti, misal kematian orang sakit disaksikan keluarga.
b.
Mati h}ukmiy, ialah suatu kematian seseorang
didasarkan keputusan hakim. Kematian berdasarkan putusan hakim dapat terjadi
pada orang yang ada dalam dua kemungkinan hidup atau mati, misal mafqud yaitu orang yang tidak diketahui
keberadaannya.
c.
Mati taqdi>riy, suatu kematian yang bukan hukmiy dan bukan haqi>qiy,
tetapi berdasarkan dugaan keras, misal kelahiran anak setelah seorang ibu
meminum racun.
- Hidup ahli waris saat kematian pewaris
Ketentuan ini merupakan syarat
mutlak agar berhak menerima warisan. Hidup ahli waris saat kematian pewaris
berlaku meskipun hidup ahli waris hanya secara hukum, misal anak dalam kandungan.
Maka bagian anak dalam kandungan ditangguhkan sampai lahir dan benar-benar
hidup.
- Mengetahui posisi dalam mewarisi
Mengetahui posisi dalam mewarisi
seperti sebab mendapat warisan perkawinan atau kekerabatan. Hal ini untuk
mempermudah menetapkan bagian masing-masing ahli waris.
- Tidak ada penghalang mewarisi, sebagaimana tersebut diatas.
F.
Rukun-rukun Kewarisan
Pelaksanaan waris-mewarisi harus
memenuhi 3 rukun, sebagai berikut:
- Pewaris (al-muwarris|): Yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang beralih kepada ahli waris.[28] Baik meninggal dunia secara haqi>qiy atau meninggal yang dinyatakan oleh putusan hakim. Secara garis besar pewaris adalah orang tua, anak, kerabat, atau suami-istri.
- Harta peninggalan (al-tirkah), secara etimologi segala sesuatu yang ditinggalkan. Menurut Hanafiyah harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggal pewaris berupa harta benda dan hak.[29] Hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan yang wajib ditunaikan adalah :
a.
Biaya
perawatan jenazah (tajh}i>z) yaitu
segala beban biaya yang digunakan merawat jenazah, mulai dari saat meninggal
sampai selesai penguburan. Biaya perawatan jenazah diambil dari harta
peninggalan orang yang meninggal menurut ukuran yang wajar, tidak berlebihan
dan tidak kurang. Sebab jika berlebihan akan mengurangi hak pewaris, dan jika
sangat kurang mengurangi hak si mati.
b.
Hutang (al-dain) yaitu suatu tanggungan yang
wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima atau kewajiban
kepada Allah yang belum ditunaikan. Hutang tersebut dilunasi dari harta
peninggalan pewaris. Hutang dapat diklasipikasikan pada 2 macam, yaitu dain Allah yaitu kewajiban kepada Allah yang
belum ditunaikan misal membayar zakat, kafarat.
Menurut Ibnu Hazm dan Syafi’iyah, hutang ini harus didahulukan dari hutang lain,
kemudian dain al-‘ibad yaitu segala
hutang kepada manusia.[30]
c.
Wasiat
adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela kepada orang lain ditangguhkan
sampai terjadi peristiwa kematian orang yang berwasiat. Sesuatu itu berupa
barang atau mamfaat. Dasar hukum wasiat, firman Allah dalam surah an-Nisa>’
ayat 11:
Artinya :
“(Pembagian-pembagian tersebut di
atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya.”
- Ahli waris (wa>ris|) yaitu orang yang berhak atas harta warisan pewaris disebabkan perkawinan, kekerabatan, atau memerdekaan. Selain itu, ahli waris telah memenuhi syarat-sarat yang tersebut di atas. Adapun rincian ahli waris berdasarkan jenis kelamin, menurut golongan Ahlu Sunnah, sebagai berikut.[32] Ahli waris golongan laki-laki : Anak, cucu, ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung, anak paman seayah, suami, orang yang memerdekakan dengan hak Wala>’. Ahli waris golongan perempuan: anak, cucu, ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri, dan perempuan yang memerdekakan dengan hak Wala>’.
G. Ahli
Waris dan Bagian Masing-masing
- Z|awi>l Furu>d}
Secara umum z|awi>l
furu>d}
memiliki arti orang yang mempunyai bagian pasti dari harta warisan. Bagian
tersebut telah diperinci dengan ketentuan yang ada dalam al-Quran. Berikut ini,
perincian para ahli waris yang termasuk dalam z|awi>l
furu>d}
disertai dalil-dalil, yaitu:[33]
a.
Ahli
Waris Yang Mendapatkan Bagian (½)
1) Suami, jika istri meninggal tidak meninggalka anak atau
cucu. (QS>. an-Nisa>’:12)
2) Seorang anak perempuan, apabila tidak ada anak laki-laki.
