Kaedah-Kaedah Penafsiran al-Qur’an
Perspektif Makkiyah-Madaniyah dan Muhkam-Mutasyabih
Oleh: Nur Saniah, SHI
Pendahuluan
al-Qur’an merupakan firman (kalam) Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dengan lafazd dan maknanya. al-Qur’an sebagai kitabullah menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam. Selain itu al-Qur’an juga berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Sebagai sumber ajaran Islam yang paling utama al-Qur’an merupakan sumber dari segala ajaran yang dipergunakan untuk operasionalisasi ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi umat Islam. Setiap prilaku dan tindakan umat Islam, baik secara individu atau kelompok harus dilakukan berdasarkan al-Qur’an. Oleh karena itu, sumber ajaran Islam berfungsi sebagai dasar pokok ajaran Islam. Sebagai dasar, maka sumber itu menjadi landasan semua prilaku dan tindakan umat Islam, sekaligus sebagai referensi tempat orientasi dan konsultasi.[1]
Dalam memahami hakikat al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat, menurut al-Ghozali hakikat al-Qur’an adalah firman yang berdiri pada Zat Allah SWT, yaitu salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah yang qodim. Menurut ulama Mutakallimin, hakikat al-Qur’an ialah makna yang terdiri pada Zat Allah SWT.[2]
Cara yang dilakukan para ulama dalam memahami hakikat makna dan kandungan al-Qur’an, yakni dengan cara menafsiri ayat-ayat al-Qur’an dengan meninjau dari berbagai segala aspek yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti sejarah turunnya al-Qur’an, karakteristik al-Qur’an, kandungan isi al-Qur’an dan kaedah-kaedah tafsir yang digunakan dalam memahami makna al-Qur’an. Di antara kaedah-kaedah tafsir yang penting diketahui dalam proses penafsiran al-Qur’an adalah masalah makkiyah-madaniyah dan muhkam-mutasyabih.
Makkiyah-madaniyah merupakan istilah yang dipopulerkan para ulama dalam membedakan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tempat turun ayat al-Qur’an. Pembahasan mengenai surah makkiyah-madaniyah, tidak ada ayat al-Qur’an atau hadis yang khusus menjelaskan tentang makkiyah dan madaniyah. Menurut Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intishar, tidak ada nash yang menjelaskan tentang makkiyah-madaniyah, disebabkan Allah tidak memerintahkan nabi untuk menjelaskan tentang hal itu. Demikian juga, Allah tidak menjadikan pengetahuan tentang makkiyah-madaniyah sebagai suatu kewajiban.[3]
Ilmu makkiyah-madaniyah dapat diketahui berdasarkan riwayat para sahabat dan tabi’in. Pada saat al-Qur’an diturunkan para sahabat merasa tidak membutuhkan penjelasan tentang persoalan mengenai ilmu-ilmu tentang turunnya al-Qur’an tersebut termasuk makkiyah dan madaniyah. Disebabkan para sahabat sudah menyaksikan sendiri waktu-waktu turunnya wahyu, cara-cara turunnya dan materi serta kasus yang menyebabkan turunnya wahyu.[4]
Bahkan salah satu tokoh Mufassir pada masa sahabat, misalnya Abdullah ibnu Mas’ud pernah menyatakan, “Demi Allah. Tidak Ada Tuhan selain Dia. Tidak diturunkannya satu ayat pun dari kitab Al-Qur’an, kecuali saya mengetahuinya. Di mana diturunkan, jika saya tahu, bahwa ada seseorang yang lebih tahu daripada saya tentang kitab Allah, meskipun misalnya itu disampaikan oleh unta, niscaya saya akan mengunjunginya”.[5] Pernyataan Abdullah ibnu Mas’ud ini, bukan suatu ungkapan kesombongan tetapi merupakan pernyataan betapa besar perhatian Ibn Mas’ud terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sedangkan muhkam-mutasyabih merupakan istilah yang dinamai para ulama untuk menentukan dan mengklasifikasikan lafazd dari ayat-ayat al-Qur’an menurut kandungan maknanya. Menurut imam ath-Thibi muhkam adalah lafazd yang jelas maknanya, sehingga tidak menimbulkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sedangkan lafazd mutasyabih adalah lafazd yang sulit dipahami dan menimbulkan kemusykilan dan perlu penakwilan.[6] Jadi Ayat yang muhkam ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat-ayat mutasyaabih adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang peristiwa gaib, ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Adanya ayat muhkam-mutasyabih merupakan ketetapan yang telah ditentukan Allah. Berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (٧)
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Secara garis besar, sebab adanya ayat muhkam-mutasyabih adalah karena adanya kesamaran tujuan syarak dalam ayat-ayat al-Qur’an, sehingga sulit dipahami tanpa dilengkapi dengan ayat lain atau dengan cara penakwilan.
