Rabu, 18 Januari 2012

Nikah Tutup Malu Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

Nikah Tutup Malu Dalam Perspektif Hukum Islam

Islam adalah Agama kaffah yang mengatur semua lini kehidupan manusia, mengenai hal-hal yang menyangkut aqidah, ibadah, kemasyarakatan, kesehatan, lingkungan, hukum dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya tentang hukum pernikahan. Karena itu, Din al-Islam merupakan pedoman hidup yang mengajarkan kepada penganutnya untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ideal yang dikehendakinya.

Syariat pernikahan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan teratur mengembang-biakkan keturunan yang sah, di samping mewujudkan suasana rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam Q.S. al-Ruum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Perkawinan yang sah dalam Islam dilangsungkan melalui suatu akad antara suami dengan wali dari istri yang di dalamnya terdapat istilah-istilah mahar dan ijab qabul. Sebagaimana telah diketahui bahwa tujuan dari perkawinan itu adalah menaati perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan membina rumah tangga yang damai dan teratur[1].

Dengan diaturnya hubungan antara dua insan tersebut dalam sebuah ikatan perkawinan diharapkan agar kehidupan yang mereka bina nantinya memang benar-benar sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum Islam sebagaimana telah diatur prosesi perkawinan mereka. Sehingga perkawinan yang mereka jalankan akan menjadi sebuah ikatan lahir bathin yang tidak dapat dibuat main-main, yang dalam Islam dikenal dengan istilah “Mitsaqan Ghalidha” (ikatan yang sangat kuat).
Adapun ketika terjadi suatu hubungan di luar perkawinan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini Islam juga mengaturnya. Segala aturan yang ditetapkan oleh Islam bertujuan untuk kemashlahatan umat. Dalam hal seorang perempuan yang hamil di luar nikah, apakah diperbolehkan atau tidak dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya (nikah tutup malu), para ulama kita telah berselisih menjadi dua madzhab.

 Madzhab yang pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain. Oleh karena itu halal baginya menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya. Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Syafi’iy dan Imam Abu Hanifah. Hanya saja Abu Hanifah mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.

Diperbolehkannya menikah tersebut juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal. 157) yang didasarkan pada fatwa Abu Bakar as-Shidiq “Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar : “Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar : “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu! Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun[2].

Adapun madzhab kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan, beralasan kepada beberapa hadits. Hadits Pertama.
“Artinya : Dri Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah melewati seorang perempuan [29] yang sedang hamil tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau bersabda, “Barangkali dia [30] (yakni laki-laki yang memiliki tawanan [31] tersebut) mau menyetubuhinya!?”. Jawab mereka, “Ya”. Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke dalam kuburnya [32] bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal baginya!?” (Hadits Riwayat Muslim)
Hadits Kedua : “Artinya : Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan-tawanan perang Authaas [34], “Janganlah disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak hamil sampai satu kali haid” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi)[3].
Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa :
a)    Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya.
b)    Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.

Berbeda kasusnya jika terdapat suatu kejadian yang menunjukkan bahwa suatu pernikahan yang dilangsungkan antara wanita yang hamil di luar nikah tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan suatu paksaan dari pihak-pihak luar di luar mereka berdua. Maka dalam hal ini pengarang kitab “Tanwirul Qulub” menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak sah kalau memang tidak adanya unsur kemauan si calon suami. Karena kemauan tersebut merupakan syarat sah dalam melangsungkn perkawinan[4]. Sebagaimana seorang laki-laki yang menjatuhkan thalaq karena perintah dari seorang hakim, maka thalaqnya dihukumi tidak sah/ batal.

Sedangkan kaitannya dengan anak yang lahir dari kandungan perempuan yang hamil di luar nikah tadi, para ulama juga telah sepakat bahwa anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya, akan tetapi hanya dinasabkan kepada ibunya yang hamil tadi. Sehingga dari ketentuan ini menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :
a)    Anak yang lahir di luar nikah tidak saling mewarisi dengan ayahnya, meskipun anak tersebut lahir atas air sperma dari ayahnya tadi.
b)    Seorang laki-laki yang menikahi perempuan yang hamil di luar nikah tadi tidak berhak menjadi wali nikah anaknya yang berada dalam kandungan istrinya jika anak tersebut terlahir sebagai perempuan[5].
c)    Laki-laki yang menikahi perempuan yang telah hamil di luar nikah, tidak berkewajiban memberikan nafkah terhadap anak yang terlahir akibat hubungan di luar nikah antara pasangan tersebut.
d)    Dalam hal hubungan mahram, anak luar nikah tadi tetap mempunyai hubungan mahram dengan laki-laki yang menikahi ibunya tadi.

Nikah Tutup Malu dalam Perspektif Hukum Positif

Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor I Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991. Kaitannya dengan masalah nikah tutup maul dikarenakan hamil di luar nikah, ada beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam yang menerangkannya disertai akibat hukumnya. Di antaranya adalah pasal 53 yang menerangkan tentang prosedur perkawinan seseorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sedang hamil. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.

Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahirkan isterinya).

Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
a.    Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
b.    Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
c.    Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.

Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera dalam kitab fikih, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam pasal-pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Selain itu, UU tersebut juga menjelaskan beberapa akibat hukum dari dilangsungkannya perkawinan di atas, yaitu : Pasal 43 ayat (1) : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pasal 44 ayat (1) : “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut

Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”[6].

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/ pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.

Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah :
a)    Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.
b)    Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka, perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.


[1] Hisako Nakamura. Perceraian Orang Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1991. Hal: 30
[2] Ibnu Hazm. Al-Muhalla. Juz 10. hal 476
[4] Djamaluddin Miri. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. Surabaya : Khalista. 2007. Hal: 156
[5]Ibnu Hazm. Al-Muhalla. Juz 10. hal 323.
[6] Undang-undang Perkawinan Indonesia 2007. Wacana Intelektual Press. 2007. Hal: 225

Minggu, 15 Januari 2012

Urgensi Wali Dalam Pernikahan


Pengertian  Wali
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Olehkarena itu wali mempunyai banyak pengertian diantaranya ;orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi tugas nengurusi anak yatim serta hartanya, sebelum anak anak itu dewasa; pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki); orang saleh (suci), penyebar agama;kepala pemerintah.[1] Adapun yang dimaksud wali disini adalah wali sebagai seseorang yang bertindak atas nama atau pendamping pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Tentang keharusan adanya wali ini sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat apakah wali ini menjadi syarat syah nikah yang mesti ada dalam perkawinan atau tidak.Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perkawinan. Menurut mazhab Hanafi wali bukan merupakan syarat sah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan. Alasannya adalah riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas. Rasulullah SAW bersabda yang artinya “ Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya . Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya[2]. Menurut mazhab Hanafi, hadis diatas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali menganggap wali merupakan syarat sah perkawinan, dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak sah. Pendapat ini beralasan pada al-quran dan hadis. Dari al-quran yang dijadikan dalil antara lain pada QS. Al-Baqarah ayat 232:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3  
. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf

Syarat-Syarat Wali
Mengenai syarat-syarat seorang wali para ulama fiqih sepakat sebagai berikut :[3]
a.       Islam,orang yang tidak beragama Islamtidak sah menjadi wali, hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-quran surah Al-Maidah ayat 51 :
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠqåkuŽø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
b.      Laki-laki, maka tidak sah wali seorang wanita, dengan alasan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah”Tidak boleh perempuan menikahkan perempuan, dan tidak boleh perempuan menikahkan dirinya”(Riwayat Ibnu Majah)[4]
c.       Balig, tidak sah menjadi wali anak-anak atau orang yang belum dewasa. Ini merupakan syarat umum orang yang melakukan akad,mengambil dalil dari hadis yang berbunyi “Diangkat kalam (tidak terhitung secara hukum) seseorang yang tidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecilsampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sehat”
d.      Berakal, tidak diterima jadi wali orang gila atau kurang waras
e.        Merdeka, tidak sah wali hamba sahaya
f.       Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih, karena orang berada dibawah pengampuan tidak dapat bertindak hukumdengan sendiri sedangkan kedudukan wali merupakan suatu tindakan hukum[5]
g.      Berfikiran sehat Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaan tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak mendatangkan maslahat dalam perkawinan[6]
h.      Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dosa kecil serta tetap memelihara murua’h dan sopan santun.Menurut Ibnu Rusyd maksud keadilan disini adalah kondisi para wali ketika memilih calon suami yang sesuai dan cocok (kafaah) bagi para wanita yang dibawah perwaliannya
i.        Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan muslim yang berbunyi “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang”.
Macam-Macam Wali
Jumhur ulama yang mensyaratkan sahnya nikah dengn kehadiran wali, mereka membagi wali kepada tiga bagian :[7]
1)      Wali nasab yaitu orang yang menjadi pendamping nikah seorang perempuan yang berasal dari keturunannya atau karena hubungan tali kekeluargaan.
2)      Wali penguasa (hakim) yaitu Orang yang menjadi pendamping seorang perempuan yang diangkat oleh penguasa yang kedudukannya sebagai hakim atau penguasa khusus untung bidang tersebut disebabkan tidak ada wali nasab
3)      Wali bekas tuan yaitu wali yang berasal dari orang yang memerdekakan perempuan tersebut
Dalam urutan siapa yang paling berhak menurut Imam As-Syarqowi dalam kitabnya syarqowi pernikahan seorang perempuan syah apabila dinikahkan pertama kali oleh wali aqrab yaitu ayah dan kakek karena kedudukannya yang paling dekat kepada perempuan, dinamakan juga dengan wali mujbir yakni orang yang berhak mengakadkan pernikahan dan akadnya berlaku bagi anak perempuan yang masih gadis tanpa diminta kerelaan.[8] Akan tetapi wali mujibir disini boleh menikahkan dengan syarat :[9]
a)      Mempelai laki-laki harus sekufu
b)      Mempelai laki-laki harus membayar maskawin dengan tunai
c)      Tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki dan perempuan baik permusuhan jelas atau terselubung
d)     Tidak ada permusuhan yang nyata antara perempuan yang dinikahkan dengan wali yang menikahkan
e)      Tidak dinikahkan dengan lak-laki yang mengecewakan (membahayakan si anak) kelak dalam pergaulannya.
Jika tidak ada wali aqrab , maka perwalian pindah kewali aba’d yaitu :
1)      Saudara laki-laki kandung
2)      Saudara laki-laki seayah
3)      Anak laki-laki saudara kandung
4)      Anak laki-laki saudara seayah
5)      Paman kandung
6)      Paman seayah
7)      Anak laki-laki dari paman kandung
8)      Anak laki-laki dari paman seayah
Apabila tidak ada wali-wali yang tersebut di atas maka perwalian pindah ke   wali hakim, ketentuan ini berdasarkan hadis yang artinya : “ Apabila para wali bersengketa maka penguasa ( hakim ) adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”.[10] Berdasarkan hadis itu, dapat dirumuskan bahwa syarat supaya perwalian dapat pindah kepada hakim sebagai berikut :[11]