(QS>. an-Nisa>’:11)
3) Seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, jika
tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki kandung. (QS.an-Nisa>:11)
4) Seorang saudara perempuan sekandung, jika tidak memiliki
saudara kandung laki-laki, dan
pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek serta keturunan, baik keturunan
laki-laki maupun perempuan. (QS. an-Nisa>’:176)
5) Seorang saudara perempuan seayah, apabila tidak mempunyai
saudara laki-laki. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung, ayah, kakek dan
tidak mempunyai keturunan, baik laki-laki maupun perempuan. Para ulama sepakat dalil pada ketentuan ini sama dengan dalil
bagian saudara perempuan sekandung, yakni surat an-Nisa>’ ayat 176.
b.
Ahli
Waris Yang Mendapatkan Bagian Seperempat (¼)
1) Suami, apabila istri mempunyai anak atau cucu dari anak
laki-laki. (QS. an-Nisa>’:12)
2) Istri, apabila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki. (QS. an-Nisa>’:12)
c.
Ahli
Waris Yang Mendapatkan Bagian Seperdelapan (1/8)
Yaitu istri yang ditinggalkan suami,
baik istri itu berjumlah satu atau lebih, apabila suami mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki dari istri yang manapun. (QS. an-Nisa>’: 12)
d.
Ahli Waris
Yang Mendapatkan Bagian Duapertiga (2/3)
1) Dua atau lebih anak perempuan kandung, jika tidak bersama
saudara laki-laki. (QS. an-Nisa>’ ayat 11)
2) Dua atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan
syarat tidak ada anak pewaris, dua anak perempuan pewaris, dan tidak
bersama-sama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ‘as}a>bah. Mengenai masalah ini, dalam
al-Qur’an tidak jelas menyatakan bahwa dua atau lebih cucu perempuan dari anak
laki-laki mendapatkan bagian dua pertiga dari harta waris, tetapi hal ini
didasarkan pada ijmak
ulama yang menyatakan bahwa keturunan dari anak laki-laki bisa menduduki tempat
anak laki-laki apabila anak laki-laki itu tidak ada.[34]
3) Dua atau lebih saudara perempuan sekandung, dengan
ketentuan bahwa tidak ada anak, ayah atau kakek pewaris, dan tidak ada
laki-laki yang mendapat bagian ‘as}a>bah, yaitu saudara laki-laki sekandung
dan tidak ada anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
pewaris. (QS. an-Nisa>’:11)
4) Dua atau lebih saudara perempuan seayah, apabila tidak
ada anak laki-laki, ayah atau kakek pewaris, tidak ada laki-laki yang
mendapatkan bagian ‘as}a>bah, yaitu saudara laki-laki seayah,
tidak ada anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.
e.
Ahli
Waris Yang Mendapatkan Bagian Sepertiga (1/3)
1) Ibu, apabila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki, tidak mempunyai saudara kandung, seayah atau seibu, dua orang
atau lebih. (QS. an-Nisa>’:11)
2) Dua atau lebih saudara seibu laki-laki atau perempuan,
dengan ketentuan pewaris tidak mempunyai keturunan (kala>lah). (QS.an-Nisa>’:176)
f.
Ahli
Waris Yang Mendapatkan Bagian Seperenam (1/6)
1) Ayah, jika pewaris mempunyai anak laki-laki atau anak
perempuan. (QS. an-Nisa>’:11)
2) Kakek (ayah dari ayah), jika pewaris mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki, dan tidak ada ayah, karena dalam hal ini kakek
menempati posisi ayah.
3) Ibu, dengan syarat pewaris mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki, atau ada dua atau lebih saudara. (QS.an-Nisa’:11)
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun
lebih, apabila pewaris mempunyai seorang anak perempuan.
5) Saudara perempuan seayah, apabila pewaris mempunyai
seorang saudara perempuan sekandung.
6) Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan jika
mewarisi sendirian. (QS.an-Nisa>’:176)
7) Nenek dari pihak ayah maupun ibu, apabila tidak ada ibu.
Apabila dari pihak ayah atau ibu ada, maka 1/6 dibagi rata diantara keduanya.
2. ‘As}abah
Kata ‘as{abah
dalam bahasa Arab bermakna kerabat dari pihak ayah. Pengertian lain ‘as}abah adalah ahli waris yang tidak disebut
bagiannya secara tegas dalam al-Qur’an dan hadis.[35]
Menurut Ulama Fara>id} ahli waris ‘as}abah dapat menguasai harta warisan
karena menjadi ahli waris tunggal, atau menerima sisa harta warisan setelah as}ha>bul furu>d} mengambil bagian masing-masing atau
sama sekali tidak menerima warisan karena habis diambil as}ha>bul
furu>d}.