Kaedah-kaedah tersebut termasuk kaedah sentral dalam proses penafsiran al-Qur’an yang harus diketahui oleh setiap mufasir. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut dan terperinci tentang kaedah-kaedah penafsiran dalam masalah Makkiyah-madaniyah dan muhkam-mutasyabih.
Definisi Makkiyah-Madaniyah
Secara umum ulama pakar studi al-Qur’an, dalam mendefinisikan makkiyah dan madaniyah dalam beberapa klasifikasi. Zarkasyi dalam kitab al-Burhan fi Ulimul Qur’an memberikan pengertian makkiyah dan madaniyah dalam tiga klasifikasi, pertama dalam segi tempat, makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di Makkah, madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah. Kedua dari segi fase, makkiyah adalah ayat yang turun sebelum hijrah, sedangkan madaniyah adalah ayat yang turun setelah Nabi hijrah. Ketiga dari segi redaksi, makkiyah adalah ayat yang ditujukan kepada penduduk Makkah, madaniyah adalah ayat atau surah yang ditujukan kepada penduduk Madinah.[7]
Selain klasifikasi definisi di atas, Abdul Djalal dalam buku Ulumul Qur’an mengemukakah 4 teori dalam mendefinisikan makkiyah dan madaniyah, yaitu :[8]
1. Mulaahazhatu Makaanin Nuzuli (teori geografis)
Teori yang berorientasi kepada tempat turunnya ayat al-Qur’an. Teori ini mendefinisikan makkiyah adalah ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya, sama ada turun ayat sebelum nabi hijrah ke Madinah ataupun setelah nabi hijrah. Termasuk kategori makkiyah ini , ayat-ayat yang turun kepada nabi Muhammad ketika berada di Mina, Arafah, Hudaibiyah. Madaniyah adalah ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya. Termasuk dalam kategori Madaniyah ini adalah ayat-ayat yang turun kepada Nabi ketika berada di Badar, Qubq, Uhud.
2. Mulaahazhatul Mukhaathabina Finn Nuzuuli (teori subjektif)
Teori yang berorientasi kepada subjek yang dikhitob dalam ayat. Menurut teori ini, makkiyah adalah surah atau ayat yang berisi khitab atau panggilannya kepada penduduk Makkah dengan memakai kata-kata ياايها الناس - ياايها الكافرون atau يا بني ادامdisebabkan penduduk Makkah pada saat itu merupakan orang-orang kafir maka dipanggil dengan sebutan di atas, khitab ini juga berlaku kepada orang-orang kafir yang berada di daerah lain di luar kota Makkah. Sedangkan madaniyah adalah ayat yang berisi khitab kepada penduduk Madinah dengan nida’ (panggilan) ياايها الذ ين امنوا (wahai orang yang beriman). Sebab penduduk Madinah mayoritas penduduknya mukmin, walaupun orang yang beriman di luar Madinah juga termasuk dalam khitab dari ayat ini.
3. Mulaahazhatu Zamaaniin Nuzuuli (teori historis)
Teori ini berorientasi pada sejarah turunnya al-Qur’an, melalui patokan tonggak sejarah hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah. Pengertian makkiyah dalam teori ini adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah walaupun ayat itu turun di luar kota Makkah, seperti ayat yang turun di Mina, Arafah, Hudaibiyah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun setelah Nabi hijrah ke Madinah, walaupun ayat itu turun di luar Madinah atau sekitarnya seperti di Badar, Uhud, Arafah, bahkan di Makkah. Menurut para ulama teori historis ini merupaka teori yang paling baik dan falid. Disebabkan teori ini mampu mencakup seluruh batasan al-Qur’an. Semua ayat alqur’an sudah masuk dalam teori ini, karena al-Qur’an apabila tidak turun sebelum hijrah, pasti turun setelah Nabi hijrah.
4. Mulaahazhatu Ma Tadhammanat as-Suuratu (teori content analysis)
Teori ini membedakan makkiyah-madaniyah berdasarkan isi dari ayat atau surah tersebut. Definisi makkiyah dalam teori ini adalah surah atau ayat yang berisi cerita-cerita para umat dan nabi-nabi terdahulu. Sedangkan madaniyah adalah surah atau ayat yang berisi hukum hudud, faraid, dan masalah-masalah mu’amalah.
Metode Menentukan Makkiyah dan Madaniyah
Menurut Hasbi Ash Shiddiqie cara untuk menentukan Makkiyah dan Madaniyah dapat dilakukan dengan meninjau empat segi yaitu: pertama masa turunnya ayat (tartib zamani), kedua tempat turunnya ayat ( tartib makani), ketiga topik yang dibicarakan (tahwil maudhu’i), dan keempat orang-orang yang dihadapi (ta’yin syakhsyi).[9]
Sedangkan menurut Fard Abdurrahman ar-Rumi, dalam memahami Makkiyah dan Madaniyah, dapat ditempuh dengan dua metode, yaitu:[10]
1) Sima`i naqli (metode pendengaran seperti apa adanya). Metode sima'i naqli didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat itu dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi`’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu.
2) Manhaj qiyasi ijtihadi (menganalogikan dan ijtihad ). Metode qiyas ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyah. Apabila dalam surah makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung ciri-ciri ayat madaniyah atau mengandung peristiwa madaniyah, maka dikatakan bahwa ayat itu ayat madaniyah. Demikian juga sebaliknya,apabila dalam surah madaniyah terdapat satu ayat dengan ciri-ciri makkiyah, maka ayat itu dinamakan ayat makkiyah.
Karakteristik Teks dan Tema Dalam Surah Makkiyah
Setelah para ulama ulumu Qur’an meneliti surah-surah makkiyah, dapat menyimpulkan terdapat beberapa ketentuan analogis dalam makkiyah yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan tema atau persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari penelitian tersebut, para ulama mengambil sebuah konklusi bahwa di antara pertanda ayat makkiyah sebagai berikut.
1. Karakteristik qoth’i dalam surah atau ayat makkiyah antara lain :[11]
a. Setiap surah yang di dalamnya terdapat kata كلا . Kata ini dipergunakan untuk memberi peringatan yang tegas dan keras kepada orang kafir Mekkah. Lafazd ini tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 33 kali dalam 25 surah di bagian akhir mushab ustmani.
b. Setiap surah yang di dalamnya terdapat ayat sajadah, dalam al-Qur’an terdapat 15 ayat sajadah.
c. Setiap surah yang mengandung ياايها الناس dan tidak mengandung ياايهاالذ ين امنوا . dalam al-Qur’an khitab ini tersebut sebanyak 292 ayat.
d. Setiap surah yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran yang keduanya termasuk Madaniyyah. Adapun surah al-Ra’d yang masih diperselisihkan.
e. Setiap surah yang dimulai dengan huruf yang terpotong-potong (tahjjiy) termasuk sebagai surah Makiyyah, kecuali Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Huruf tahjjiy yang dimaksud di antaranya ك ي ه ص ع, ط ه س ي, ح م, dan sebagainya.