a)      Apabila ada sengketa antar wali
b)      Apabila tidak ada wali. Hal ini dibenarkan apabila telah jelas tidak ada wali.
c)      Wali menolak untuk menikahkan padahal sudah sekufu dan calon mempelai laki-laki sudah mampu membayar mahar tunai
d)     Wali berada pada tempat jauh, yang tidak mungkin menghadiri pernikahan tersebut karena ada kendala tertentu.
e)      Wali qorib sedang dalam ihram haji atau umrah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Abu Hanifah dan Hasan Khan berpendapat bahwa hak untuk menjadi wali bukan hanya diberikan kepada para ashobah tetapi dibolehkan juga kepada selain ashobah yaitu zdawil arham seperti saudara seibu, paman dari pihak ibu. Hal ini karena kedudukan kekerabatan disana sama antara pihak laki-laki dan perempuan yang merasa malu apabila si perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak pantas menjadi suaminya. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan itu anak perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal dan membolehkan anak menjadi wali terhadap ibunya yang akan kawin.
Pandangan Ulama Tentang Kedudukan wali dalam Perkawinan
Menurut jumhur ulama wali merupakan salah satu syarat syahnya nikah, maka akad pernikahan harus dilakukan oleh wali sama ada yang kawin perempuan dewasa atau anak kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat, tidak ada hak perempuan sama sekali untuk menikahkan dirinya sendiri. Ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas berikut “ Akad nikah tidak syah kecuali dengan wali dan dua orang saksi” (Riwayat Bukhori dan Abu Daud).
Maka adanya wali yang menikahkan merupakan suatu keharusan,karena perempuan yang menikah adalah termasuk orang yang berada dalam tanggung jawab wali. Wali merupakan orang mesti mengetahui laki-laki mana yang akan menggauli anak perempuannya supaya tidak terjadi fitnah manakala perempuan tersebut hamil disebabkan pernikahan tersebut dan untuk menjaga pandangan orang yang merendahkan.[12]
Sedangkan ulama Abu Hanifah dan Abu Yusuf tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah balig dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri,tanpa wajib dihadiri wali dan dua orang saksi selama calon suami sekufu,dengan alasan dari al-quran surah al-Baqorah 234 :
( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat
Menurut mereka perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik itu gadis atau janda, maka wali nasab tidak berhak menghalangi pernikahannya kecuali apabila perkawinan itu dengan orang yang tidak sekufu (tidak sepadan) atau apabila mas kawin lebih rendah daripada mahar mistil. Akan tetapi apabila perempuan mengawinkan dirinya sendiri dengan orang yang tidak sekufu dan tanpa kerelaan wali ashib maka perkawinan tersebut tidak sah demi kemaslahatan yakni untuk menghindari perselisihan. Selain itu wanita yang sudah dewasa sudah dianggap cerdik,maka dia sudah bisa melakukan akad sendiri, karena apabila mereka diampu terus termasuk dalam masalah pernikahan maka tidak menempatkan dirinya pada tempat yang wajar. Oleh sebab itu otoritas diserahkan kepada perempuan seutuhnya, wali cukup mempunyai hak membatalkan nikah atu mengingkarinya.[13]
Sedangkan perempuan yang tidak mempunyai wali ashib sama sekali, atau mempunyai wali tetapi bukan wali ashib, maka siapapun tidak berhak menghalangi perempuan tersebut untuk melakukan pernikahan sendiri, baik ia kawin dengan laki-laki sekufu atau tidak, dengan mahar mistil atau dengan mahar yang lebih rendah daripada mahar mistil, sebab pada keadaan yang demikian segala urusan kembali kepada tanggung jawabnya sepenuhnya.[14]
Urgensi Wali Dalam Pernikahan
               Ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i memahami keberadaan wali dalam akad nikah merupakan suatu yang mesti, dan tidak sah akad perkawinan tanpa izin dan kehadiran wali. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan dan itu merupakan kesepakatan para ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat juga sebagai orang yang diminta persetujuan untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
                Perkawinan adalah perjanjian yang berbeda dengan perjanjian lainnya karena perjanjian perkawinan mememiliki rukun-rukun yang tidak ada pada perjanjian lainnya, antara lain, perjanjian perkawinan baru dianggap sahapabila ada izin wali. Wali adalah orang yang mempunyai wewenang untuk mengawinkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya, dimana tanpa izinnya, perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah. Dalam fiqih, dikenal istilah wali nasab, yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan perempuan yang dibawah perwaliannya, yang urutannya sudah ditentukan dalanm fiqih Islam. Apabila wali nasab tidak ada atau dalam keadaan tertentu, maka kekuasaan wali berpindah kepada hakim, yang dinamakan wali hakim.
               Perkawinan dalam islam telah ditentukan segala tata caranya, dan perkawinan itu merupakan ibadah, hal itu untuk membedakan cara kawin diluar agama Islam dan kawin menurut aturan agama yang benar. Juga untuk membedakan kawin binatang dengan manusia, karena kalau ini hanya dinilai kegiatan sosial tidak ada muatan agama, maka bentuk dan aturannya adalah relatif sesuai dengan keinginan orang yang akan kawin, dan standar hukumnya adalah adat atau etika, dimana pantas, layak dan enak menurut komunitasnya.
               Kembali kepada masalah wali nikah bagi perempuan. Kecenderungan diwajibkannya ada wali memang sangat urgen untuk kemaslahatan perempuan itu sendiri. Sebenarnya urgensi adanya wali perempuan dalam rangka ada pengalihan tanggung jawab pihak lain (wali) perempuan dan perlindungan kemanusiaan dari pihak calon suami, maka tidak ada diskriminasikan dari segi keadilan, artinya karena perempuan harus selalu dilindungi, dikasihi dan dimanjakan.
               Para ulama hati-hati dan memuliakan kehormatan wanita, sehingga sangat hati-hati dalam tasruf kehormatan wanita yang satu ini, karena, salahnya  dalam tasaruf  akan jadi berakibat buruk pada keturunan dan hal-hal yang bersangkutan. Kebanyakan ulama yang mengharuskan ada wali bagi perempuan itu semata hanya mengayomi perempuan yang kebanyakan tabiatnya lemah, dibanding kebanyakan lelaki yang perkasa. Disini hukum mengambil standar mayoritas sebagai tolok ukur, sekalipun kadang ada laki-laki yang amat lemah juga, atau ada perempuan yang amat kuat dan cerdas mampu mengalahkan lelaki, namun semua itu hanya sebagian kecil, sedangkan standar penerapan hukum adalah mayoritas, standar hukum adalah aghlabiah.
               Adapun hukum di Indonesia kajian mengenai kedudukan wali nasab atau wali hakim sebagai wali nikah secara materiil tidak dijumpai dalam UU Perkawinan, maka kajian kedudukan wali dan atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia, terutama yang menyangkut dengan hukum keluarga bidang perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang banyak mengacu (rujukannya) kepada kitab-kitab fikih dalam mazhab Syafi'i; Oleh karenanya, kajian mengenai kedudukan wali hakim dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terlepas dari kajian mengenai wilayah tazwij menurut hukum Islam (KHI).
               Dalam KHI keberadaan wali nikah mutlak diperlukan apakah ia Wali Nasab ataupun Wali Hakim, baik pada perkawinan gadis maupun ataupun janda; dewasa ataupun belum dewasa dan sekaligus wali sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan itu. Dengan demikian kedudukan wali hakim dalam UU Perkawinan cenderung dengan hukum Islam dalam Mazhab Syafi'i.




[1] Abd. Rahman Ghozali, Piqih Munakahat. Hal :165
[2] Imam Muhammad bin Ismail,Sublussalam. Hal : 119
[3] Sulaiman Rajid, Fiqih Islam. Hal :384
[4]  Ismail, Sublussalam. Hal :120 jilid :3
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Hal : 77
[6] Ibid, Hal: 77
[7] Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid. Hal :419
[8] Imam Syarqowi, syarqowi. Hal 226
[9] Al Hamdani, Risalah Nikah. Hal :115
[10] Syarqowi, syarqowi. Hal 227
[11] Ibid, Hal :
[12] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Hal :154

[13] Ghozali, Piqih Munakahat. Hal : 61
[14] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah. Hal :519