Dalil yang menyatakan ‘as}abah
berhak mendapatkan warisan, hadis berikut:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال اَلْحِقُوْا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا
بَقِيَ فَلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رَوَاهُ اْلبُخَارِي)[36]
Artinya : “Berikanlah
bagaian pokok itu kepada ahli waris yang berhak menerimanya, dan sisanya untuk
laki-laki yang lebih dekat”
‘As}abah
terbagi dua, yaitu: ‘as}abah
nasabiyyah (karena keturunan) dan ‘as}abah sababiyyah,
yakni disebabkan memerdekakan hamba. ‘As}abah
nasabiyyah dibagi tiga,[37]
yakni:
a) ‘As}abah
bi an-nafsi yaitu as}abah yang dihubungkan dengan pewaris
tanpa diselingi anak perempuan. Termasuk ‘as}abah
bi an-nafsi adalah semua ahli waris
laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu. Ahli waris ‘as}abah
bi an-nafsi dalam keadaan tertentu dapat
menerima seluruh harta waris, menerima sisa harta waris, atau tidak menerima
sama sekali harta waris.
b) ‘As}abah
bi al-gairi yaitu ‘as}abah disebabkan ada ahli waris lain yang
setingkat dengannya. Termasuk dalam golongan ini adalah ahli waris
perempuan bersama ahli waris laki-laki
(QS.an-Nisa>’:11), antara lain:
1) Anak perempuan bersama anak laki-laki
2) Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3) Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki
kandung
4) Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c) ‘As}a>bah
ma’a al-gairi
yaitu saudara perempuan, baik sekandung, atau seayah, mewarisi bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki. Orang yang dapat mejadi mu’as}s}ib pada ‘as}abah
ma’al gairi, dua orang perempua ahli waris as}ha>bul furu>d}, yaitu saudari kandung dan
saudari seayah.
3. Z|awi> al- Arha>m
Z|awi> al-arha>m mempunyai arti yang luas, yaitu sebutan
untuk setiap orang yang mempunyai hubungan nasab dengan pewaris disebabkan hubungan
darah. Keluasan makna z|awi> al-arha>m tersebut diambil dari pengertian lafaz}
arha>m yang terdapat dalam surah
al-Anfa>l ayat 75, yaitu:
…َأُولُو
الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٧٥)
Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)
di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[38]
Menurut ulama fara>’id}, z|awi> al-arha>m adalah kerabat pewaris yang tidak mendapat bagian
tertentu di dalam al-Qur’an maupun Hadis, dan bukan termasuk pewaris yang
mendapat bagian sisa (‘as}abah).[39]
H.
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas diserap
dari bahasa Indonesia yang baku, bermakna sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat.[40] Asas
hukum Islam yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris,
yaitu cara pemilikan harta oleh pewaris, kadar jumah harta yang diterima, dan
waktu terjadi peralihan harta, sebagai berikut:
1)
Asas ijbari
Ijbari secara etimologi
bermakna melaksananakan sesuatu diluar kehendak sendiri.[41]Pengertian
terminologi, ijbari adalah peralihan
harta orang yang meninggal dunia kepada ahli waris berlaku dengan sendiri
menurut kehendak Allah tanpa bergantung kepada kehendak ahli waris atau
pewaris.[42]Asas
ijbari dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan
harta, jumlah pembagian dan kepada siapa harta beralih, sebagaimana tercantum
dalam surah an-Nisa>’ ayat 7, 11, 12, 176.
2)
Asas bilateral
Asas bilateral
dalam kewarisan mengandung arti, bahwa harta warisan beralih kepada ahli waris
melalui dua arah. Setiap orang berhak menerima warisan dari pihak kerabat keturunan
laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Asas bilateral ini dapat dilihat
dalam firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 7, 11, 12,176, sebagaimana
tersebut di atas.
3)
Asas individual
Asas
individual adalah setiap ahli waris berhak secara individu untuk memiliki bagian
yang diterima tanpa terikat kepada ahli waris lain.[43] Harta
warisan harus dibagi untuk dimiliki setiap ahli waris. Seluruh harta warisan
dihitung dan dinyatakan dalam suatu nilai, kemudian dibagikan kepada setiap
ahli waris yang berhak sesuai dengan bagian yang ditetapkan. Dengan demikian,
bagian yang diperoleh oleh ahli waris dari harta pewaris dimiliki secara
perorangan tanpa campur tangan ahli waris lain.
4)
Asas
keadilan berimbang
Hubungan dengan hak yang menyangkut
materi, khususnya masalah kewarisan, kata adil dapat diartikan keseimbangan
antara hak dan kewajiban atau keseimbangan antara yang diperoleh dangan
kegunaan.[44]
Dipertegas bahwa batasan keadilan bukan saja terbatas pada harta, tetapi
termasuk hak dan kewajiban. Oleh karena itu, esensi keadilan adalah perimbangan
tanggung jawab, baik dari segi hak maupun dari segi kewajiban. Berdasarkan hal
tersebut, maka keadilan dalam kewarisan terletak pada keseimbangan antara hak
dan kewajiban dan keseimbangan antara keperluan dan kegunaan.
5) Asas semata-mata akibat kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa
peralihan harta pewaris kepada ahli waris menggunakan istilah kewarisan.
Istilah ini hanya berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Asas ini mengandung
pengertian bahwa harta yang beralih selama pewaris masih hidup tidak dinamakan
kewarisan. Asas kewarisan akibat kematian mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari, karena pada hakikatnya seseorang
yang memenuhi syarat sebagai subyek hukum dapat menggunakan harta secara penuh
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya sepanjang hidup, tetapi dengan
terjadi kematian secara otomatis harta beralih kepada ahli waris.[45]
[2] Departemen Agama, Mushaf
al-Qur’an, 378
[4] Departemen Agama, Mushaf
al-Qur’an, 78
[5]Syarifuddin, Kewarisan Islam, 39
[6] Sukris Sarmadi, Transendensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), 37
[7] Departemen Agama, Mushaf
al-Qur’an, 78
[8] Ibid.
[9] Ibid. 79
[10] Ibid. 106
[11] Muslim, Shaheh Muslim,
560
[12] Ibnu Ma>jah,al-H}afiz}
Abi> Abdillah Muhammad ibnu Yazi>d al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Ma>jah,
juz II, (Beirut:
Da>r al-Kutub ‘Ilmiyah, 275 H), 908
[13] Fatchur Rahman, Ilmu Waris,
(Bandung: al-Ma’arif, 1971), 113
[14] al-Salbiy,
Muhammad Mus}t}afa, Ahka>m
al-Mawa>ris| Baina al-Fiqh wa al-Qanun, (Beirut: Da>r al-Nahd}ah
al-Ara>biyah, 1978), 63
[17] Ali Parman, Kewarisan dalam
al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan TafsirTematik, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995), 67
[18] Ibid. 68
[20] Departemen Agama, Mus}haf
al-Qur’an, 275
[21]
Tirmiz|i, Abi> ‘Isa Muhammad, Ja>mi’al-Shaheh
Sunan al-Tirmiz|i, juz IV, (Beirut: Da>r a-Kutub
al-‘Ilmiyah, 295 H), 370
[22] Syarifuddin, Kewarisan Islam, 196
[23] H. A. Djazuli, Kaedah-kaedah
Fiqih, (Jakarta:
Kencana, 2006), 19
[25] Abu
Daud, Sulaiman ibn al-Asy’as| al-Sajasta>miy, Sunan Abi Daud, (Beirut:
Da>r al-Fikr, 1994), 15
[27]
Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, Ahka>m
Al-Mawa>ri>s| fi al-Syari>’t Islamiyah ‘Ala> Maz|a>hib al-Arba’ah,
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabiy, 1984), 13-14
[28]Syarifuddin, Kewarisan Islam,
204
[29] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
juz III,
(Beirut:
Da>r al-Fikr, 2006), 1004
[30] Rahman, Ilmu Waris, 49
[31] Departemen Agama, mushaf
al-Qur’an,78
[32] Syarifuddin, Kewarisan
Islam, 221
[33] Zakariya> al-Ans}ariy, al-Sarqa>wiy
‘ala> al-Tahri>r, (Singapura: al-Haramain, t.t), 193-195
[34]
al-Khot}i>b, Syamsudin Muhammad bin Muhammad, Mugniy al-Muhta>ji Ila>
Ma’rifati Ma’>aniy al-Faz}i al-Minhaj,
juz IV, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 23
[35] Dian Khoirul Umam, Fiqih
Mawaris, (Bandung:
Pustaka Setia, cet. III, 2006),
75-76
[36] Muslim, Shaheh Muslim,
560
[37] Rahman, Ilmu Waris, 340
[38] Departemen Agama, Mushaf
al-Qur’an, 186
[39] Suparman Usman, Fiqh
Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 80
[40] Parman, Kewarisan dalam
al-Qur’an, 71
[44] Syarifudin, Kewarisan Islam,
24
Tinggalkan komentar anda
BalasHapuskeren keren makalahnya,., Makasih
BalasHapus