2. Karakteristik aghlabi dalam surah atau ayat makkiyah, yaitu:[12]
a. Mengandung seruan (nida’) untuk beriman kepada Allah dan hari kiamat dan apa-apa yang terjadi di akhirat. Di samping itu, ayat-ayat makiyyah ini menyeru untuk beriman kepada para rasul dan para malaikat serta menggunakan argumen-argumen akal, alam, dan jiwa.
b. Membantah argumen-argumen kaum Musyrikin dan menjelaskan kekeliruan mereka terhadap berhala-berhalanya.
c. Mengandung nida’ untuk berakhlak mulia dan berjalan di atas syariat yang hak tanpa terbius oleh perubahan situasi dan kondisi, terutama hal-hal yang berhubungan dengan memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.
d. Dalam surah makkiyah banyak terdapat redaksi sumpah.
e. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras serta menggetarkan hati dan maknanya pun meyakinkan.
3. Kandungan tema dalam surah makkiyah.
Dari segi kandungan tema dalam ayat-ayat makkiyah dapat diringkas sebagai berikut :[13]
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
c. Menyebutkan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.
Karakteristik Teks dan Tema Dalam Surah Madaniyah
Seperti halnya dalam surah atau ayat makkiyyah, surah atau ayat madaniyyah pun mempunyai beberapa karakteristik yang membedakan dengan surah-surah yang turun di Makkah.
1. Karakteristik qoth’i dalam surah madaniyah adalah:[14]
a. Setiap surah yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan.
b. Setiap surah yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian.
c. Setiap surah yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk madaniyyah, kecual surah Al-Ankabut yang turun di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surah tersebut yang termasuk madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.
d. Setiap surah membantah kepercayaan, pendirian dan tata cara keagamaan Ahlu Kitab yang dipandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan agamanya.
2. Karakteristik aghlabi dalam surah madaniyah, yaitu:[15]
a. Sebagian surah-surahnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya juga panjang-panjang dan gaya bahasa yang cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.
b. Menerangkan secara terperinci dalil-dalil yang menunjukkan hakikat keagamaan.
3. Kandungan tema dalam surah madaniyah, dapat diringkaskan sebagai berikut:[16]
a. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah undang-undang.
b. Dakwah terhadap ahli kitab, dari kalangan Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
c. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
Klasifikasi Surah Makkiyah dan Madaniyah
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada umumnya para ulama membagi surah-surah al-Qur’an menjadi dua kelompok, yaitu surah-surah makiyyah dan madaniyyah. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-masing kelompok. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah surah makiyyah ada 94 surah, sedangkan madaniyyah ada 20 surah. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa jumlah surah makiyyah ada 84 surah, sedangkan yang madaniyyah ada 30 surah.[17]
Perbedaan-perbedaan pendapat para ulama itu dikarenakan adanya sebagian surah yang seluruhnya ayat-ayat makkiyyah atau madaniyyah. Kemudian ada sebagian surah lain yang tergolong makiyyah atau madaniyyah, tetapi di dalamnya berisi sedikit ayat yang lain statusnya. Surah-surah dalam al-Qur’an itu terbagi menjadi empat macam :[18]
1. Surah-surah makkiyah murni, yaitu surah-surah makkiyah yang seluruh ayat-ayatnya berstatus makiyyah, tidak ada satu ayat pun yang madaniyah. Surah yang berstatus madaniyah murni, seluruhnya berjumlah 58 surah, yang berisi 2074 ayat, misalnya surah al-Fatihah, Yunus, ar-Ro’du, dan lain-lain.
2. Surah-surah madaniyah murni, yaitu surah-surah madaniyah yang seluruh ayat-ayat berstatus madaniyah, tidak ada satu ayat pun yang berstatus makkiyah. Surah madaniyah murni seluruhnya ada 18 surah, terdiri dari 737 ayat, misalnya surah Ali Imran, an-Nisa’, an-Nur dan lain-lain.
3. Surah-surah makiyah yang berisi ayat madaniyah, yaitu surah-surah yang kebanyakan ayat-ayat makkiyah, tetapi di dalamnya terdapat ayat yang berstatus madaniyah. Surah ini dalam al-Qur’an ada 32 surah, terdiri dari 2699 ayat, contoh surah Hud, Yusuf, Ibrahim.
4. Surah-surah madaniyah yang berisi ayat makkiyah, yaitu surah-surah yang kebanyakan ayat-ayat Madaniyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayat yang berstatus makiyyah. Contohnya surah al-Anfal termasuk kategori surah madaniyah degan jumlah ayat sebanyak 75 ayat, di dalamnya terdapat ayat makkiyah yaitu ayat 30-36.
Manfaat Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Manfaat mengetahui makkiyah dan madaniyah sangat banyak, akan tetapi dalam hal ini, di antara manfat-manfaat tersebut ialah:[19]
a. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur`an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Berdasarkan hal itu, seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, apabila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif, yang datang kemudian merupakan nasikh ayat yang terdahulu.
b. Dengan mengetahui makkiyah dan madaniyah, kita dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya. Dengan demikian kita dapat meyakini terhadap ketinggian kebijaksanaan Islam dalam mendidik manusia, baik individu maupun komunitas.
c. Ilmu ini dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran, kesucian dan keaslian al-Qur’an. Yaitu dengan merinci segala ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi turunnya, penyebabnya, ayt-ayat yang turun dan lain sebagainya. Maka siapa pun yang ingin merusak keaslian al-Qur’an, pasti segera diketahui oleh umat Islam.
d. Mengetahui makkiyah dan madaniyah kita dapat meresapi gaya bahasa al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam retorika dakwah. Karakteristik gaya bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
e. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur`an. Sebab turun wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwa, baik dalam periode Makkah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur`an adalah sumber pokok bagi perjalanan hidup Rasulullah SAW, perjalanan hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan al-Quran; dan al-Qur`an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
Sebab Munculnya Ayat-ayat Muhkam-Mutasyabih
Munculnya istilah muhkam dan mutasyabih dalam kajian ulumul Qur’an, disebabkan adan di antara ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam dan mutasyabih, urauian ini didukung dengan firman Allah dalam al-Qur’an dalam ayat-ayat berikut, surah Huud ayat 1:
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (١)
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,
Surah az-Zumar ayat 23:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ (٢٣)
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
Surah al-Imran ayat 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (٧)
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Adapun kesimpulan yang dimaksud dari ayat-ayat di atas, ayat pertama menegaskan bawa kandungan ayat al-Qur’an adalah muhkam, yakni ayat-ayat tersebut kukuh dan tidak dimasuki kekurangan dan kebatilan. Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa ayat al-Qur’an mutasyabih, yakni ayat-ayat yag berada dalam satu keindahan, gaya, bahasa, dan daya ungkap yang luar biasa. Kemudian ayat ketiga membagi al-Qur’an pada dua bagian yaitu muhkam dan mutasyabih. Maka yang dimaksud muhkam ayat-ayat yang dalalah-nya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman, sedangkan mutasyabih sebaliknya.[20]
Definisi Muhkam dan Mutasyabih
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya, kesempurnaan, ketelitian.[21] Muhkam juga dapat bermakna, menolak dari kerusakan.[22] Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kata muhkam ini di antaranya:
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (١)
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Sedangkan mutasyabih isim faa’il yang diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal.[23] Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukan yang dimaksud dan tujuan ayat. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan jalan penakwilan. Ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kata mutasyabih yaitu:
إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (٧٠)
Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."
Adapun pengertian muhkam dan mutasyabih menurut terminologi atau istilah, padanya terdapat banyak pandangan para ulama, antara lain:
a. Menurut ulama golongan ahlus Sunnah wal jamaah, muhkam adalah lafazd yang telah diketahui makna maksudnya, disebabkan karena telah jelas artinya. Sedangkan mutasyabih adalah lafazd yang maknanya hanya diketahui oleh Allah. Contohnya seperti terjadinya hari kiamat, dajjal, dan hurup-hurup muqoththa’ah.[24]
b. Menurut Imam as-Suyuti, muhkam adalah ayat yang jelas dan nyata maksudnya tanpa ada kemungkinan untuk nasakh, sedangkan mutasyabiah adalah ayat yang tidak diketahui maknanya baik secara aqli atau naqli, dan ayat-ayat demikian hanya Allah yang tahu maksudnya.[25]
c. Menurut az-Zarqoni, muhkam adalah lafazd yang menunjukkan makna kuat yaitu lafazd nash atau lafazd zhohir, mutasyabiah adalah lafazd yang menunjukkan makna yang tidak kuat, yaitu lafazd mujmal, mua’wwal dan musykil.[26]
Jika semua definisi muhkam dan mutasyabih di atas dirangkum, maka muhkam adalah lafazd yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat tanpa ditakwilkan, karena susunannya sudah tertib, tidak musykil, masuk akal, dan dapat diamalkan karena tidak ada nasakh. Sedangkan mutasyabih adalah lafazd al-Qur’an yang samar karena tidak dapat dijangkau akal manusia, hanya cukup diyakini adanya saja, tanpa perlu diamalkan, karena ilmu tentang mutasyabih hanya Allah yang mengetahui.
Misal Ayat-ayat Muhkam
Ayat-ayat muhkam merupakan ayat yang jelas dan tegas maknanya, tanpa perlu ditakwilkan dan tidak mengandung kekeliruan makna. Ayat-ayat mukam juga diistilahkan dengan ummul kitab (pokok isi ajaran al-Qur’an).[27] Kandungan Ayat-ayat muhkam biasanya berisi tentang halal, haram, hudud, kewajiban janji dan ancaman.[28] Misal ayat-ayat muhkam antara lain:
Surah al-Hujrat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Surah al-Baqarah ayat 21:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Surah al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ (٣)
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.
Misal Ayat-ayat Mutasyabih
Adanya ayat muhkam-mutasyabih merupakan ketetapan yang telah ditentukan Allah. Berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (٧)
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Secara garis besar, sebab adanya ayat muhkam-mutasyabih adalah karena adanya kesamaran tujuan syarak dalam ayat-ayat al-Qur’an, sehingga sulit dipahami tanpa dilengkapi dengan ayat lain atau dengan cara penakwilan. Sebagian besar ayat mutasyabih pengetahuan tentang itu, hanya dimonopoli oleh Allah.
Secara rinci terjadinya ayat mutasyabih dalam alqur’andisebabkan 3 hal, yaitu kesamaran pada lafazd, pada makna, dan kesamaran pada lafazd dan makna.[29]
1. Kesamaran pada lafazd
Ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an, sebagian disebabkan kesamaran pada lafazd, baik lafazd tersebut mufrad atau murakkab.
a. Kesamaran pada lafazd mufrad dapat dilihat pada misal ayat-ayat berikut:[30]
a) Kesamaran lafazd mufrad yang gharib (asing), seperti lafazd اَبَّا dalam surah Abasa ayat 31:
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا (٣١)
dan buah-buahan serta rumput-rumputan
kata di atas sulit dipahami, tanpa ada ayat yang melengkapi penjelasannya. Maka ayat ini dilengkapi ayat berikutnya.
b) Kesamaran lafazd mufrad yang bermakna ganda, misal: اليمين dalam surah Shadd ayat 93. Kata yaamiin dalam ayat tersebut bermakna ganda, yaitu dapat bermakna tangan kanan, kekuasaan, atau sumpah. Akan tetapi makna yang dimaksud adalah tangan kanan.
c) Kesamaran lafazd mufrad pada beberapa huruf muqaththa’ah yaitu:كحيعص- طه- حم-يس dan sebagainya, lafazd ini tidak dapat dipahami karena kesamaran makna. Para ulama tafsir biasanya memaknai lafazd tersebut dengan والله اعلم بمرادبه.
b. Kesamaran pada lafazd murakkab, kesamaran ini disebabkan lafazd tersebut tersusun terlalu ringkas atau terlalu luas, atau karena susunan ayat kurang tertib.[31] Misalnya adalah:
1. Kesamaran lafazd murakkab karena terlalu ringkas. Misal firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ (٣)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
2. Kesamaran lafazd murakkab karena terlalu luas,misal pada ayat: ليس كمثله. Dalam ayat tersebut huruf kaf menimbulkan kesamaran makna lafazd.
3. Kesamaran lafazd murakkab karena susunannya kurang tertib, seperti dalam surah al-Kahfi ayat 1:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (١)
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya.
Kesamaran disebabkan susunan kata-kata dalam ayat tersebut kurang tertib, yaitu seharusnya dengan meletakkan qayyiman, sebelum kata wa lam yaj’al, sehingga tidak menimbulkan kesamaran.
2. Kesamaran pada makna ayat
Terkadang terjadinya ayat mutasyabih, disebabkan ada kesamaran pada makna ayat. Misalnya makna dari sifat-sifat Allah SWT, seperti sifat ar-Rahman, ar-Rahim, Qudrat, Iradat, dan sifat-sifat lainnya. Selain itu juga masuk dalam kategori ini misalnya ihwal hari kiamat, Dajjal, kenikmatan sorga, siksa kubur, dan siksa neraka. Makna yang di kandung kalimat-kalimat tersebut mengandung kesamaran, disebabkan hal-hal tersebut tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia.[32]
3. Kesamaran pada lafazd dan makna ayat
Menurut Imam ar-Raghib al-Asfihani dalam kitab mufradatil Qur’an menyatakan, bahwa terjadinya ayat-ayat mutasyabih karena ada kesamaran pada lafazd dan makna. Kesamaran ini ada pada lima aspek, yaitu:[33]
a. Aspek kuantitas (al-Kammiyah), seperti masalah umum dan khusus. Contah dalam surah at-Taubah ayat 5:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ (٥)
Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.
Dalam ayat ini, batasan yang dibunuh masih samar.
b. Aspek cara (al-Kaifiyah), contoh dalam permasalahan ini, seperti tata cara pelaksanaan kewajiban agama, seperti disebutkan dalam surah Thaha ayat 14: وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (١٤)
Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
Dalam ayat ini,masih ada kesamaran dalam hal bagaimana cara shalat agar dapat ingat kepada Allah SWT.
c. Aspek waktu, seperti batasan sampai kapan melaksanakan suatu perbuatan. Contoh dalam surah al-Imran ayat 102:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (١٠٢)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya
d. Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah pada surah al-Baqarah ayat 189:
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا (١٨٩)
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya
Adapun ayat-ayat mutasyabih yang sering menjadi perdebatan pada masalah teologi, ada pada ayat-ayat berikut:[34]
Surah at-Tahaa, ayat 5:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (٥)
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Surah al-Qhosas ayat 88:
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٨٨)
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Surah Ar-Rahman ayat 27:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (٢٧)
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Surah al-Fath ayat 10:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ (١٠)
tangan Allah di atas tangan mereka
surah al-Maidah ayat 64:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ (٦٤)
tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka
Macam-macam Ayat Mutasyabih
Sesuai dengan sebab adanya ayat mutasyabih yang telah diuraikan di atas, yaitu yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an. Maka macam-macam ayat mutasyabih juga dibagi kepada beberapa bagian yaitu:[35]
1. Ayat-ayat mutasyabih yang tidak diketahui oleh semua umat manusia, yang mengetahui hanya Allah. Misalnya dzat Allah, hakikat sifat-sifat Allah, tentang hari kiamat, dan lainnya. Hal-hal tersebut merupakan urusan-urusan yang ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah al-An’am ayat 59:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (٥٩)
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)".
2. Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Misal dalam masalah ini adalah ayat-ayat yang merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
3. Ayat-ayat mutasyabih yang hanya dapat diketahui oleh pakar ilmu dan sains. Termasuk dalam hal ini urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang Rasikh (mempunya ilmu pengetahuan yang dalam), sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Imran ayat 7:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ (٧)
Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya.
Hikmah Ayat-ayat Muhkam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat, mengandung hikmah yang banyak, bahkan tiap ayat per-ayat mengandung hikmah tersendiri. Al-Qur’an sangat teliti dalam memilih kosa kata, sering kali pemilihan tersebut dalam pandangan pertama kelihatan ganjil, bahkan menyalahi kaedah kebahahasaan, atau tidak sejalan dengan bahasa yang baik dan benar, tetapi semua itu mengandung hikmah.[36] Termasuk ayat-ayat muhkam mengandung hikmah sebagai berikut:[37]
a. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arab lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, dapat langsung memahami ayat-ayat al-Qur’an.
b. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya, Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menunggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
e. Memperlancar usaha penafsiran yang dilaksanakan para ulama tafsir, tanpa harus penakwilan makna-makna ayat, karena arti lafazd-lafazd ayat sudah jelas dan terang maknanya.
Hikmah Ayat-ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih juga mengandung banyak hikmah. Hikmah ayat-ayat mutasyabih di antaranya adalah:[38]
a. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan tidak mampuan akal untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya. Sebagaimana diketahui bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifatNya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diriNya tidak sama dengan hambaNya dalam hal pemilikan anggota badan
e. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
f. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.
[1] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Studi Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2005), hal.12
[2] Bisri M. Jailani, Ensiklopedi Islam, (Yokyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal.307
[3] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hal. 88
[4] Shubhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Ilmi, 1977), hal. 178
[5] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an..... hal.88
[6] Ibid, hal. 241
[7] Badruddin Muhammad Ibnu Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumul Qur’an, juz 1 (tt. Dar ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), hal.18
[8]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 78-87
[9] Muhammad Hasby ash-Siddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 62
[10] Fard Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompeleksitas al-Qur’an, (Yokyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997), hal. 89
[11] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hal. 74
[12] Ibid, hal. 75
[13] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an, (t.t, Mansyurat al-Ssyri al-Hadist, 1990), hal. 63
[14] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an.... hal.75
[15] ibid
[16] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an....hal. 64
[17] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 98
[18] Ibid, hal. 99
[19] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an.... hal.71-72
[20] Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Memahami Esensi al-Qur’an, Cet 3, (Jakarta: Lentara, 2003), hal. 41-42
[21] A. W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Progresif, 2002),hal. 287
[22] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 240
[23] Saifullah, dkk, Ulumul Qur’an, (Ponorogo: Prodial Pratama Sejati Press, 2004), hal.66
[24]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 240
[25] Saifullah, dkk, Ulumul Qur’an,..... hal. 67
[26] Muhammad Abdul ‘Azhim az-Zarqoni, Manahil al-Irfan Fi Ulu mal-Qur’an, (Beirut: Isa al-Babi al-Harbi, tt), hal. 272
[27] Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Memahami Esensi al-Qur’an....hal.45
[28] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an....hal. 216
[29] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 244
[30] Ibid, hal. 245
[31] Ibid, hal. 246
[32] Ibid, hal. 248-249
[33] Ibid, hal. 250-251
[34] Manna’ Qaththan, Mabahist fi Ulumi al-Qur’an....hal.216
[35] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 251-253
[36] Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah, dan Pembirataan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 144
[37] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an... hal. 262-263
[38] Ibid, hal. 263-266