Minggu, 01 Juli 2012

Hukum Kewarisan Islam


KEWARISAN ISLAM

A.  Pengertian Kewarisan
Istilah kewarisan berasal dari bahasa Arab الارث secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini, tidak terbatas pada benda materil melainkan juga inmateril.[1] Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Naml ayat 16:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ…. (١٦)
Artinya : “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”[2]
Istilah yang digunakan al-Qur’an selain  الارثuntuk menunjukkan kewarisan dapat dilihat dari 3 jenis, yakni الارث, الفرائض, dan التركه.  الارثdalam bahasa Arab bentuk مصدر  (infinitive) dari kata ورث bermakna dasar perpindahan harta milik. Menurut terminologi الارث adalah peralihan harta dan hak orang yang meninggal kepada ahli waris dengan bagian tertentu tanpa didahului akad. 
Istilah kedua  الفرائض bentuk plural dari kata  فرض tercantum dalam al- Qur’an 14 kali dengan berbagai konteks kata, bermakna dasar ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti,[3] tercantum dalam surah an-Nisa>’: 11

……فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
Artinya:      “Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[4]
Pengertian فرائض secara istilah adalah bagian yang pasti bagi ahli waris ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadis.[5] Sehingga tidak bisa diubah karena merupakan ketetapan dariAllah. Bagian yang tidak dapat diubah adalah angka pecahan berikut: 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3.
Selanjutnya التركه adalah bentuk mas}dar kata ترك bermakna dasar harta peninggalan, yakni seluruh harta pewaris sebelum diambil biaya perawatan, penyelenggaraan jenazah, penunaian hutang dan wasiat. Harta peninggalan masih bercampur dengan hak orang lain.[6] Adapun harta warisan dalam kewarisan Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris berupa harta maupun hak untuk dibagi kepada ahli waris setelah dikurangi biaya penguburan, hutang dan wasiat.
Berdasarkan uraian di atas, konsep kewarisan yang terdiri dari الارث, الفرئض, dan التركه mempunyai unsur berbeda tapi membentuk satu kesatuan. Unsur tersebut jika dipakai pada makna kewarisan secara umum, kewarisan mengacu pada tiga hal, yaitu: siapa yang menjadi ahli waris, siapa yang menjadi pewaris dan bagaimana kedudukan harta warisan.

B.   Dasar Hukum Kewarisan
Dasar hukum Islam adalah nas} atau teks yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadis. Ayat-ayat al-Qur'an yang langsung mengatur kewarisan sebagai berikut:
a.       QS. an-Nisa>’: 7 menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak mendapat warisan. Laki-laki berhak mendapat harta warisan dari orang tua dan kerabatnya, demikian juga perempuan berhak mendapat warisan dari orang tua dan kerabatnya.[7]
b.      QS. an-Nisa>’: 11 mengatur bagian anak dengan tiga garis hukum, yakni jika ada anak laki-laki dan perempuan bagian seorang anak laki-laki dua bagian anak perempuan, jika dua anak perempuan atau lebih bagiannya 2/3, dan jika seorang anak perempuan bagiannya ½ dari harta warisan. Kemuadian bagian ibu dan bapak dengan tiga garis hukum, yakni jika ada anak pewaris maka bapak dan ibu mendapat 1/6, jika pewaris tidak meninggalkan anak ibu mendapat 1/3, dan jika ibu bersama saudara pewaris ibu mendapat 1/6 warisan. Kemudian menjelaskan tentang wasiat dan hutang.[8]
c.       QS. an-Nisa>’: 12 mengatur perolehan duda dengan dua garis hukum, yaitu ½ jika istri tidak meninggalkan anak, dan ¼ jika meninggalkan anak. Perolehan janda dengan dua garis hukum, yaitu ¼ jika suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 jika meninggalkan anak. Perolehan saudara dalam hal kala>lah dengan dua garis hukum, yaitu saudara seibu jika seorang diri mendapat 1/6, jika lebih dari seorang mendapat 1/3 harta warisan. Kemudian menjelaskan tentang wasiat dan hutang.[9]
d.      QS. an-Nisa>’: 176 menerangkan mengenai arti kala>lah, dan mengatur mengenai perolehan saudara dalam hal kala>lah.[10]
Hadis Nabi yang langsung mengatur kewarisan yaitu:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قََالَ: قََالَ رَسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَلْحِقُوْا الفَرَاِئضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِىَ فَهُوَ ِلاَوْلَي رَجُلٍ ذَكَرٍ (رَوَاهُ اْلمسلم) [11]
Artinya :    “Berikanlah fara>id (bagian-bagian yang ditentukan) kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.”
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ جَائَتِ المَرْاَةُ بِاِبْنَتَيْنِ لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ هَاتَانِ اِبْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيْعِ قَتَلَ يَوْمَ اُحُدٍ شَهِيْدًا وَ اَنَّ عَمَّهُمَا اَخَذَ مَالَهُمَا فَلَمْ يَدْعُ لَهُمَا مَالاً وَلاَ تَنْكِحَانِ اِلاَّ وَلَهُمَا مَالٌ قَالَ يَقْضِي اللهُ فِى ذَلِكَ فَنَزَلَتْ اَيَةٌ المِيْرَاثِ فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِلَى عَمِّهَا فَقَالَ اُعْطِ اِبْنَتَىْ الثُّلُثَيْنِ وَ اُعْطِ اُمَّهُمَا الثُّمُنُ وَمَا بَقِىَ فَهُوَ لَكَ (رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ وَ التِّرْمِذِى وَ ِابْنُ مَاجَه وَ اَحْمَدُ) [12]
Artinya :     “Dari Ja>bir bin Abdullah berkata : Janda Sa’ad datang kepada Rasululah SAW, bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata : “Ya Rasulullah, ini dua anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di perang Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Dan mereka tidak dapat kawin tanpa harta. Nabi berkata “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini”.kemudian turun ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata “berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya untuk kamu.”


C.    Sebab-sebab Mewarisi
Hak mewarisi disebabkan hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Hal ini sangat penting, karena kedudukan ahli waris akan menjadi pengganti kedudukan pewaris untuk memiliki dan memanfaatkan harta warisan. Oleh karena itu, orang-orang yang mendapat warisan adalah orang yang terdekat dengan pewaris, yaitu disebabkan hal-hal berikut:
1.      Perkawinan (an-Nika>h)
Perkawinan yang sah menurut syari’at merupakan suatu ikatan yang sangat kuat mempertemukan laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan yang abadi.[13] Ketika perkawinan masih utuh, masing-masing pihak adalah teman hidup bagi yang lain dan saling membantu dalam memikul beban hidup bersama.
Walaupun demikian, tidak semua perkawinan dapat menjadi sebab mewarisi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a.         Akad perkawinan sah menurut Syari’at, baik pasangan suami istri itu sudah dukhu>l atau belum.[14] Suami-istri saling mewarisi berdasarkan keumuman ayat-ayat waris, dan berdasarkan tindakan Rasulullah SAW memutuskan kewarisan Barwa’ binti Wasyiq.[15]
b.         Ikatan perkawinan suami istri masih utuh atau dianggap utuh. Perkawinan dikatakan masih utuh, jika dalam hubungan perkawinan tidak dalam keadaan talak bain maupun raj’iy. Sedangkan disebut perkawinan dianggap utuh jika perkawinan dalam keadaan talak raj’iy tetapi masih dalam masa iddah.
  1. Kekerabatan (an-Nasab)
Kekerabatan ialah hubungan darah antara pewaris dan ahli waris disebabkan seketurunan. Kekerabatan merupakan sebab yang paling kuat dalam hal waris mewarisi. Kekerabatan merupakan unsur kausalitas penyebab adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berbeda dengan perkawinan merupakan hal yang baru dan dapat hilang dengan sebab perceraian.
Orang yang berhak mendapat harta warisan karena hubungan nasab adalah sebagai berikut: anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan seibu, anak saudara kandung, anak saudara seayah, kakek, nenek, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman seayah.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara pewaris dan ahli waris, kekerabatan ini dapat digolongkan kepada tiga golongan:[16]
a.         Bunu>wwah yaitu anak turunan (cabang) yakni anak dan cucu
b.         Ubu>wwah, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris, yakni ayah dan ibu sampai ke atas
c.         Ukhu>wwah, yaitu saudara laki-laki, saudara perempuan, dan anak-anaknya
d.         ‘Umu>mah yaitu paman dan keturunannya          
Menurut al-T}abatabai[17] hubungan nasab dapat membentuk hubungan kekerabatan yang jauh dan yang terdekat. Kerabat yang dekat menghalangi kerabat yang jauh. Ia membagi tingkatan nasab sebagai berikut:
a.       Tingkatan pertama, kerabat yang paling dekat dengan pewaris, yaitu ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan
b.      Tingkatan kedua, saudara laki-laki, saudara perempuan serta kakek dan nenek mempunyai hak nasab karena ayah dan ibu pewaris
c.       Tingkatan ketiga, paman dan bibi. Hubungan nasab mereka dengan pewaris berpangkal pada kakek dan nenek.
  1. Memerdekakan (Wala>’)
Wala>’ secara etimologi persahabatan, nikmat kemerdekaan, atau pertolongan untuk memperkuat kekerabatan. Sedangkan menurut terminologi Wala>’ adalah suatu kekerabatan yang disebabkan memerdekaan budak yang dilakukan oleh tuan terhadap hamba.[18]
D.  Penghalang Mewarisi
Penghalang mewarisi (mawa>ni’    al-irs|||i) merupakan sebab-sebab yang menghalangi terlaksananya waris-mewarisi. Orang yang pada dasarnya berhak mendapat harta warisan, tidak jadi mendapat warisan karena kejadian tertentu yang menyebabkan tidak mendapatkan warisan.
Ada beberapa kategori penyebab seorang tidak dapat menerima harta warisan, sebagai berikut:
  1. Budak (‘Abdun)
Hamba tidak dapat menerima warisan dari seluruh keluarganya, dan juga tidak dapat mewariskan harta kepada ahli waris selama masih berstatus hamba.[19] Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nah}l ayat 75:
عَبْدًا مَمْلُوكًا لا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ ….(٧٥)
Artinya :  “Seorang hamba sahaya  (budak) tidak dapat bertindak terhadap sesuatu.” [20]  
  1. Pembunuhan (Qatlun)
Menurut Jumhur Ulama pembunuh tidak dapat menerima warisan dari orang yang dibunuhnya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ القَاتِلُ لاَ يَرِثُ (رَوَاهُ اْلتِّرْمِذِى) [21]
Artinya:      “Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda pembunuh tidak boleh mewarisi.” (HR: Abu Daud dan Ibnu Majah)
Alasan-alasan terhalang pembunuh menerima warisan orang yang dibunuhnya, antara lain:[22]
a.         Pembunuhan merupakan pemutus hubungan s}ilaturrah}mi yang merupakan salah satu penyebab kewarisan. Terputusnya sabab, maka terputus pula musabbab atau hukum yang menetapkan hak kewarisan.
b.         Untuk mencegah orang yang ditentukan menerima warisan untuk mempercepat proses berlakunya hak. Oleh karena itu, ulama menetapkan suatu kaidah fiqih:
مَنْ تَعَجَّلَ عَلَى شَيْءٍ قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْماَنِهِ [23]
Artinya:      Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka diganjar dengan tidak mendapatkan apa-apa.”
c.         Pembunuhan adalah suatu kejahatan atau maksiat, sedangkan hak kewarisan adalah suatu nikmat. Maksiat tidak boleh digunakan untuk mendapatkan nikmat.

  1. Perbedaan agama (ikhtila>f al-di>n)
Maksud perbedaan agama adalah berbeda kepercayaan antara pewaris dengan ahli waris.[24] Misal pewaris muslim sementara orang yang akan menerima harta warisan adalah nasrani.
Jumhur ulama telah sepakat dan menetapkan bahwa orang kafir tidak berhak mendapat warisan muslim, demikian juga sebaliknya. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ أَنَّ النَّبِي صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَيَرِثُ المُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَيَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ [25](

Artinya:      “Diriwayatkan dari Usa>mah bin Zaid R.A bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.”
Dalam kewarisan Islam ada istilah hijab yaitu terhalang ahli waris mewarisi seluruhnya atau sebagian harta karena ada orang yang lebih utama dari pada dirinya dalam mewarisi. Hijab dibagi 2 yaitu:[26]
1)      Hijab h}irma>n adalah terhalang dari seluruh warisan karena ada orang yang lebih layak untuk mewarisi, seperti terhijabnya kakek dengan ada bapak.
2)      Hijab nuqs}a>n adalah berkurang bagian dari harta warisan karena adanya orang yang lebih dekat dengan pewaris, seperti bagian ibu dari 1/3 menjadi 1/6 karena adanya keturunan pewaris.

E.   Syarat-syarat Kewarisan
Kewarisan menyebabkan terjadi peralihan hak kepemilikan. oleh karena itu saat terjadi kewarisan harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
  1. Mati pewaris
Kewarisan terjadi apabila pewaris meninggal dunia. Dalam arti, jika pewaris masih hidup tidak ada proses waris mewarisi. Apabila seorang masih hidup dan terjadi pengalihan harta kepada ahli waris, dikategorikan hibah.
Harta pewaris tidak boleh dibagi kepada ahli waris sebelum diketahui bahwa pewaris benar-benar meninggal atau telah diputus hakim tentang kematian tersebut. Kematian pewaris dibedakan kepada 3 macam:[27]
a.         Mati h}aqi>qiy, ialah hilang nyawa orang yang pada awalnya nyawa itu masih ada. Kematian tersebut dapat disaksikan oleh pancaindra atau alat bukti, misal kematian orang sakit disaksikan keluarga.
b.         Mati h}ukmiy, ialah suatu kematian seseorang didasarkan keputusan hakim. Kematian berdasarkan putusan hakim dapat terjadi pada orang yang ada dalam dua kemungkinan hidup atau mati, misal mafqud yaitu orang yang tidak diketahui keberadaannya.
c.         Mati taqdi>riy, suatu kematian yang bukan hukmiy dan bukan haqi>qiy, tetapi berdasarkan dugaan keras, misal kelahiran anak setelah seorang ibu meminum racun.
  1. Hidup ahli waris saat kematian pewaris
Ketentuan ini merupakan syarat mutlak agar berhak menerima warisan. Hidup ahli waris saat kematian pewaris berlaku meskipun hidup ahli waris hanya secara hukum, misal anak dalam kandungan. Maka bagian anak dalam kandungan ditangguhkan sampai lahir dan benar-benar hidup.
  1. Mengetahui posisi dalam mewarisi
Mengetahui posisi dalam mewarisi seperti sebab mendapat warisan perkawinan atau kekerabatan. Hal ini untuk mempermudah menetapkan bagian masing-masing ahli waris.
  1. Tidak ada penghalang mewarisi, sebagaimana tersebut diatas.

