Minggu, 01 Juli 2012

Posisi Agama Islam di antara Agama-agama di Dunia


Posisi Agama Islam di antara Agama-agama di Dunia

by: Nur Saniah, SHI

Pendahuluan
Kehadiran agama Islam dibawa oleh nabi Muhammad SAW, diyakini sebagai rahmat bagi sekalian alam.[1] Ajaran Islam diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Dalam kandungan ajarannya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana manusia menyikapi hidup dan kehidupan secara lebih bermakna.

Berdasarkan tujuan esensial Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam. Islam melalui ajarannya ingin menegakkan tatanan masyarakat yang damai, rukun, dan penuh kemaslahatan. Ada tiga tujuan utama ajaran Islam : Pertama, menegakkan keadilan dalam komunitas muslim, mencakup keadilan sesama muslim dan keadilan kepada non muslim, baik itu dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Kedua, mendidik individu muslim agar menjadikan kebaikan sebagai dasar fundamental bagi masyarakatnya, dengan sifat religius yang tinggi dan sikap ethis yang membudaya, seperti takut kepada Allah dimana saja, dan menjauhi segala sikap tercela. Ketiga, mewujudkan kemaslahatan umum dan mencegah timbulnya mafsadah. Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasfha mengatakan “ Tujuan agama adalah menjaga kemaslahatan umat manusia, terutama yang menyangkut agama, jiwa, akal, keluarga dan harta kekayaan”.

Ajaran-ajaran Islam dalam mengatur kehidupan manusia bersumber dari al qur’an dan sunnah, merupakan acuan yang sangat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis, progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial baik itu kepada sesama muslim atau non muslim.

Islam merupakan konsep yang sempurna bagi kehidupan manusia dalam setiap orientasinya. Bahkan dalam kenyataan, Islam merupakan konsep ideal bagi kesejahteraan alam semesta, kehidupan, dan manusia. Yaitu konsep yang sempurna dalam mengatur kehidupan, contoh masalah ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan, jasmani, dan rohani dan segala sesuatu yang mengarah kepada pemikiran, perasaan, dan ritual keagamaan, serta meluruskan perilaku dan perbuatan dalam realitas kehidupan.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwasanya Islam bukan merupakan satu-satunya agama yang menjadi acuan dan rujukan umat manusia dalam hidup dan kehidupannya. Sebelum datang Islam, manusia telah menganut sejumlah agama yang diyakininya, hal ini terjadi karena fitrah manusia adalah membutuhkan agama.

Keanekaragaman (pluralitas) agama yang ada, termasuk keanekaragaman faham keagamaan dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun.[2] Mengingat bahwa keberagaman ini merupakan realitas sosial dan sebuah sunnatullah (ketentuan dari Allah). Maka bagi manusia tidak ada alternatif kecuali menerima dan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan kesejahteraan bersama.

Para ahli perbandingan agama (the comparative study of religion) membagi agama secara garis besar ke dalam dua bagian:

1. Agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-Nya sebagaimana termaktub dalam kitab suci al-Qur’an. Agama ini sering disebut juga agama samawi (agama langit) yang termasuk dalam agama ini antara lain Yahudi, Nasrani dan Islam.

2. Agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya, sebagaimana berdokumentasi dalam kitab suci yang di disusunnya. Agama dalam kelompok ini biasa disubut agama ardhi (agama bumi), yang termasuk dalam agama ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu, dan lain sebagainya.[3]

Secara umum, dalam pandangan Ibn al-Qayyim, agama itu ada tiga golongan, yaitu: (1) Islam yang telah sempurna dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, (2) Ahl al-kitâb, yakni Yahudi dan Nashrani, dan (3) kaum zindiq yang tidak memiliki kitab, di antaranya Majusi, Shabi`ah, dan Mulhid dari kalangan penganut filsafat.

Agama-agama tersebut sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia di dunia, dan disebarkan secara turun temurun oleh penganutnya. Dalam mengkaji agama Islam pasti dihadapkan dengan agama-agama tersebut. Sikap yang muncul dari umat Islam menyikapi agama-agama ini ada yang inklusif pluralis, mengakui agama tersebut, menghormati dan membiarkan hidup berdampingan. Sebagian bersifat ekskulusif atau tertutup,sikap dalam hal ini tidak mengakui agama-agama lain, bahkan menganggapnya sebagai agama yang keliru dan mesti dijauhi.


Makna Agama dan Kebutuhan Manusia Terhadap Agama

Pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminologi). Pengertian agama dari segi bahasa sebagaimana diuraikan Harun Nasution bahwasanya dalam mengungkapkan keyakinan manusia ada beberapa istilah kata yang digunakan selain agama, yaitu الدين dalam bahasa Arab dan religi dalam bahasa Eropa.

Menurutnya agama berasal dari kata sanskrit yakni a=tidak gama=pergi, jadi agama adalah tidak pergi atau dengan makna lain, diwarisi secara turun temurun. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sifat agama adalah diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain itu agama juga dimaknai dengan teks atau kitab suci, di mana dalam faktanya bahwa semua agama mempunyai kitab suci.

Kemudian الدين berasal dari bahasa Arab berarti taat dan patuh,dengan makna setiap orang yang beragama berkewajiban patuh dalam melaksanakan suruhan atau perintah Tuhan dan menjauhi larangan agamanya. Kata lain الدَيْناً berarti utang, dengan makna bahwasanya manusia itu pada hakikatnya dituntut membayar hutang kepada Tuhannya yang diaplikasikan melalui ketaatan, jika tidak akan dituntut di yaumul mahsyar nanti.[4] Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya menimbulkan pemahaman bahwa orang yang menjalankan kewajiban patuh kepada perintah agama akan mendapat balasan yang baik dari tuhan. Sedangkan orang yang ingkar dan tidak menjalankan perintah agama akan mendapat balasan dari tuhan.

Istilah ketiga yang juga dikonotasikan sebagai agama adalah religio. Religio berasal dari bahasa latin yang berkaitan dengan relegere yang berarti melacak kembali atau membaca ulang. Dengan demikian, melacak kembali ritual nenek moyang suatu kaum. Konsep lain dari religi berasal dari bangsa romawi pagan yang memaknai religio sama dengan traditio, oleh sebab persamaan makna ini, agama sama dengan tradisi, yakni seperangkat praktik yang diajarkan dari generasi kepada generasi berikutnya. Maka istilah ini sebagai satu jenis konsep intuitif kebudayaan yang bermakna bahwa beragama berarti berbudaya.[5]

Berdasarkan definisi beberapa istilah agama di atas Harun Nasution menyimpulkan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan itu berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia yakni kekuatan gaib yang tidak dapat ditanggap pancaindra.[6]

Adapun pengertian agama menurut istilah akan mengandung berbagai muatan subjektivitas dari orang yang mendefinisikannya. Oleh sebab itu akan muncul banyak definisi-definisi agama tergantung pengalaman batiniah pendefinisi. Menurut Mukti Ali penyebab sulitnya mendefinisikan agama secara istilah disebabkan 3 alasan:

1. pengalaman agama adalah pengalaman batini, subjektif dan sangat individualis sifatnya.

2. Pengungkapan pengalaman beragama lebih mengedepankan semangat emosional.

3. Konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.[7]

Adapun pengertian agama secara istilah sebagaimana dikemukakan Elizabeth K. Nottingham bahwa agama adalah segala usaha-usaha manusia dalam mengukur makna keberadaan dirinya dan keberadaan alam semesta. Kemudian Ricard King memaknai agama adalah tali kesalehan berupa akad antara Tuhan yang maha Esa dengan manusia. Bahkan dalam konteks Kristen agama adalah kepatuhan pada doktrin dan keyakinan tertentu kepada peraktik-peraktik ritual kuno.[8]

Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 4 karakteristik agama yaitu pertama unsur kepercayaan terhadap perbuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat berbentuk wujud dewa-dewa, tuhan dan Allah sebutan yang lebih khusus dalam agama Islam. Kedua unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat nanti tergantung hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketiga unsur respons yang bersifat emosional dari manusia berupa respons rasa takut seperti yang terdapat pada agama primitif, atau respons perasaan cinta sebagaimana terdapat dalam agama-agama monoteisme. Keempat unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib atau dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama tersebut, tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan lain-lain.

Berdasarkan uraian tersebut di atas konklusi yang dapat diambil bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai tujuan dunia dan akhirat. Dalam agama terdapat unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang selanjutnya memunculkan respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tergantung hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.

Faktor yang melatar belakangi manusia membutuhkan agama adalah fitrah manusia pada dasarnya diciptakan membutuhkan agama. Pernyataan pertama kali yang menyebutkan bahwa manusia pada fitrahnya membutuhkan agama ditegaskan dalam al qur’an surah ar-Rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)

Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Kemudian pernyataan ini dikuatkan oleh hasil penelitian para ahli pada akhir-akhir ini. Disebabkan fitrah yang ada pada diri manusia itu sendirilah yang menyebabkan manusia membutuhkan agama.

Informasi mengenai potensi beragama yang terdapat dalam diri manusia ini juga dapat dijumpai dalam surah al a’raaf ayat 172 :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (١٧٢)

Atinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama dapat juga dilihat melalui bukti historis dan antropologi. Melalui dua bukti tersebut diketahui bahwasanya manusia primitif yang kepada mereka tidak pernah datang informasi mengenai tuhan ternyata secara batiniah mereka mempercayai adanya tuhan. Hal ini dibuktikan mereka mempertuhankan benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan, kepercayaan ini disebut agama dinamisme. Kemudian kepercayaan ini diganti dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter kecenderungan baik dan buruk, yang disebut agama animisme. Kemudian roh dan jiwa dipersonifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak sehingga disebut agama politeisme.[9]

Dari bukti historis dan antropologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi bertuhan. Disebabkan potensi tersebut tidak diarahkan sehingga menimbulkan kepercayaan bermacam-macam yang kebenarannya serba relatif.

Faktor selanjutnya yang juga melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah kelemahan dan kekurangan manusia. Pada dasarnya manusia itu diciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan, yang diungkapkan menggunakan kata-kata al-nafs.[10] Untuk menjaga kesucian nafs ini maka manusia harus selalu dekat dengan Tuhan dengan bimbingan agama.[11]

Kemudian tantangan pada manusia sendiri, baik tantangan itu berasal dari diri manusia atau dari luar diri manusia. Tantangan yang berasal dari diri manusia contohnya berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Sedangkan tantangan dari luar yakni upaya-upaya yang dilakukan manusia secara sengaja memalingkan manusia dari Tuhan. Dalam hal membentengi manusia dari dua tantangan di atas, diupayakan meningkatkan pengajaran dan pengenalan agama kepada manusia.


Makna dan Misi Agama Islam

Dalam memaknai satu kata ada dua segi yang harus dipahami, yakni segi bahasa dan segi istilah. Dari segi bahasa Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Salima yang mengandung arti selamat dan damai. Dapat juga diambil dari kata dasar aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.[12] Pengertian Islam dalam kebahasaan di atas, apabila diperhatikan secara seksama berdekatan dengan arti kata agama yaitu menundukkan,patuh, hutang, balasan dan kekuasaan.

Dengan demikian secara antropologi perkataan Islam sudah menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang patuh dan taat kepada tuhan. Kenyataan ini menimbulkan pemahaman terhadap orang yang tidak beragama sebagai satu penolakan terhadap fitrahnya sendiri.

Adapun pengertian Islam secara Istilah, menurut Harun Nasution agama Islam adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Islam pada hakikatnya tidak hanya membawa ajaran-ajaran yang mengenal satu segi, tetapi berbagai segi dari kehidupan manusia.[13]

Sementara Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian dengan dua pokok ajarannya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia. Berdasarkan definisi ini, sudah nyata bahwa agama Islam sesuai dengan namanya yang bermakna membawa kedamaian.

Selain itu, Islam juga berbeda dengan agama-agama selainnya, yang penamaannya di kaitkan dengan nama orang tertentu atau golongan bahkan dengan negara tertentu. Kata Islam adalah nama yang khusus diberikan Allah kepada umat nabi Muhammad.

Dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Jadi kandungan ajaran yang dibawa para nabi seperti Adam, Ibrahim, Ya’kub, Musa, Isa dan lainnya ketika di utus kepada bangsa –bangsa dan kelompok-kelompok manusia adalah Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat dalam al Qur’an yang menegaskan bahwa nabi-nabi tersebut merupakan orang yang berserah diri kepada Allah. Di antara ayat yang menyatakan yakni:

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٣٢)

Artinya: Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

Akan tetapi, perlu dipertegas juga walaupun para nabi-nabi tersebut sudah menyatakan diri orang yang berserah diri kepada Allah, akan tetapi agama yang mereka anut bukan bernama agama Islam. Misi agama yang mereka anut adalah Islam, tetapi nama agama yang mereka bawa dikaitkan dengan nama daerah atau nama penduduk yang menganut agama tersebut.

Terdapat sejumlah argumentasi yang menyatakan bahwa misi agama Islam adalah sebagai rahmat bagi seluruh Alam, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam dapat dilihat dari pengertian Islam itu sendiri. Islam dalam kata dasarnya adalah masuk dalam kedamaian. Maka orang yang beragama Islam merupakan orang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah bermakna berserah diri berserah diri sepenuhnya kepada kehendaknya, sedangkan damai dengan manusia yakni berbuat baik kepada sesamanya.

b. Misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmatan lilalamin dapat dilihat dari peran agama Islam dalam menangani problematika agama, sosial,ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya. Pada saat kehadiran Islam masyarakat pada masa itu baik dari segi sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan dalam keadaan berantakan dan kacau balau. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an dalam surah al-Isra’ ayat 13:

وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا (١٣)

Artinya: dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.

Dalam keadaan dunia seperti itu nabi Muhammad Saw datang membawa ajaran yang di dalamnya bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan hubungan dengan manusia dan alam semesta. H.A.R. Gibb mengatakan bahwa Islam bukan hanya berisi ajaran etika melainkan sebagai sistem kehidupan.[14]

Adapun respons dan komitmen agama Islam dalam memecahkan masalah dapat dilihat dari berbagai aspek. Dalam bidang sosial islam memperkenalkan ajaran yang bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk Allah dengan segala kelebihan dan kekurangan. Orang mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada Allah, dalam al-Qur’an ditegaskan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)

Artinya:Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Selain itu, ajaran Islam dalam bidang sosial menekankan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana halnya kaum laki-laki, kaum perempuan dalam Islam juga memiliki kesamaan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi yang ada dalam dirinya. Walaupun ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya bukan bertujuan untuk diskriminasi, melainkan terjadi perbedaan struktur biologis yang bersifat alamiah serta tugas dan tanggung jawab yang berbeda.

Kemudian misi ajaran Islam dilihat dari kedudukannya sebagai pandangan hidup dan sumber nilai. Dalam hal ini, Islam berperan sebagai faktor kreatif yakni ajaran agama yang mendorong manusia melakukan kerja produktif dan kreatif. Kemudian sebagai faktor motivatif yaitu ajaran agama melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Selanjutnya faktor sublimatif yakni ajaran yang dapat meningkatkan dan mengkuduskan fenomena kehidupan manusia bukan hanya keagamaan saja tetapi juga bersifat keduniaan. Faktor integratif yaitu ajaran yang mempersatukan sikap dan pandangan manusia secara individual dan kolektif dalam menghadapi berbagai tantangan.[15]

Misi ajaran Islam dilihat dari hubungan Islam dengan penganut lain, sebagaimana dicontohkan nabi Muhammad di Madinah. Faktor sejarah menyatakan bahwa masalah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah adalah menjalin hubungan yang harmonis dan kokoh dengan seluruh komponen masyarakat yang ada di Madinah, dalam sejarah yang dikenal dengan mistaq al-madinah atau piagam Madinah.

Kandungan piagam Madinah berisikan, atas dasar ajaran al-qur’an, kemanusiaan dan ikatan sosial, Islam sebagai agama yang berdasarkan keyakinan dan agama yahudi merupakan partner orang muslim yang disebut umat. Untuk kebutuhan umat, piagam ini menegaskan pentingnya mewujudkan persaudaraan, persatuan dan kerja sama dalam kehidupan sesama antar golongan guna mencapai tujuan bersama sebagaimana diajarkan al-qur’an. Dari bukti piagam Madinah tersebut sudah nyata bahwa agama Islam dari awal munculnya adalah agama yang mengakui keberadaan agama lain dan hidup berdampingan secara damai.
 
 Agama-Agama di Dunia

Sebelum agama Islam muncul ke dunia ini, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh umat manusia. Syahrastani memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut :[16]

1. Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa.

2. Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis.

3. Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies.

4. Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah.

5. Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen).

6. Mereka yang mengakui semua yang disebut di atas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.

Berdasarkan kepercayaa di atas, para ahli perbandingan agama (the comparative study of religion) membagi agama di dunia ini menjadi dua garis besar yakni agama samawi dan agama ardhi sebagaimana telah disebut pada pendahuluan. Dalam hal ini yang masuk agama dari klasifikasi di atas adalah as shabiyah (segala agama yang memuja unsur spiritual) yahudi, Nasrani dan Islam.

a. As Shabiah

Ash-Shabiah berasal dari kata Shabwah berarti tergelincir dan melenceng dari kebenaran dan ajaran para nabi. Ajaran utama Ash-Shabiah adalah memuja unsur spiritual seperti malaikat atau dewa, kelompok ini mengakui pokok ajarannya bersumber dari akal dan mengajak orang lain untuk berpikir. As-Shabiah mengingkari akidah dan syariat yang bersumber dari wahyu, kelompok ini hanya mengakui akidah dan syariat yang ditetapkan oleh akal. Keyakinan as Shabiah dibagi beberapa aliran:

1) Aliran pemuja makhluk rohani atau pemuja malaikat

Menurut kaum ash-Shabiah, Tuhan menciptakan segala sesuatu melalui perantara malaikat. Malaikat yang mengubah dan mengarahkan manusia semenjak dalam rahim sampai lahir sehingga menjadi manusia sempurna. Malaikat memperoleh kekuatan dari yang Maha kuasa kemudian melimpahkan ke alam bawah. Malaikat pula yang mengedarkan planet-planet.

2) Aliran naturalisme

Aliran-aliran ini lahir dari pokok-pokok ajaran yang berkesimpulan bahwa perantara kepada Tuhan itu memang diperlukan, perantara harus dapat dilihat karena kepadanya beribadah dan memperoleh manfaat. Diantara golongannya yaitu:

a) Pemuja Benda-Benda Alam. Menurut mereka perantara itu dalam bentuk benda-benda alam (natur), mereka membikin cincin dan gelang, mempelajari do’a-do’a dan mantera, menetapkan hari sabtu sebagai Zuhal (Jupiter) dan pada hari pertama itu mereka memakai cincin dan pakaian dalam tertentu, membaca do’a dan mantera agar Zuhal mengabulkan hajat mereka.

b) Pemuja Lukisan-Lukisan. Aliran ini berkeyakinan setiap planet mempunyai tempat terbit baik pada waktu pagi dan petang serta menghilang di waktu siang, oleh karena itu mereka tidak dapat beribadat dan memohon kepadanya, sebagai penggantinya dilambangkan dalam bentuk lukisan-lukisan atau patung-patung supaya dapat dilihat langsung di depan mata. Lukisan atau patung menjadi penghubung kepada planet, kemudian planet menjadi perantara kepada malaikat dan malaikat menjadi perantara dengan Tuhan.

3) Aliran al hirnaniyah

Aliran ini merupakan sub kelompok dari mazhab as-Shabiah, menurut mereka, Sang Pencipta adalah esa dan banyak esa dalam Zat-nya, karena Dia adalah yang awal yang menjadi asal muasal dan azali, sedangkan yang dimaksud dengan banyak, bahwa zatnya tepecah-pecah dalam bentuk patung-patung menurut pandangan mata. Tuhan menjelma ke dalam patung dan lukisan lainnya, dan tidak membatalkan keesaan-Nya.

Teori reinkarnasi (tanasukh) dan hulul berasal dari aliran hirnaniyah. Tanasukh adalah kelahiran berulang kali atau periodesasi dan proses terus menerus. Apa yang lahir dalam suatu periode akan lahir kembali di periode berikutnya. Siksa dan ganjaran terjadi di dunia ini bukan di dunia lain, peristiwa yang terjadi sekarang merupakan balasan dari periode sebelumnya.

Adapun yang dimaksud dengan hulul (mengambil tempat atau menanti) adalah masuknya roh ketuhanan kedalam tubuh manusia. Menurut mereka roh ketuhanan menempati seluruh tubuh, sedangkan Tuhan Maha Esa tidak akan lahir perbuatannya kecuali satu demi satu sesuai dengan perbedaan obyek dan waktu.

b. Nasrani

Nasrani merupakan umat nabi Isa anak maryam As. Isa As diutus kepada bani Israil untuk menyempurnakan risalah sebelumnya dan menyempurnakan risalah yang ada dalam kitab Taurat. Kitab Injil bagi kaum Nasrani diwahyukan kepada Nabi Isa AS. bertujuan selain meluruskan berbagai penyimpangan kaum Yahudi, sekaligus menyempurnakan ajaran Nabi Musa.

Tentang Isa ibn Maryam, Syahrastānī mencatat adanya perselisihan pendapat di kalangan murid-muridnya menyangkut penyatuan unsur Tuhan dengan unsur manusia dalam diri Isa As. Sebagian murid Nabi Isa As percaya bahwa ruh ketuhanan dapat menjelma dalam bentuk manusia (teori hulul). Sebagian lainnya menyatakan ruh ketuhanan bercampur dengan ruh manusia dalam jasadnya, seperti percampuran air dengan susu (teori ittihad).

Dari semua klaim kaum Nasrani tentang al-Masih Ibn Maryam, Syahrastānī berpendapat Isa As adalah Rasulullah dan Kalimah Allah, dan sebenar-benar utusan Allah sesudah Musa As seperti yang diberitakan kepada Bani Israil di dalam Taurat. Isa As dengan izin Allah, memiliki beberapa mukjizat utama, seperti dapat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang buta, dilahirkan tanpa proses kejadian manusia biasa, dapat berbicara ketika dalam buaian tanpa belajar terlebih dahulu, dan menerima wahyu Allah ketika dalam buaian tatkala menyampaikan kebenaran tentang ibunya. Isa As menyampaikan wahyu ketika berusia tiga puluh tahun, dan masa penyampaian wahyu yang relatif sangat singkat, yaitu tiga tahun, tiga bulan, dan tiga hari.

Tentang Paulus, Syahrastānī menilai bahwa Paulus telah mengubah wasiat Nabi Isa As dan mencampur adukkan ucapan al-Masih dengan ucapan para filosof. Pauluslah yang merusak ajaran Tauhid yang diajarkan Isa As seperti firman Allah dalam surah Maryam ayat 88-92:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨)

Artinya: dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak".

وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)

Artinya: Dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.

Ayat dia atas menjelaskan tentang kemurkaan Allah disebabkan kaum Nasrani menuduh Allah Yang Pemurah mempunyai anak. Kemudian Paulus mengajarkan Injil kepada empat orang muridnya yang bernama Matius, Lukas, Markus dan Yohanes, yang akhirnya menjadi inti ajaran Kristen sekarang ini, dengan doktrin utamanya, “Kepada-Ku telah diberikan kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. [17]

Bantahan terhadap keyakinan ini, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa orang Nasrani taklid kepada para filosof dalam soal keimanan. Misalnya dalam masalah al-ittihad, yaitu menyatunya zat Allah dengan zat Yesus. Al-Ghazali membantah teori al-ittihad kaum Nasrani. Menurutnya, anggapan bahwa Isa As mempunyai keterkaitan dengan Tuhan seperti keterkaitan jiwa dengan badan, kemudian dengan keterkaitan ini terjadi hakikat ketiga yang berbeda dengan dua hakikat tadi, adalah keliru. Menurutnya, bergabungnya dua zat dan dua sifat (isytirak), kemudian menjadi hakikat lain yang berbeda adalah hal yang mustahil yang tidak diterima akal.

Dalam pandangan al-Ghazali, teori al-ittihad ini justru membuktikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Al-Ghazali menggunakan analogi mantik atau logika. Ia berkata, ketika Yesus disalib, bukankah yang disalib adalah Tuhan, apakah mungkin Tuhan disalib? Jadi, Yesus bukanlah Tuhan. Penjelasannya dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157:

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا (١٥٧)

Artinya: dan karena Ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah[378]", Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.

Selain al-ittihad, masalah al-hulul tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat Allah menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna majaz atau metafora. Hal itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata “Bapa” dan ”Anak”. Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat 10. Dalam melakukan kajiannya, Imam al-Ghazali merujuk kepada Bibel kaum Nasrani. Dalam al–Raddul Jamil, al-Ghazali mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan Yesus, dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks yang enam tadi.[18]

c. Yahudi

Yahudi berasal dari bahasa arab هاد bermakna رجع- تاب berarti kembali atau bertaubat. Pengertian ini dasarnya perkataan nabi Musa As اليك انا هدن.[19] Adapun definisi yahudi dalam wikipedia yaitu yahudi merupakan istilah yang merujuk kepada sebuah agama atau suku bangsa. Sebagai agama, istilah ini merujuk kepada umat yang beragama Yahudi. Yahudi juga dimaknai berdasarkan etnisitas, kata ini merujuk kepada keturunan Yakub, anak Ishak, anak Ibrahim dan Sarah. Etnis Yahudi juga termasuk Yahudi yang tidak beragama Yahudi tetapi beridentitas Yahudi dari segi tradisi.[20]

Adapun dari segi agama, yahudi berasal dari umat nabi Musa As dan kepada mereka dibebankan untuk mengikuti syariat Taurat, yang memuat syariat perintah dan larangan, serta halal dan haram. Taurat merupakan kitab pertama yang diturunkan Allah ke dunia, karena kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan kepada nabi Ibrahim dan nabi-nabi selainnya masih berupa suhuf.

Orang Yahudi menganggap syariat hanya satu. Syariat bermula dari syariat Musa dan mencapai kesempurnaannya juga pada Musa, tidak ada syariat sebelumnya maupun sesudahnya. Walaupun ada syariat yang muncul sesudahnya itu merupakan hukum-hukum akal dan hukum kemaslahatan. Menurut mereka, syariat Musa tidak mungkin diubah (nasakh). Nasakh berarti perubahan terhadap perintah Allah dan ini menurut mereka tidak mungkin terjadi.[21]

Kebanyakan penganut Yahudi mengikuti peraturan dalam memilih makanan yang tertulis di dalam Taurat yang melarang campuran susu dengan daging. Daging babi juga dilarang dalam agama Yahudi. Makanan yang disediakan harus menuruti undang-undang tersebut, dan daging harus disembelih oleh kaum Rabi.

Anak laki-laki juga diharapkan untuk disunat (sewaktu masih bayi) seperti perjanjian nabi ibrahim dengan Tuhan. Apabila seorang anak laki-laki mencapai kematangan dia akan dirayakan karena menjadi anggota masyarakat Yahudi dalam upacara yang dinamakan Bar Mitzva. Setelah kematian seseorang, orang-orang Yahudi akan mengadakan satu minggu berkabung di mana mereka membaca Kaddish. Agama dan kemasyarakatan saling berkaitan di dalam masyarakat Yahudi. Misalnya pengambilan riba/ bunga dianggap berdosa sesama kaum Yahudi, tetapi dibenarkan dengan mereka yang bukan Yahudi.

Dari segi ajarannya banyak kesamaan-kesamaan dengan ajaran Islam karena sama-sama agama samawi, walaupun ada yang beberapa hal yang menyalahi. Dasar esensial yang menjadi masalah adalah umat yahudi tidak mau mengimani kenabian Muhammad SAW dan kitab yang dibawanya. Perintah ini sejatinya sudah dikabarkan oleh Kitab Suci mereka sendiri. Namun seakan mereka tidak mendengar dan malah menyembunyikan kabar tersebut. Al-Qur’an mengabarkan pembangkangan mereka dalam surat Alu ‘Imran: 71:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٧١)

Artinya: Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan Menyembunyikan kebenaran, Padahal kamu mengetahuinya?

Yaitu menutupi firman-firman Allah yang termaktub dalam Taurat dan Injil dengan perkataan-perkataan yang dibuat-buat mereka (ahli Kitab) sendiri, dan kebenaran tentang kenabian Muhammad Saw yang tersebut dalam Taurat dan Injil.

Syahrastānī berpendapat bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidaklah mungkin menegakkan ajaran Taurat dan Injil, kecuali mereka menerima dan menegakkan ajaran al-Quran dan menerima syariat Nabi Muhammad Saw. Al-Syahrastānī juga menegaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mengubah dan mengganti isi kitab suci mereka, padahal Nabi Musa As. dan Nabi ‘Isa As telah mengabarkan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw.


Posisi Islam di Antara Agama-Agama di Dunia
Gambaran fenomena manusia beragama, sebenarnya tidak sesederhana kita pahami selama ini yang hanya melihat secara proper noun atau dataran kebahasaan seperti misalnya di Indonesia agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Akan tetapi sangat bermanfaat bagi kita untuk menggali lebih jauh dan mendasar hakikatnya atau disebut abstrak noun. Jadi menganalogikan suatu agama tidak hanya dilihat dari segi bahasa, karena tidak dapat dihindari kenyataan pluralitas agama dari segi bahasa akan memunculkan klaim kebenaran yang sering kali melekat pada sebutan agama yang masih dalam dataran proper noun. Hal ini terjadi disebabkan kurang dikenalnya wilayah abstrak noun yang menjadi landasan ontologis dari keberadaan proper noun sebutan agama.[22]

Dalam hal, tidak sah truth claim muncul hanya karena perbedaan cara pengungkapan dari segi bahasa sebelum mengenal lebih dalam esensi dari agama tersebut. Pada dasarnya religiositas atau keberagamaan manusia pada umumnya bersifat universal infinite (tidak terbatas, tidak tersekat-sekat) trashistoris( melewati batas-batas pagar batas kesejarahan manusia).

Namun religiositas yang mendalam atau bersifat abstrak, pada hakikatnya tidak akan dapat dipahami tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang konkret, terbatas, tersekat, atau terkurung ruang dan waktu tertentu secara subjektif. Kedua dimensi yakni proper noun atau dataran bahasa dan abstrak noun atau hakikat agama mempunyai sifat yang dialektis saling melengkapi, mengokohkan dan bahkan saling mengkritik dan mengontrol.

Dalam hal ini, dapat dilihat posisi suatu agama terhadap agama lain, seperti Islam kedudukannya di antara agama-agama lainnya adalah sebagai berikut:

1. Dilihat dari ciri khas Islam yang paling urgen adalah menyuruh para pemeluknya beriman dan mempercayai agama besar selain Islam, yang datang sebelumnya diturunkan dan wahyukan oleh Allah melalui para rasul. Ini merupakan salah satu rukun Iman yang wajib dipercayai oleh setiap muslim bahwa Allah telah mengutus nabi sebelum Muhammad dengan risalah yang dibawanya. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surah al-Baqoroh :

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (٤)

Artinya: Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelum kamu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.

Berdasarkan ayat tersebut, terlihat dengan jelas bahwa posisi Islam di antara agama-agama yang lain dari sudut keimanan adalah agama yang meyakini dan mempercayai agama-agama yang dibawa oleh rasul sebelumnya. Berbeda dengan agama Yahudi misalnya yang hanya percaya kepada Nabi bangsa Israil, kristen hanya percaya kepada yesus kristus, agama Budha hanya percaya kepada Budha, agama Majusi hanya percaya kepada Saraustra, agama Hindu hanya percaya kepada nabi yang muncul di India. Jadi Islam adalah agama yang meliputi semua agama, dan dalam kitab sucinya yakni al-qur’an adalah gabungan dari semua kitab suci terutama agama samawi.

2. Posisi islam di antara agama-agama besar di dunia dapat dilihat dari ciri khas agama Islam yang mempunyai keistimewaan di antara berbagai agama. Selain agama terakhir Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah, firman Allah SWT:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا (٣)

Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.

3. Posisi Islam di antara agama-agama lain dapat dilihat dari peran agama Islam yang memiliki tugas besar, di antaranya:

a) Mendatangkan perdamaian dunia dan membentuk persaudaraan di antara sekalian agama di dunia.

b) Menghimpun segala kebenaran yang ada dalam agama sebelumnya.

c) Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada pada umat sebelumnya dan disempurnakan dalam agama Islam.

d) Mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya belum pernah diajarkan.

e) Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani manusia yang selalu bergerak maju.

4. Posisi agama Islam di antara agama-agama lain juga dapat dilihat dari sisi pembaharuan. Setelah datangnya agama Islam, agama dimaknai dengan konotasi positif, dengan makna bahwa agama tidak hanya ada dalam lingkup akhirat saja, melainkan juga mencakup kehidupan dunia. Disebabkan dengan kehidupan dunia yang baik, manusia dapat mencapai kesadaran akan adanya kehidupan yang lebih tinggi.

5. Posisi Islam juga terhadap agama lain, dapat dilihat dari sifat yang diajarkan Islam yang akomodatif dan persuasif. Yakni islam berupaya mengakomodir ajaran-ajaran dan kepercayaan agama masa lalu, dengan memberikan makna dan semangat baru di dalamnya. Misalnya ajaran agama sebelumnya berkurban kepada para dewa dan arwah leluhur untuk memperoleh keberkahan. Kebiasaan berkurban ini diteruskan Islam dengan menggantikan manusia dengan hewan ternak, tujuan kurban diarahkan sebagai pengabdian dan rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia yang diberikannya. Selanjutnya ciri Islam terhadap agama lain adalah bersifat persuasif yakni dari satu segi Islam menghilangkan hal-hal yang tidak baik, dan mengupayakan agar proses menghilangkan tradisi demikian tidak menimbulkan gejolak sosial yang merugikan. Islam menggaris bawahi ajaran-ajaran yang dibawa agama terdahulu, dengan memberikan makna baru yang terdapat di dalamnya. Misalnya dalam agama lain terdapat pemisahan antara ibadah dan muamalah. Islam dalam hal ini memadukan, dengan makna bahwa ibadah dapat dimaknai dengan makna yang lebih luas misalnya ibadah haji inti ibadahnya lebih besar bermuatan sosial yaitu menunjukkan persaudaraan dan solidaritas dengan sesama umat manusia di dunia dengan akhlak mulia.

6. Hubungan Islam dengan agama lain dapat dilihat dari segi moral atau akhlak. Ditemui bahwa setiap agama mengajarkan akhlak dan moral, sebagaimana juga Islam. Misalnya dalam agama Hindu terdapat pengendalian terhadap kesenangan. Ajaran ini menganggap bahwa keinginan terhadap kesenangan merupakan hal yang bersifat alamiah sesuai dengan kodrat manusia.

Ajaran tentang pengendalian hawa nafsu keduniaan (hedonisme) yang diikuti dengan keharusan melakukan perbuatan bagi kemanusiaan dan makhluk lain dapat juga dijumpai dalam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, diantaranya:

قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لا أَتَّبِعُ أَهْوَاءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (٥٦)

Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku Termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk".

Selain itu, ajaran yang dibawa nabi Musa dalam agama Yahudi yang meliputi:

a) Pengakuan terhadap tuhan yang Maha Esa

b) Larangan menyekutukan Tuhan dengan apa saja

c) Larangan menyebut nama Tuhan dengan nama yang sia-sia

d) Menghormati ayah dan ibu

e) Larangan membunuh sesama manusia

f) Larangan berbuat zina

g) Larangan mencuri

h) Larangan menjadi saksi palsu

i) Menahan dorongan hawa nafsu untuk memiliki sesuatu yang bukan hak miliknya.

Pernyataan yang sama juga dapat di jumpai dalam ajaran Islam sebagaimana dalam surah al Israa’ dimulai dari ayat 23 sampai ayat 37, yaitu:[23]

a. Diperintahkan agar beribadah semata-mata hanya kepada Allah

b. Diperintahkan agar menghormati orang tua, dengan mengasihani pada saat pada saat orang tua sudah lanjut usia, tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan,merendah hati dan selalu mendoakan keduanya (al-Israa’ 23-24)

c. Memberi bantuan kepada kerabat karib, orang-orang miskin dan ibn sabil (al-Israa’:26)

d. Dilarang menghambur-hamburkan harta benda tanpa tujuan (mubazir (al-Israa’:26-27)

e. Dilarang bersifat bakhil dan juga tidak bersifat boros, karena keadaan demikian dapat menimbulkan keadaan yang tercela (al-Israa’:29-30)

f. Dilarang membunuh anak kandung karena takut miskin (al Israa’:31) dan lainnya.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut nyata bahwa posisi agama Islam di antara agama-agama yang lain adalah mengoreksi, membenarkan dan melanjutkan sambil memberikan makna baru dan tambahan-tambahan sesuai kebutuhan zaman.



Subtansi Keberagamaan

Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain dalam hal ini dibagi kepada dua bagian yaitu secara teologis dan secara praktis. Secara teologis klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah selesai, disebabkan Allah SWT sendiri yang telah menuntaskan masalah ini sejak awal lewat wahyunya, dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3. Para ulama klasik tidak membahas masalah ini secara mendalam karena dianggap sudah final.

Pembahasan ulama-ulama lebih banyak mengenai masalah praktis fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi Islam. Sebab masalah ini, dalam pandangan para ulama adalah merupakan masalah koeksistensi praktis sosiologis antar anak manusia yang memeluk agama, keyakinan, atau tradisi yang berbeda. Yakni masalah yang menyangkut bagaimana mengatur individu-individu dan komunitas-komunitas yang hidup dalam sebuah masyarakat yang sama, apa hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, untuk menjamin kedamaian dan ketertiban umum. Jadi, masalah ini lebih banyak merupakan masalah aplikatif, praktis, administratif, daripada masalah teologis yang mana wahyu telah menuntaskannya secara final dan menyerahkannya kepada kebebasan individu untuk menentukannya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqoroh ayat 256:

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٥٦)

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama, dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan. Sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superficial, oleh karenanya tidak hakiki. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis oleh karena itu, lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.[24]

Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis sunnatullah. Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali.

Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain apa adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi, distorsi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan. Sebab dalam pandangan Islam, keimanan secara khusus dan agama secara umum adalah masalah batin, oleh karenanya tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama laa ikraha fi al diin.[25]




[1]Mengacu kepada surah an-Biya’ ayat 107 bahwasanya nabi Muhammad dengan agama Islam diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam.


[2] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 1999), hal. 5




[3] Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 119


[4] Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 24


[5] Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, (Yokyakarta: Qolam, 2001), hal.68


[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), hal. 9-10


[7] Abuddin Nata, Motodologi..... hal. 8


[8] Richard King, Agama, Orientalisme..... hal. 69


[9] Abuddin Nata, Motodologi..... hal. 10


[10] Disebut dalam surah as-Syams ayat 7-8: bahwasanya nafs dan penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan”.


[11] Muhsin Qiraati, Lesson From Alqur’an, edisi terjemah oleh MJ. Bafaqih dan Dede Aswar Nurhamsyah, (Bogor: Cahaya, 2004), hal. 28


[12] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), (Jakarta: Ikhtiyar Baru-Van Hoeve, 1980),hal.2


[13] Harun Nasution, Islam Ditinjau..... hal. 24


[14] H.A.R. GIIB, Ismologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965),.hal.70


[15] J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam, (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2002),cet.II, hal. 145


[16] Muhammad ibn Abdul Karim al Syahratani, edisi terjemah oleh syua’di Asy’ari, Al Milal wa Al nihal, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hal. 33-69


[17] Muhammad ibn Abdul Karim al Syahratani, al Milal wa al Nihal, (Beirut: Darl Fikr, 2005) hal.179


[18]http://salafytobat.wordpress.com


[19] Muhammad ibn Abdul Karim al Syahratani, al Milal..... hal. 171


[20] www.wikipedia


[21] Muhammad ibn Abdul Karim al Syahratani, al Milal..... hal. 171


[22] Amin Abdullah, Studi Agama normativitas..... hal. 24


[23] Abuddin Nata, Motodologi..... hal. 134


[24]Anis Malik Thoha, Artikel Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam, (www.inpasonline.com, 18 juni 2011)


[25] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar