Rabu, 11 Januari 2012

IMPLIKASI TAUHID DALAM TATANAN POLITIK ISLAM

IMPLIKASI TAUHID DALAM TATANAN POLITIK ISLAM
OLEH: NUR SANIAH, SHI
Pendahuluan
Tauhid merupakan basis, titik fokus awal dan akhir dari seluruh pandangan, tradisi, budaya dan peradaban masyarakat muslim. Ini merupakan inti utama dan kepercayaan paling fundamental dari sistem keberagamaan Islam. Tauhid direfleksikan dengan syahâdat, kesaksian kepada Tuhan Yang Esa sesungguhnya merupakan sesuatu yang intrinsik pada setiap diri manusia. Disebabkan bersifat primordial dan tertanam dalam relung hati manusia, telah ada sebelum manusia pertama dilahirkan.[1]
Ketika manusia masih dalam bentuk segumpal daging (mudhgoh) atau masih dalam potensi untuk berwujud menjadi manusia faktual dan eksistensial, Tuhan bertanya:  الست بربكم (Bukankah Aku Tuhanmu?). Potensi manusia itu menjawab: بلى (Benar, Engkau adalah Tuhanku).
Ikrar perjanjian primordial tersebut mengandung implikasi-implikasi dan refleksi-refleksi besar dan luas, yaitu moral, intelektual dan spiritual. Ikrar kesaksian bahwa Tuhan (Allah) adalah Esa dan tidak ada sesuatu apapun yang lain yang menyekutui-Nya bukanlah sekedar pernyataan verbal individual semata, melainkan juga seruan untuk menjadikan ke-Esa-an itu sebagai basis utama bagi pembentukan tatanan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan masyarakat manusia.[2]
Pada dasarnya pada diri setiap manusia memiliki ambisi meraih kekuasaan. Untuk meraihnya, berbagai upaya dilakukan yang sering kali upaya tersebut menimbulkan korban, terutama rakyat yang sering di atas namakan politisi ambisius dan haus kekuasaan. Jika pernyataan ini digeneralisasikan, maka semua negara akan hancur oleh adanya kehidupan politik. Padahal, dengan politik negara dapat berkembang dan masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai warga negara.[3]
Dalam konsepsi ketatanegaraan Islam, politik disebut sebagai siyasah, yaitu siyasah yang berpatokan kepada hukum-hukum Allah dan rasulnya. Politik Islam berbeda dengan politik pemerintah lainnya, tidak didasarkan pada konsep kebangsaan atau ras, sedangkan politik Islam semata-mata berdasarkan ideologi dari al-Qur’an dan sunnah.
Hubungan yang erat antara agama dan politik merupakan salah satu ciri sejarah perkembangan Islam. Siapa saja yang sudah mengenal ajaran Islam akan mengetahui bahwa agama Islam bukan saja mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga meletakkan kerangka dasar tertentu sebagai acuan bagi kelakuan sosial yang harus diterima dan dijalankan sebagai konsekuensi dari hubungan tersebut.
Bertolak dari   pemahaman bahwa semua segi kehidupan sudah semestinya menurut iradat Allah, maka al-Qur’an menjelaskan bahwa tujuan penciptaan makhluk adalah menundukkan atau beribadah dan taat kepada kehendak yang menciptakannya.[4] Maka ketundukan ini disebut dengan Islam, yakni sebagai penundukan keinginan dan kelakuan manusia dan aktif pada peraturan-peraturan hidup yang dititahkan sang Kholik termasuk dalam tatanan politik. Ini merupakan refleksi dari tauhid atau pernyataan syahadat yang disebut di atas.

Interpretasi Terminologi Tauhid
Interpretasi dari makna tauhid adalah bagaimana hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan manusia sesama manusia tidak terjadi ketimpangan, artinya manusia harus mampu menempatkan dirinya sebagai hamba Allah (‘abd) yang selalu menundukkan dirinya dengan melakukan ibadah ritual. Namun begitu, sebagai manusia zon politikon manusia juga harus mampu memahami gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat, serta bagaimana menciptakan kondisi sosial tersebut menjadi masyarakat adil makmur yang di-ridhai oleh SWT, agar ketimpangan-ketimpangan sosial tidak terjadi.[5]
Pada dimensi individual, Syahadat Tauhid merupakan doktrin pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu perbudakan dalam artinya yang luas, yaitu perbudakan manusia atas manusia, perbudakan diri atas benda-benda dan atas segala bentuk kesenangan-kesenangan diri, kebanggaan diri, kebesaran diri, kebenaran diri dan kesombongan diri. Karena sikap dan tindakan tersebut sama dengan menyaingi dan menantang Tuhan.[6]
Kalimat لا اله الا الله  (tidak ada Tuhan) merupakan pernyataan penolakan terhadap segala hal yang diagungkan, dipuja atau disembah. Semua bentuk pengagungan terhadap diri sendiri atau terhadap benda-benda dan yang lain sama artinya dengan menuhankan diri sendiri atau benda-benda atau yang lain itu. Cara-cara seperti ini oleh al-Qur'ân dinyatakan sebagai kesesatan dan menyesatkan. Hal ini juga dinyatakan sebagai bentuk penyekutuan terhadap Tuhan. Dalam waktu yang sama kesaksian Tauhid: الا الله  (kecuali Allah) berarti mengukuhkan bahwa hanya Allah sendiri dan satu-satunya yang memiliki Kebesaran, Kekuasaan dan Kebenaran itu. Sebuah hadits qudsi menyebutkan: “Al-‘Izz Izari wa al-Kibriya Ridaiy fa man naza’ani minhuma syai-an ‘Adzdzabtuhu” (Kebesaran dan kekuatan adalah pakaian-Ku dan Kesombongan adalah selendang-Ku. Siapayang menantang-Ku, Aku akan menghukumnya).[7]
Di sinilah, maka kita dapat mengatakan bahwa dalam  Syahadat Tauhid, semua manusia adalah makhluk yang setara di hadapan Tuhan, sama-sama harus merendahkan diri di hadapan-Nya dan bukan kepada selain Dia.
Tauhid dalam kajiannya sebagai salah satu cabang ilmu telah diklasifikasikan kepada 3 bagian:[8] Pertama Tauhid Rububiyah. Dalam Islam, hakikat manusia beragama adalah meyakini adanya tuhan. Bentuk dari keyakinan itu adalah mengabdikan diri kepada-Nya dengan segenap anggota tubuh (jawahir). Dalam tataran tauhid rububiyah pada dasarnya manusia berada pada posisi yang sama, yaitu meyakini suatu realitas wujud yang Maha Sempurna. Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana terdapat dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 62 :
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (٦٢)
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Kedua Tauhid uluhiyah merupakan suatu penegasan bahwa Tuhan adalah Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyah-Nya. Firman Allah dalam surah al-Imran ayat 18:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٨)
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ketiga Tauhid sifatiyah, yakni mempercayai hanya Allah yang mempunyai sifat kesempurnaan yang terlepas dari segala sifat tercela atau kekurangan.
Tauhid berpijak pada fondasi kalimat لا اله الا الله Ini, merupakan nuclear of mean dari tauhid yakni suatu komitmen trasendental yang dihadapkan hanya kepada Tuhan Allah SWT. Hal ini diperkukuh secara implisit dalam al-Qur’an surah Adz-Dzariat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Ayat ini menunjukkan kehidupan manusia bermuara kepada Tuhan. Walaupun  muara kehidupan itu adalah Tuhan, bukan berarti kehidupan itu kosong dan kering dari ruh kemanusiaan dan aksi transformatif. Kehidupan tidak akan bermuara pada tapal batasnya tanpa dikawal dan didorong oleh kebajikan yang luwes terhadap alam. Dalam kerangka inilah sesungguhnya tauhid menemukan makna sejatinya sebagai the heart of Islam (jantung islam), hingga menjadi amunisi, tumpuan spirit untuk melakukan transformasi.[9]
Tauhid dalam tatanan praktis mesti menjadi komitmen keimanan terhadap Allah, keluar dari komitmen ini berarti keluar dari lingkaran tauhid, bahkan bisa dikatakan fasiq atau kufur. Nyata, dari komitmen ini setiap pemberhalaan adalah sesuatu yang harus dihilangkan dari kehidupan umat.
Tauhid dalam makna universal merupakan paradigma teologis yang bersifat memerdekakan atau membebaskan manusia. Ekses tauhid ialah membebaskan manusia dari rantai idolisme, memerdekakan manusia dari kemapanan yang menyesatkan. Tauhid merupakan komitmen menyeluruh, mendasar, menjadi patokan bahwa sumber dan dasar kehidupan adalah Allah, dan bermuara pada aksi kemanusiaan.
Meminjam terma Amien Rais, bahwa pandangan tauhid berpatokan pada komitmen meng-esakan Tuhan (unity of Good head), akan melahirkan konsepsi ketauhidan yang lain, dalam wujud keyakinan akan muncul kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of tbe purpose of life) umat manusia. Kelima sudut pandang ini menjadikan tauhid terpencar-pecar sebagai energi baru untuk mengaktualkan semangat ketuhanan dalam sistem sosial dan politik, hingga ruang publik sebagai representasi ruang sosial dilingkupi oleh semangat transendental.[10]
Mengaktualkan tauhid sebagai poros humanisme, berarti mengakui bahwa tauhid didorong ke arah emansipasi teologis yang di induksi dari fitrah manusia sebagai khalifah serta mencoba memahami keluwesan fungsi manusia melebihi dan melampaui fungsinya sebagai abdi Tuhan.[11]
Ketika manusia memahami esensi dirinya, maka seharusnya ia akan mendapatkan sense of freedom dalam dirinya. Dalam maqam ini, ketika nilai kemerdekaan, pembebasan dari dominasi, hegemoni, baik oleh thaqut material, maupun thaqut immaterial mengental dalam diri seorang mukmin. Menurut Nurcholis Majid, substansi atau isi keyakinan dan praktik keagamaan harus diaktualisasikan dalam bentuk etika dan moral dalam pergaulan pribadi, sosial, politik, karena itu merupakan semangat yang diajarkan al-Qur’an.[12]

Pengertian Politik (Siyasah)
Sebelum  membahas panjang lebar tentang politik (siyasah) sangat penting dipahami lebih dahulu makna siyasah dalam ranah etimologi dan terminologi dari politik (siyasah) itu sendiri.
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia Politik adalah pengetahuan tentang ketatanegaraan dan kenegaraan yakni sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan. Atau dapat juga dimaknai dengan segala urusan dan tindakan baik itu kebijakan atau siasat mengenai tatanan negara atau terhadap negara lain.[13]
 Dalam bahasa Arab politik ini disebut dengan istilah siyasah, dan dalam pembahasan selanjutnya penulis akan lebih banyak menggunakan istilah siyasah. Secara etimologi, kata siyasah berasal dari kata:
سا س- يسوس – سياسة  اى دبر – يدبر – تدبيرا
“mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan”[14]
Kata sasa juga sama dengan makna to goyern, to lead, jadi siyasah menurut bahasa dapat dimaknai pemerintahan, pembuat kebijaksanaan, pemimpin, politik. Artinya mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan.[15] Berkenaan dengan pengertian siyasah secara terminologi, salah satu hadis menyatakan:
عن ابى هريرة عن النبى قال: كانت بنو اسرائل تسوسهم الانبياء
“Dari Abi Hurairah, telah berkata rasululah Saw: Bani Israil dikendalikan oleh nabi-nabi mereka”
Secara tersirat dalam pengertian siyasah dalam hadis ini, terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama yang lain, yaitu “tujuan” yang hendak dicapai dalam pengendalian,  kemudian “cara” pengendalian menuju tujuan tersebut. Oleh karena itu, siyasah dapat juga dimaknai dengan “ Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan”.[16]
Pengertian siyasah secara terminologi, dikemukakan Ahmad Fathi Bahasti:
السياسة هو تدبير مصالح العباد على وفق الشرع
“ Pengurusan kemaslahatan manusia sesuai dengan syara’[17]
Menurut Abdul Wahab Khollaf siyasah adalah undang-undang yang yang ditetapkan untuk memelihara ketertiban, kemaslahatan, serta mengatur keadaan.[18] Dari pengertian ini, siyasah pada prinsipnya berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing kepada kemaslahatan dan menghindar dari kemafsadatan. Maka, siyasah adalah pemerintahan dan politik serta pembuat kebijaksanaan.
Berdasarkan pembahasan atas ayat 58 dan 59 surah an-Nisa’,  Ibnu Taimiyah mengisyaratkan unsur-unsur yang terkandung dalam ayat 58 berkaitan dengan pemegang kekuasaan, kewajiban menyampaikan amanah kepada orang yang berhak, dan menghukumi dengan cara yang adil, sedangkan ayat 59, berkaitan dengan rakyat baik meliter atau non meliter.[19]
Dilihat dari batasan-batasan mengenai siyasah mengisyaratkan adanya dua hubungan  secara timbal balik, yaitu (1) pihak yang mengatur dan (2) pihak yang diatur.  Dilihat dari unsur-unsur yang ada dalam siyasah syar’iyah , ilmu ini mirip dengan ilmu politik. Seperti dikatakan Wirjono Prodjodikoro unsur penting dalam politik yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.[20]
Akan tetapi dilihat dari segi fungsi, siyasah syar’iyah berbeda dengan politik. Sebagaimana disebutkan Ali Syariati, siyasah syar’iyah tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (hidmah), tetapi pada saat yang sama juga menjalankan fungsi pengarahan (ishlah). Sedangkan politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan.[21]
Oleh karena itu, dikalangkan pemikir politik muslim, politik (siyasah) diklasifikasikan kepada :[22](a) Siyasah syar’iyah adalah siyasah yang mendasarkan pengaturan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan hukum syara’. (b) Siyasah wadh’iyah adalah  siyasah yang bertumpu pada adat istiadat atau pengalam hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.Dalam tulisan ini, obyek bahasan yang menjadi titik tekan adalah siyasah syar’iyah atau politik Islam.

Dasar-dasar Sistem Politik Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Allah pencipta alam semesta, termasuk langit dan bumi serta isinya, dan juga pencipta manusia dan kehidupan. Sang Maha Pencipta sangat mengetahui hakikat ciptaan-ciptaannya, termasuk bagaimana mengatur kehidupan manusia. Allah menurunkan Islam melalui rasul Muhammad Saw, sebagai jalan hidup yang khas. Islam mengatur secara tepat kehidupan manusia, sesuai dengan fisik dan jiwa manusia. Maka Islam merupakan sistem hidup yang diturunkan Allah untuk kebaikan manusia, bukan sebaliknya.
Dalam sistem politik, Islam memiliki paham tersendiri yang berbeda dengan paham hasil karya manusia dalam hal ini, seperti demokrasi. Dalam demokrasi akal manusia, yang menjadi acuan yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia. Dalam Islam yang menjadi acuan sentral adalah  al-Qur’an dan hadis Nabi, fungsi akal hanya sebatas memahami nash-nash yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.[23]
Berkaitan dengan sistem politik, Munawir Syadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, pada substansinya menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan sistem politik adalah suatu konsepsi yang berisi ketentuan-ketentuan siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar dan bagaimana kewenangan kekuasaan dan bagaimana mekanisme pertanggung jawabannya.[24]
Pada bagian ini, akan diuraikan lima dasar sistem politik Islam. Pertama kedaulatan di tangan Syari’ merupakan salah satu masalah fundamental dalam diskursus sistem politik. Konsep teori kedaulatan (as-siyadah/ sovereignity) memberikan pengaruh terhadap konsep sistem hukum dan peradilan dan pemerintahan yang ada di bawahnya.  Francis W. Coker dalam ensyclopedia of social sciences, sebagaimana dikutip oleh Abu A’la al_Maududi, menyatakan bawa kedaulatan adalah otoritas pemerintah dan hukum atau kemaharajaan yang mutlak. Seseorang atau kelompok orang dinamakan berdaulat, jika orang atau pranata tersebut dianggap sebagai hukum.
Kedaulatan mempunyai hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk melaksanakan untuk memaksakan perintah-perintahnya kepada rakyat yang bersangkutan. Lebih jelas definisi kedaulatan disebutkan oleh Abdul Kadir Zullum kedaulatan (as-siyadah) adalah yang memiliki kehendak (yamlikul iradah), dalam hal ini dibedakan makna kedaulatan dan kekuasaan (as-sulthoh) yaitu yang memberikan hak penentu kepemimpinan atas Umat.[25] Islam memandang bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah, penguasa yang hakiki bagi alam semesta,  aturannya merupakan aturan tertinggi dan abadi.[26] Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٨٩)
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu”.[27]
Kapasitas Allah sebagai penguasa alam semesta, merupakan satu-satunya pemilik kekuasaan legislatif, karena kekuasaannya ia menjadi sumber segala produk hukum. Keyakinan ini merupakan salah satu refleksi dari tauhid rububiyah yang di ikrarkan. Kedua kesatuan Umat manusia (ummah) merupakan persatuanuniversal yang tidak mengenal ras, wilayah, warna kulit dan identitas etnis, teritorial, bahasa, kekuasaan politik dan meliter. Dalam hal ini al-Qur’an mengisyaratkan tentang ummah ini, yaitu:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً (٢١٣)[28]
“Manusia itu adalah umat yang satu.”
 Dalam pandangan Allah manusia adalah sama, ukuran kemuliaannya hanyalah taqwa. Wawasan ummah adalah satu yaitu, terdapat kesepakatan anggota ummah, dalam keputusan, sikap, karakter, dan tindakan mereka. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, ummah adalah suatu tatanan manusia yang sepakat dalam tiga hal, yaitu pikiran, perasaan dan tindakan. Ummah ini, tersebar di berbagai wilayah dan tergabung dalam berbagai komunitas. Keanggotaan mereka dalam ummah disandarkan pada keyakinan terhadap syariah atau hukum Islam, yaitu otoritas tertinggi yang mengatasi perbedaan-perbedaan mereka.
Prinsip dasarnya, siapa pun yang memilih Islam sebagai agamanya dan mengatur kehidupannya dengan hukum-hukumNya, berarti secara ipso facto telah menjadi anggota ummah. Inilah makna dari persyaratan yuristik syahadah.[29] Ketiga kekuasaan di Tangan Ummah adalah pemaknaan kekuasaan di tangan rakyat dalam istilah modern sering diistilahkan dengan demokrasi.[30] Tetapi perlu diketahui, ada suatu hal yang prinsip yang membedakan keduanya. Islam sebagai agama yang humanis mengakui paham kekuasaan di tangan rakyat (as sulthatu lil ummah), ummah yang berhak memilih penguasa. Pemilihan itu bisa dengan sistem perwakilan (ahl halli wa al aqd) atau pemilihan langsung. Tidak seorang pun dapat menjadi penguasa kecuali yang dikehendaki ummah, yang ditunjukkan dengan bai’at.
Kekuasaan yang diberikan kepada pemimpin adalah menjalankan roda pemerintahan sesuai  dengan syariat atau  kehendak kedaulatan tertinggi yaitu Allah. Pemilihan yang dilakukan perwakilan rakyat dalam majelis syuro, hanya sebatas menyampaikan aspirasi umat bukan menetapkan hukum.[31]
Di sini perbedaan politik Islam dengan demokrasi, di mana dalam demokrasi kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pemilihan umum diadakan dengan anggapan, bahwa hal tersebut merupakan bentuk aspirasi rakyat sang pemilik kedaulatan secara langsung. Selain itu juga menempatkan orang-orang tertentu sebagai wakil rakyat dalam parlemen, yang sering sekali tidak mewakili aspirasi rakyat. Wakil rakyat ini merupakan pemegang kedaulatan tersebut yang menetapkan hukum dan perundang-undangan.
Keempat khalifah Berhak Mengadopsi hukum, Khalifah adalah pemimpin umat Islam yang dipilih dan di-bai’at oleh ummah. Khalifah merupakan wakil umat dalam melaksanakan  syariat Allah. Ia berhak melegalisasi hasil ijtihad seorang mujtahid menjadi hukum syarak bagi kaum muslimin.  Di samping itu juga berhak menetapkan peraturan dalam persoalan muamalah yang mubah demi kemaslahatan kaum muslimin. Di samping melaksanakan, khalifah juga mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan menghukum orang yang melanggarnya.
Adapun dalam mengoreksi khalifah, dalam Islam bukan hanya di anjurkan tetapi diwajibkan atas ummah. Bentuk pengambilan keputusan dalam tatanan politik Islam, sesuai dengan permasalahan masing-masing ada empat bagian yaitu: (a) Hukum Islam yang ditetapkan syariat, bukan wilayah ijtihad. Maka pemerintah dan rakyat wajib melaksanakannya dengan baik dan benar.[32](b) Masalah tasyri’ (hukum) dalam ranah ijtihad, keputusan di ambil dari ijtihad para mujtahid. Para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan ijtihad merujuk kepada sumber-sumber hukum syarak.[33](c) Peraturan yang memerlukan keahlian, keputusan diambil dari pendapat yang paling benar. Hal ini dalam banyak perkara yang memerlukan keahlian.[34](d) Persoalan selain yang dua di atas, keputusan di ambil dari suara terbanyak (voting).[35]
Kelima kesatuan daulah. Setiap insan yang telah memilih Islam sebagai agamanya, ada suatu konsekuensi logis yang harus dijalankan, yaitu mematuhi Allah secara mutlak, baik itu degan perbuatan, pemikiran dan ideologi. Akan tetapi, mungkin kepatuhan ini tidak akan berjalan secara efektif kecuali dengan usaha  dan daya upaya bersama dan banyak orang yang mengkordinasikan secara sadar. Disebabkan seorang muslim bagaimana pun niat baiknya untuk melaksanakan Islam secara kaffah tidak dapat terwujud, kecuali lingkungan, masyarakat dan pemerintahan yang menaunginya telah setuju untuk menundukkan urusan keduniawiannya kepada pola yang digambarkan Islam.[36]
Kerja sama yang dilaksanakan dengan sadar tidak akan timbul hanya berdasarkan persaudaraan saja. Pengertian persaudaraan ini harus diimplementasikan dalam tindakan sosial yang positif, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar atau dengan kata lain memelihara keadaan masyarakat, dengan sedemikian rupa sehingga memungkinkan sebagian besar manusia hidup dalam keselarasan, kebebasan dan ketinggian martabat. Hal ini dapat terlaksana dengan  ada pranata pemerintahan yang memangkunya. Karena kesediaan masyarakat untuk bekerja sama melaksanakan ketentuan hukum Islam secara sempurna, hanya akan bersifat teoritis, selama belum ada pranata duniawi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan Hukum Islam dan mencegah kelakuan-kelakuan durhaka. Tanggung jawab ini dapat terpenuhi oleh suatu badan yang mengatur, yang diserahi memegang kekuasaan untuk memerintah (amar) dan melarang (nahi) itulah negara.[37]
            Berbicara mengenai pemerintahan Islam dalam bentuk negara, apabila ditarik ke masa sekarang memang suatu permasalahan yang cukup rumit. Secara obyektif peraturan-peraturan dalam  al-Qur’an dan sunnah mengenai kenegaraan. Tidak akan kita temukan penetapan yang rinci bentuk negara yang khusus. Dengan kata lain, syariah tidak menetapkan pola tertentu, yang dengannya negara Islam harus disesuaikan. Juga tidak diuraikan suatu teori ketatanegaraan. Walaupun demikian hukum - hukum yang tercantum secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis bukan hanya suatu angan-angan belaka. Hukum tersebut berjiwa dan konkret, karena dapat memberikan suatu rencana politik yang dapat dilaksanakan di segala zaman dan dalam semua keadaan hidup manusia.
Oleh karena itu, muncul 3 golongan yang mencoba memahami tentang sistem pemerintahan dalam Islam, yaitu:
1)      Sistem pemerintahan dan politik dalam Islam dan diimplementasikan dalam sebuah negara, merupakan suatu hal yang wajib ada, bahkan menjadi معلوم من الدين بااضرورة (sesuatu yang sudah jelas diketahui wajibnya), sebagaimana halnya kita mengetahui wajib shalat puasa dan haji. Menurut Syeh Taqiyuddin bentuk dan rician sistem politik, baik itu pola kekuasaan, mekanisme suksesi, pertanggung jawaban penguasa, hak warga negara semuanya telah di atur dan dirinci dalam fiqih siyasah. Pendapat ini didukung oleh al-Mawardi, rasyid Ridha, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Qutb dan Hasan al-Bana.[38]
2)      Islam sebagai agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, agama sama sekali tidak mendoktrin tentang masalah politik dan pemerintahan karena politik adalah masalah hubungan manusia dengan manusia dalam persoalan dunianya, paham ini yang disebut dengan paham sekuler. Paham ini dimunculkan oleh Thaha Husein dan Ali Abdul Raziq, dalam bukunya al-Islam wa ushulul Hukm.[39]
3)      Pendapat ini intinya menolak pendapat kedua dan tidak seutuhnya setuju dengan pendapat yang pertama. Dalam pendapat ini, Islam adalah agama yang lengkap dan paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk masalah politik, dan Islam jelas dan nyata mempunyai sistem politik. Hanya saja, ia hanya sebatas memberikan garis besar, pokok-pokok dan substansinya. Sedangkan rinciannya diserahkan kepada manusia sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Maka apabila sebuah negara telah sesuai dengan prinsip-prinsip  syariah dan substansinya tidak bertentangan dengan kehendak yang dituju oleh agama Islam, walaupun seratus persen tidak seperti yang termuat dalam al-Qur’an dan sunnah sudah dapat disebut negara Islam atau Islamy.[40]

Tujuan Politik Islam
Tujuan paling mendasar dari politik Islam adalah menyediakan suatu kerangka dasar bagi persatuan dan kerja sama umat Islam. Kerangka untuk mencapai tujuan ini, menurut  Ismail Roji al-Faruqi dapat direalisasikan dengan menerapkan kesepakatan ummah pada 3 dimensi yaitu:[41] Pertama kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah) adalah keluasan  pikiran dan kesadaran yang harus diketahui tentang nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi dan tentang gerakan dalam sejarah yang telah dihasilkan dari menerapkan nilai-nilai tersebut. Jadi pengetahuan ini bersifat sistematis dan historis. Pengetahuan ini berlaku terutama pada pengetahuan sistematis tentang nilai, yang sumbernya adalah al-Qur’an, sunnah dan akal melalui pemahaman akan proses-prosesnya sendiri (logika dan epistemologi),akan realitas umum (metafisika), alam (ilmu kealaman), manusia (antropologi, pisikologi, etika), dan masyarakat (ilmu sosial).
Pengetahuan tentang wahyu atau akal, wawasannya tidaklah dituntut bersifat akademis dengan konseptual isi yang sistematis, yang ditekankan adalah pengetahuan intuitif yakni memiliki cahaya pemahaman yang dapat menerangi setiap bidang dengan jalan menetapkan suatu citra relevansi Islam dengan wawasan tersebut. Wawasan ini tidak cukup hanya sampai pengetahuan itu saja, maka harus dilengkapi pengetahuan masa kini, dan bagaimana masa kini bisa mereduksi nilai-nilai itu kembali.
Kedua kesepakatan Kehendak (ijma’ al-‘Iradah) merupakan kesepakatan ashabiyyah atau sensus  communis, yaitu kaum muslimin dapat menanggapi segala peristiwa dengan satu cara yaitu tetap dalam kepatuhan terhadap seruan Tuhan.  Nizham atau sarana organisasional mereka mampu mewujudkan keputusan, mencapai dan memobilisasi kaum muslim  untuk menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam tugas-tugas konkret bagi individu, kelompok dan pimpinan mereka. ‘Ashabiyah dalam Islam merupakan komunitas yang sadar  dalam tindakan yang etis dan bertanggung jawab. Ia merupakan komitmen terhadap nasib ummah dan sebagai implementasi makna-makna tauhid.
Ketiga kesepakatan tindakan (ijma’ al-‘Amali) merupakan aktualisasi dari kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, yaitu mengaktualisasikan kehendak Tuhan dalam ruang dan waktu bagi manusia merupakan usaha yang berakhir hanya sampai hari kiamat. Usaha yang dilakukan untuk merealisasikan ini, mempersiapkan diri sepenuhnya baik itu  moral atau material yang dibutuhkan untuk mempertahankan ummah dari serangan musuh dan juga realisasi kehendak Ilahi di seluruh dunia.
Pada kesepakatan tindakan ini, komponen pertama yang harus dipenuhi material ummah, dan  merupakan intisari kehendak ilahi dan juga kehendak agama. Komponen kedua pemberian pendidikan kepada setiap anggota ummah sampai kepada ketinggian di mana realisasi diri sepenuhnya dapat dicapai. Komponen ketiga memobilisasi ummah untuk menyediakan segala yang diperlukan bagi pertahanan ummah yang efektif dari serangan musuh.
Tujuan dari politik Islam, secara implisit disebutkan dalam Firman Allah dalam al-Qur’an:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٠٣)وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)[42]
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
            Substansi yang dapat diambil dari ayat ini, bahwa politik Islam yang berupa negara atau pemerintahan bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sebagai alat untuk mendapatkan tujuan tersebut. Tujuan sebenarnya adalah pertumbuhan umat manusia yang membela persamaan dan keadilan, menyuruh orang berbuat baik dan melarang berbuat jahat, lebih tepat dikatakan umat manusia yang menciptakan dan memelihara keadaan-keadaan sosial yang memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidup lebih baik secara moral dan fisik sesuai dengan hukum alamiyah dari Allah yaitu Islam. Mencegah melakukan kezaliman dan menegakkan keadilan di permukaan bumi. Ini merupakan puncak risalah masyarakat Islam.[43]

Kesimpulan
Tauhid merupakan dasar pandangan, tradisi, budaya, politik dan peradaban masyarakat muslim. Diaplikasikan dengan ikrar kesaksian bahwa Tuhan (Allah) adalah Esa dan tidak ada sesuatu  yang lain yang menyekutui-Nya bukan sekedar pernyataan verbal individual semata, melainkan juga seruan untuk menjadikan ke-Esa-an itu sebagai basis utama bagi pembentukan tatanan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan masyarakat manusia.
Mengimplementasikan tauhid dalam tatanan politik yaitu dengan mengikuti segala aturan-aturan yang telah disebut dalam al-Qur’an dan sunnah. Menetapkan dasar berdirinya suatu pemerintahan dengan prinsip dari al-Qur’an dan hadis, yaitu menjadikan Allah sebagai kedaulatan tertinggi. Memperkuat kesatuan  ummah dalam kesepakan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-‘Iradah) dan tindakan (ijma’ al-‘Amali).
Tujuan politik Islam adalah untuk membentuk  umat manusia yang membela persamaan dan keadilan, menyuruh orang berbuat baik dan melarang berbuat jahat, lebih tepat dikatakan umat manusia yang menciptakan dan memelihara keadaan-keadaan sosial yang memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidup lebih baik secara moral dan fisik sesuai dengan hukum alamiyah dari Allah.















[1] Husein Muhammad, Spritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren, (Yokyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hal. 1
[2] Ibid
[3] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah: Pengantar Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.5
[4] QS. Adz-Dzariat:56
[5] Ashhabul Yamin, Artikel : Tauhid Sosial; Transporspormasi Nilai-nilai Islam dalam membangun Masyarakat berperadaban, http://fiestalia.blogspot.com/2011/03/tauhid-sosial.html
[6] Husein Muhammad, Spritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren.... hal. 02
[7] ibid
[8] Bisri M. Jailani, Ensiklopedi Islam, (Yokyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal. 413
[9] Nurus Shalihin Djamra, Artikel: Tauhid dan keshalehan Sosial; Membumikan Tauhid Pembebasan Kaum Mustadh’afin, dalam :http://fiestalia.blogspot.com/2011/03/tauhid-dan-keshalehan-sosial.html
[10] M.Amin Rais dalam Haedar Nashir, Prespektif tauhid Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat, dalam www. muhamdiyah.or.id
[11] Muhsin qiraati, Lesson From al-Qur’an, terjemah MJ. Bafaqih dan Dede Aswar :Membangun Agama, (Bogor: cahaya , 2004), hal. 6
[12] Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hal. 333
[13] W. J. S. Poerdawarminda, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal 763
[14] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 25
[15] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1999), hal. 23
[16] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah.....hal. 26
[17] Ahmad Fathi Bahansi, as-Siyasah al-Jinayah fi as-Syariat al-Islamiyah, (Dar al-Arubah, tt), hal. 61
[18] Abdul Wahhab Khollaf, al-Siyasat al-Syar’iyat, (al-Qahirah: Dar al-Anshar, 1977), hal. 4-5
[19] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah.....hal. 27
[20] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: PT Eresco, 1971), hal. 6
[21] H. A. Djazuli, Fiqih Siyasah.....hal. 28
[22]  ibid . hal 28-29
[23] Ismail Yusanto, Islam Ideologi; Refleksi Cendikiawan Muda, (Bangil: al-Izzah, 1998),hal.79
[24] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), hal. 2-3
[25] Ismail Yusanto, Islam Ideologi.... hal. 80-81
[26] Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat Dan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 243
[27] Q.S. al-Imran : 189
[28] Q. S. Al-Baqarah : 213
[29] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid; It’s Implication for Thaugh and Live, terjemah Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 147
[30] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah; Pengantar Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 132
[31] Ismail Yusanto, Islam Ideologi.... hal. 83-84
[32] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah..... hal, 142
[33] ibid
[34] Ismail Yusanto, Islam Ideologi.... hal. 86
[35] ibid
[36] Salim Azzam, Concept of Islamic State,terjemah Salim Azzam, (Bandung: Mizan, 1979), hal. 71
[37] Ibid, hal. 72
[38] David Sagiv, Islam Otensitas Liberalisme, (Yokyakarta: Lkis, 1997), hal. 4
[39] Ismail Yusanto, Islam Ideologi.... hal.75
[40] Ibid, hal. 76
[41] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid,....hal. 149-158
[42] Q.S. al-Imran: 103-104
[43] Salim Azzam, Concept of Islamic State....hal. 74

2 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus
  2. Saya setuju dengan cita-cita sebagian ummat Islam untuk mendirikan negara Islam.. Akan tetapi,, bukan pernyataan yang pesimis, tetapi sebelum cita-cita tu tercapai, karena melihat situasi dan kondisi sekarang cita-cita tersebut menurut saya suatu cita-cita yang sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, untuk tahap awal, mari kita berusaha menanapkan tujuan atau esensi politik Islam dalam kehidupan berbangsa dan Negara dan dalam tatanan kehidupan politik kita.

    BalasHapus