F.   Rukun-rukun Kewarisan
Pelaksanaan waris-mewarisi harus memenuhi 3 rukun, sebagai berikut:
  1. Pewaris (al-muwarris|): Yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang beralih kepada ahli waris.[28] Baik meninggal dunia secara haqi>qiy atau meninggal yang dinyatakan oleh putusan hakim. Secara garis besar pewaris adalah orang tua, anak, kerabat, atau suami-istri.
  2. Harta peninggalan (al-tirkah), secara etimologi segala sesuatu yang ditinggalkan. Menurut Hanafiyah harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggal pewaris berupa harta benda dan hak.[29] Hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan yang wajib ditunaikan adalah :
a.         Biaya perawatan jenazah (tajh}i>z) yaitu segala beban biaya yang digunakan merawat jenazah, mulai dari saat meninggal sampai selesai penguburan. Biaya perawatan jenazah diambil dari harta peninggalan orang yang meninggal menurut ukuran yang wajar, tidak berlebihan dan tidak kurang. Sebab jika berlebihan akan mengurangi hak pewaris, dan jika sangat kurang mengurangi hak si mati.
b.         Hutang (al-dain) yaitu suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima atau kewajiban kepada Allah yang belum ditunaikan. Hutang tersebut dilunasi dari harta peninggalan pewaris. Hutang dapat diklasipikasikan pada 2 macam, yaitu dain Allah yaitu kewajiban kepada Allah yang belum ditunaikan misal membayar zakat, kafarat. Menurut Ibnu Hazm dan Syafi’iyah, hutang ini harus didahulukan dari hutang lain, kemudian dain al-‘ibad yaitu segala hutang kepada manusia.[30]
c.         Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela kepada orang lain ditangguhkan sampai terjadi peristiwa kematian orang yang berwasiat. Sesuatu itu berupa barang atau mamfaat. Dasar hukum wasiat, firman Allah dalam surah an-Nisa>’ ayat 11:
…..مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ …..(١١) [31]
Artinya :     “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”
  1. Ahli waris (wa>ris|) yaitu orang yang berhak atas harta warisan pewaris disebabkan perkawinan, kekerabatan, atau memerdekaan. Selain itu, ahli waris telah memenuhi syarat-sarat yang tersebut di atas. Adapun rincian ahli waris berdasarkan jenis kelamin, menurut golongan Ahlu Sunnah, sebagai berikut.[32] Ahli waris golongan laki-laki : Anak, cucu, ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung, anak paman seayah, suami, orang yang memerdekakan dengan hak Wala>’. Ahli waris golongan perempuan: anak, cucu, ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri, dan perempuan yang memerdekakan dengan hak Wala>’.

G.  Ahli Waris dan Bagian Masing-masing
  1.  Z|awi>l Furu>d}
Secara umum z|awi>l furu>d} memiliki arti orang yang mempunyai bagian pasti dari harta warisan. Bagian tersebut telah diperinci dengan ketentuan yang ada dalam al-Quran. Berikut ini, perincian para ahli waris yang termasuk dalam z|awi>l furu>d} disertai dalil-dalil, yaitu:[33]
a.         Ahli Waris Yang Mendapatkan Bagian (½)
1)       Suami, jika istri meninggal tidak meninggalka anak atau cucu. (QS>. an-Nisa>’:12)
2)       Seorang anak perempuan, apabila tidak ada anak laki-laki. (QS>. an-Nisa>’:11)
3)       Seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, jika tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki kandung. (QS.an-Nisa>:11)
4)       Seorang saudara perempuan sekandung, jika tidak memiliki saudara kandung laki-laki, dan pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek serta keturunan, baik keturunan laki-laki maupun perempuan. (QS. an-Nisa>’:176)
5)       Seorang saudara perempuan seayah, apabila tidak mempunyai saudara laki-laki. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung, ayah, kakek dan tidak mempunyai keturunan, baik laki-laki maupun perempuan. Para ulama sepakat dalil pada ketentuan ini sama dengan dalil bagian saudara perempuan sekandung, yakni surat an-Nisa>’ ayat 176. 
b.         Ahli Waris Yang Mendapatkan Bagian Seperempat (¼)
1)       Suami, apabila istri mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. (QS. an-Nisa>’:12)
2)       Istri, apabila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. (QS. an-Nisa>’:12)
c.         Ahli Waris Yang Mendapatkan Bagian Seperdelapan (1/8)
Yaitu istri yang ditinggalkan suami, baik istri itu berjumlah satu atau lebih, apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dari istri yang manapun. (QS. an-Nisa>’: 12)
d.         Ahli Waris Yang Mendapatkan Bagian Duapertiga (2/3)
1)       Dua atau lebih anak perempuan kandung, jika tidak bersama saudara laki-laki. (QS. an-Nisa>’ ayat 11)
2)       Dua atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat tidak ada anak pewaris, dua anak perempuan pewaris, dan tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian as}a>bah. Mengenai masalah ini, dalam al-Qur’an tidak jelas menyatakan bahwa dua atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan bagian dua pertiga dari harta waris, tetapi hal ini didasarkan pada ijmak ulama yang menyatakan bahwa keturunan dari anak laki-laki bisa menduduki tempat anak laki-laki apabila anak laki-laki itu tidak ada.[34]
3)       Dua atau lebih saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bahwa tidak ada anak, ayah atau kakek pewaris, dan tidak ada laki-laki yang mendapat bagian as}a>bah, yaitu saudara laki-laki sekandung dan tidak ada anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki pewaris. (QS. an-Nisa>’:11)
4)       Dua atau lebih saudara perempuan seayah, apabila tidak ada anak laki-laki, ayah atau kakek pewaris, tidak ada laki-laki yang mendapatkan bagian as}a>bah, yaitu saudara laki-laki seayah, tidak ada anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.
e.         Ahli Waris Yang Mendapatkan Bagian Sepertiga (1/3)
1)       Ibu, apabila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, tidak mempunyai saudara kandung, seayah atau seibu, dua orang atau lebih. (QS. an-Nisa>’:11)
2)       Dua atau lebih saudara seibu laki-laki atau perempuan, dengan ketentuan pewaris tidak mempunyai keturunan (kala>lah). (QS.an-Nisa>’:176)
f.          Ahli Waris Yang Mendapatkan Bagian Seperenam (1/6)
1)       Ayah, jika pewaris mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan. (QS. an-Nisa>’:11)
2)       Kakek (ayah dari ayah), jika pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak ada ayah, karena dalam hal ini kakek menempati posisi ayah.
3)       Ibu, dengan syarat pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, atau ada dua atau lebih saudara. (QS.an-Nisa’:11)
4)       Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun lebih, apabila pewaris mempunyai seorang anak perempuan.
5)       Saudara perempuan seayah, apabila pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung.          
6)       Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan jika mewarisi sendirian. (QS.an-Nisa>’:176)
7)       Nenek dari pihak ayah maupun ibu, apabila tidak ada ibu. Apabila dari pihak ayah atau ibu ada, maka 1/6 dibagi rata diantara keduanya.

2.      As}abah
Kata as{abah dalam bahasa Arab bermakna kerabat dari pihak ayah. Pengertian lain as}abah adalah ahli waris yang tidak disebut bagiannya secara tegas dalam al-Qur’an dan hadis.[35] Menurut Ulama Fara>id} ahli waris as}abah dapat menguasai harta warisan karena menjadi ahli waris tunggal, atau menerima sisa harta warisan setelah as}ha>bul furu>d} mengambil bagian masing-masing atau sama sekali tidak menerima warisan karena habis diambil as}ha>bul furu>d}. Dalil yang menyatakan as}abah berhak mendapatkan warisan, hadis berikut:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال اَلْحِقُوْا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رَوَاهُ اْلبُخَارِي)[36]

Artinya :     “Berikanlah bagaian pokok itu kepada ahli waris yang berhak menerimanya, dan sisanya untuk laki-laki yang lebih dekat”
As}abah terbagi dua, yaitu: as}abah nasabiyyah (karena keturunan) dan as}abah sababiyyah, yakni disebabkan memerdekakan hamba. As}abah nasabiyyah  dibagi tiga,[37] yakni:
a)      As}abah bi an-nafsi yaitu as}abah yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi anak perempuan. Termasuk as}abah bi an-nafsi adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu. Ahli waris as}abah bi an-nafsi dalam keadaan tertentu dapat menerima seluruh harta waris, menerima sisa harta waris, atau tidak menerima sama sekali harta waris.
b)      As}abah bi al-gairi yaitu as}abah disebabkan ada ahli waris lain yang setingkat dengannya. Termasuk dalam golongan ini adalah ahli waris perempuan  bersama ahli waris laki-laki (QS.an-Nisa>’:11), antara lain:
1)      Anak perempuan bersama anak laki-laki
2)      Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3)      Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung
4)      Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c)      As}a>bah ma’a al-gairi yaitu saudara perempuan, baik sekandung, atau seayah, mewarisi bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki. Orang yang dapat mejadi mu’as}s}ib pada as}abah ma’al gairi, dua orang perempua ahli waris as}ha>bul furu>d}, yaitu saudari kandung dan saudari  seayah.
3.      Z|awi> al- Arha>m
Z|awi> al-arha>m mempunyai arti yang luas, yaitu sebutan untuk setiap orang yang mempunyai hubungan nasab dengan pewaris disebabkan hubungan darah. Keluasan makna z|awi> al-arha>m tersebut diambil dari pengertian lafaz} arha>m yang terdapat dalam surah al-Anfa>l ayat 75, yaitu:
َأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٧٥)
Artinya:   “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[38]
Menurut ulama fara>’id}, z|awi> al-arha>m adalah kerabat pewaris yang tidak mendapat bagian tertentu di dalam al-Qur’an maupun Hadis, dan bukan termasuk pewaris yang mendapat bagian sisa (as}abah).[39]

H.  Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas diserap dari bahasa Indonesia yang baku, bermakna sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[40] Asas hukum Islam yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, yaitu cara pemilikan harta oleh pewaris, kadar jumah harta yang diterima, dan waktu terjadi peralihan harta, sebagai berikut:
1)      Asas ijbari
Ijbari secara etimologi bermakna melaksananakan sesuatu diluar kehendak sendiri.[41]Pengertian terminologi, ijbari adalah peralihan harta orang yang meninggal dunia kepada ahli waris berlaku dengan sendiri menurut kehendak Allah tanpa bergantung kepada kehendak ahli waris atau pewaris.[42]Asas ijbari dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan harta, jumlah pembagian dan kepada siapa harta beralih, sebagaimana tercantum dalam surah an-Nisa>’ ayat 7, 11, 12, 176.
2)       Asas bilateral
Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti, bahwa harta warisan beralih kepada ahli waris melalui dua arah. Setiap orang berhak menerima warisan dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Asas bilateral ini dapat dilihat dalam firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 7, 11, 12,176, sebagaimana tersebut di atas.
3)      Asas individual
            Asas individual adalah setiap ahli waris berhak secara individu untuk memiliki bagian yang diterima tanpa terikat kepada ahli waris lain.[43] Harta warisan harus dibagi untuk dimiliki setiap ahli waris. Seluruh harta warisan dihitung dan dinyatakan dalam suatu nilai, kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak sesuai dengan bagian yang ditetapkan. Dengan demikian, bagian yang diperoleh oleh ahli waris dari harta pewaris dimiliki secara perorangan tanpa campur tangan ahli waris lain.

4)      Asas keadilan berimbang
Hubungan dengan hak yang menyangkut materi, khususnya masalah kewarisan, kata adil dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban atau keseimbangan antara yang diperoleh dangan kegunaan.[44] Dipertegas bahwa batasan keadilan bukan saja terbatas pada harta, tetapi termasuk hak dan kewajiban. Oleh karena itu, esensi keadilan adalah perimbangan tanggung jawab, baik dari segi hak maupun dari segi kewajiban. Berdasarkan hal tersebut, maka keadilan dalam kewarisan terletak pada keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara keperluan dan kegunaan.
5)      Asas semata-mata akibat kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta pewaris kepada ahli waris menggunakan istilah kewarisan. Istilah ini hanya berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta yang beralih selama pewaris masih hidup tidak dinamakan kewarisan. Asas kewarisan akibat kematian mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari, karena pada hakikatnya seseorang yang memenuhi syarat sebagai subyek hukum dapat menggunakan harta secara penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya sepanjang hidup, tetapi dengan terjadi kematian secara otomatis harta beralih kepada ahli waris.[45]



[1] Al}-S}abuni, Ilmu hukum Waris, 33
[2] Departemen Agama, Mushaf al-Qur’an, 378
[3] Zuhayliy, al-Fiqh al-Isla>miy, 7697
[4] Departemen Agama, Mushaf al-Qur’an, 78
[5]Syarifuddin,  Kewarisan Islam, 39
[6] Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 37
[7] Departemen Agama, Mushaf al-Qur’an, 78
[8] Ibid.
[9] Ibid. 79
[10] Ibid. 106
[11] Muslim, Shaheh Muslim, 560
[12] Ibnu Ma>jah,al-H}afiz} Abi> Abdillah Muhammad ibnu Yazi>d al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Ma>jah, juz II, (Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyah, 275 H), 908
[13] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1971), 113
[14] al-Salbiy, Muhammad Mus}t}afa, Ahka>m al-Mawa>ris| Baina al-Fiqh wa al-Qanun, (Beirut: Da>r al-Nahd}ah al-Ara>biyah, 1978), 63
[15] Zuhailiy, al-Fiqh al-Isla>miy, 7705
[16] al-Hanbaliy, Muhammad Sai>d,Us}ul ‘Ilmu al-Mawa>ri>s|, (Beirut: Da>r al-Ji>l,1986), 2
[17] Ali Parman, Kewarisan dalam al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan TafsirTematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 67
[18] Ibid. 68
[19] al-Hanbaliy, Us}ul ‘Ilmu al-Mawa>ri>s}, 3
[20] Departemen Agama, Mus}haf al-Qur’an, 275
[21] Tirmiz|i, Abi> ‘Isa Muhammad, Ja>mi’al-Shaheh Sunan al-Tirmiz|i, juz IV, (Beirut: Da>r a-Kutub al-‘Ilmiyah, 295 H), 370
[22] Syarifuddin, Kewarisan Islam, 196
[23] H. A. Djazuli, Kaedah-kaedah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2006), 19
[24] Rahman, IlmuWaris, 95
[25] Abu Daud, Sulaiman ibn al-Asy’as| al-Sajasta>miy, Sunan Abi Daud, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), 15
[26] al-Saiyd Abi Bakar, I’>anah at}-T}a>libi>n, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), 232
[27] Abdul Hamid, Muhammad  Muhyiddin, Ahka>m Al-Mawa>ri>s| fi al-Syari>’t Islamiyah ‘Ala> Maz|a>hib al-Arba’ah, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabiy, 1984), 13-14
[28]Syarifuddin, Kewarisan Islam, 204
[29] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,  juz III, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), 1004
[30] Rahman, Ilmu Waris, 49
[31] Departemen Agama, mushaf al-Qur’an,78
[32] Syarifuddin, Kewarisan Islam, 221
[33] Zakariya> al-Ans}ariy, al-Sarqa>wiy ‘ala> al-Tahri>r, (Singapura: al-Haramain, t.t), 193-195
[34] al-Khot}i>b, Syamsudin Muhammad bin Muhammad, Mugniy al-Muhta>ji Ila> Ma’rifati Ma’>aniy al-Faz}i al-Minhaj,  juz IV, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 23
[35] Dian Khoirul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, cet. III, 2006), 75-76
[36] Muslim, Shaheh Muslim, 560
[37] Rahman, Ilmu Waris,  340
[38] Departemen Agama, Mushaf al-Qur’an, 186
[39] Suparman Usman, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 80
[40] Parman, Kewarisan dalam al-Qur’an, 71
                [41] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,  (Bandung: Kencana,  2006), 207
                [42] Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), 119
[43] Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 37
[44] Syarifudin, Kewarisan Islam, 24
[45] Ibid. 28

2 komentar: